Selasa, 03 Juni 2014

Sehabis Sabung Ayam

Siang bolong itu langit nampak cerah. Mentari mengkilat kuning tepat diatas kepala, ditemani awan putih yang perlahan berarak ditiup angin musim panas. Sekilas pada hari yang cerah itu alam Desa Joyokerto terasa indah. Pada sayup-sayup suara alam itu terselip juga cicitan burung-burung kecil yang melayang diatas gubuk kecil di pinggiran hutan karet. Tempat dua orang penyadap beristirahat menyantap bekal yang isinya itu-itu saja, nasi, tahu, tempe, terkadang ditambah ikan asin atau telur.

"Ta, boleh kau bagi tempe punyamu itu denganku? nasiku belum habis tapi lauknya sudah."

"Ambil saja Yus."

Yus dan Ata adalah dua orang penyadap karet, sekaligus tetangga di lingkungan Desa Joyokerto. Semenjak kedatangan Ata ke desa tersebut dan mencoba mengadu nasib menjadi penyadap karet, pekerjaan yang juga digeluti oleh Yus, mereka berdua menjadi semacam kawan seperjuangan dalam mencari nafkah di kebun karet. Bahkan, karena rumah mereka jaraknya dekat keluarga mereka pun saling mengenal dan berhubungan dekat. Minah, istri Yus, mengenal baik Salma, istri Ata. Begitu pun dengan Haen, anak dari pasangan Ata dan Minah, ia adalah kawan Indra yang rutin bermain mendayung getek bersamanya untuk menyebrang sungai agar dapat sama-sama sampai ke sekolah. Dan Indra sendiri adalah anak dari pasangan Ata dan Salma.

Ketika makanan yang awalnya ada pada rantang itu terlahap habis, kedua penyadap karet itu tak lekas pergi untuk pulang. Mereka duduk-duduk sebentar menikmati semilir angin, memberikan kesempatan pada perutnya untuk mencerna makanan yang telah mereka habiskan. Sambil menyalakan rokok kretek, mereka pun memulai pembicaraan..

"Hari demi hari harga di pasar makin naik, tapi upah hasil menyadap karet tidak kunjung baik. Ditambah upah jadi kuli panggul juga belum cukup. Sulit ya, Ta?"

"Yah begitulah.. Sabar sajalah Yus, pasti ada jalan."

"Cih, ceramahi saja terus aku tentang sabar. Sudah bosan aku mendengarnya. Lagian, kau itu kan bisa baca tulis, dan kemarin dapat bantu-bantu di kantor desa waktu pemilu. Pastilah dapat uang lumayan kau."

"Alhamdulillah, masih tersisa Yus buat simpanan. Kau sendiri cobalah carilah tambahan lain."

"Heh, kau kira mudah untuk orang sepertiku dapat kerja? Gampang sekali kau berbicara seperti itu."

Mendengar omongan kawannya itu, Ata hanya menyunggingkan senyumnya saja, tanpa berbicara.

"Ta, asal kau tahu saja, istriku si minah sudah berhari-hari meminta uang untuk seragam dan sepatu si Haen yang rusak dan perlu beli yang baru. Untuk seragam sudah bisa aku berikan, tapi untuk sepatu itu sayangnya belum. Dan istriku itu makin harinya makin bawel saja."

"Oh, jadi kau benar benar butuh uang Yus?"

"Ya"

"Begini" kata Ata melanjutkan "Tiga hari lagi, ada pertarungan sabung ayam di pelataran Gan Jaya. Ayamnya, Si Wokwok, akan ditarungkan dengan ayamnya Gan Tisno, Si Kokok. Kau bisa taruhkan uang yang kau punya disana, dan kalau kau menang mungkin kau bisa belikan itu sepatu buat si Haen. Sekurang-kurangnya kalau kau menang, setengahnya kau dapat."

Yus pun mengerutkan dahinya. Ia sadar bahwa ia akan berjudi dan mempertaruhkan uang yang ia punya. Salah-salah bisa hilang semua uangnya.

"Kira-kira, siapa yang akan menang menurutmu Ta?"

"Entahlah, Si Kokok adalah jagoan se-Joyokerto, sedangkan Si Wokwok pernah juga mengalahkan Si Japra, juara sabung kampung sebelah. Sulit juga untuk menentukan yang mana yang akan menang. Tapi, kalau aku harus memilh, aku memilih si Wokwok."

"Loh, kenapa?"

"Tak tahu."

"Ah, kalau begitu aku pilih si Kokok saja!"

"Kenapa begitu Yus?"

"Karena Si Wokwok kau pilih tanpa alasan yang masuk akal."

"Haha, jangan meremehkan. Kalau begitu aku juga akan bertaruh, buat Si Wokwok."

"Ho, boleh juga kau."

"Jadi, tiga hari lagi kita akan sama sama ke rumah Gan Jaya. Jadi Yus?"

"Jadi!"

Lalu setelah perjanjian itu dibuat, mereka pun pulang ke rumah mereka masing-masing. Berjalan telanjang kaki di jalanan tanah berbatu Desa Joyokerto.

***

Akhirnya sampailah waktu itu ke hari yang dinanti oleh Yus dan Ata. Malam hari itu mereka berjalan bersama ke pelataran rumah Gan Jaya yang memang sudah penuh sesak oleh para penjudi ataupun mereka yang sekedar datang untuk menonton. Tukang kacang rebus pun tak ingin ketinggalan, nyala kuning dari lampu petromaknya menambah hingar bingar pada pelataran rumah Gan Jaya yang cukup luas itu. Sesampainya disana, Yus dan Ata langsung berhadapan dengan sang bandar, masing-masing dari mereka mengeluarkan selembaran uang seratus ribuan merah dari sakunya untuk dipertaruhkan.

Tak mudah untuk Yus mendapatkan uang seratus ribu itu, ia harus adu mulut dulu dengan Minah untuk membawanya keluar rumah sebagai barang taruhan. Ia hanya bilang ke Minah kalau ia ada urusan, dan ia memerlukan uang itu. Ia berjanji untuk membawa kembali uang yang lebih dari yang ia bawa, yang ia janjikan untuk membeli sepatu baru bagi si Haen. Mendengar janji Yus akan sepatu Haen, minah pun mempersilahkan Yus pergi membawa seratus ribu itu, walaupun dengan nada yang ketus.

Dari Bandar Judi, Yus dan Ata langsung masuk ke kerumunan yang berkumpul di sekitar arena pertarungan. Di dua sisi yang berlawanan pada arena tersebut, sudah berdiri Si Kokok dan Si Wokwok. Namun keduanya masih terkurung di dalam kurungan bulat yang terbuat dari anyaman bambu. Dengan cermat, Yus memperhatikan profil kedua ayam yang sebentar lagi akan beradu itu.

Dari penglihatannya, Si Kokok ayam jagoannya itu punya fisik yang lebih berisi dan tegak, tindak tanduknya lebih aktif dan terlihat siap menggasak lawan tandingnya. Sementara Si Wokwok, figur tubuhnya memang kekar dan tegap, tapi ia lebih kecil daripada Si Kokok. Gerak-geriknya pun terlihat kalem-kalem saja, seperti ayam-ayam di Joyokerto yang biasa dibiarkan liar mematuk tanah di pekarangan. Dengan modal pengamatan kecilnya itu, kepercayaan diri Yus mulai tumbuh. Ditambah lagi beberapa saat kemudian, sang bandar mengumumkan bahwa besar taruhan adalah tiga berbanding satu dengan Kokok sebagai ayam yang paling banyak ditaruhkan. Mendengar kabar itu Yus melempar senyum menyeringainya pada Ata, yang hanya berbalas senyum tipis.

Tak lama kemudian, para pawang dan empunya ayam tersebut masuk ke arena pertandingan. Tudung pengurung bambu itu diangkat, dan ayam-ayam tersebut digendong sejenak oleh para pawangnya. Mereka di elus, sambil dibisiki kata-kata sunyi yang berkomat-kamit dari mulut para pawang. Lalu, mereka diberdirikan berhadap-hadapan. Si Kokok yang agresif langsung mencondongkan kepalanya ke depan, sementara lawannya masih tetap tenang, namun matanya cukup tajam memandang dalam-dalam pada mata Si Kokok. Tak lama kemudian, aba-aba pertarungan diteriakkan, ayam-ayam itu dilepas dan pertarungan dimulai.

Ayam-ayam itu berjalan mengitari arena yang bentuknya bulat, saling memandang satu sama lain dengan waspada. Sorak-sorai dari pinggir arena bersahutan mendorong ayam-ayam itu agar segera melancarkan serangan. Di pinggir arena itu juga Yus dan Ata berdiri, masing-masing menitipkan seratusribunya pada kedua ayam itu, terlebih untuk Yus yang harap-harap cemas kalau-kalau tak bisa mengganti uang yang ia ambil dari uang belanja istrinya itu. Serangan pertama dilancarkan oleh Si Kokok, ia melompat, mengepakkan sayapnya dan berusaha mencakar Si Wokwok yang berusaha menghindar. Adu cakar, mematuk, terus terjadi sepanjang pertandingan sabung ayam itu. Dengan Si Kokok sebagai penyerang yang dominan. Kedua bulu di leher ayam itu pun terlihat berdiri mengembang, seperti rambut singa, tanda bahwa pertandingan kian panas diantara mereka. Si Kokok kembali menyerang, sampai membuat lawannya terguling di tanah kering berpasir itu. Yus terlihat girang, mendapat harapan yang besar uang seratusribunya akan berlipat malam itu. Tapi siapa sangka, ketika Si Kokok akan memberikan serangan terakhirnya, Si Wokwok berbalik berdiri lalu dengan keras mematuk Si Kokok tepat pada lehernya, yang membuat ayam malang itu terjatuh meronta-ronta seperti orang kedapatan ayan, sambil mengeluarkan suara aneh yang memekik, seperti suara orang yang lehernya tercekik dengan keras.

Dan Si Kokok pun dinyatakan kalah dalam pertandingan itu. Harapan Yus pada ayam jagoannya itu luluh lantah, kekesalan mulai terasa sesak di dadanya..

***

"Hah, lihat jagoanmu itu. Aku sudah mengira dia tak akan kuat menghadapi pertarungan besar seperti ini. Bentar lagi juga dia akan meninggal dunia kena patukan seperti itu!" Seru Ata dengan nada merendahkan bahan taruhan yang diambil oleh Yus. Jelas saja, perkataan kawannya itu membuat Yus kesal. Bukan hanya martabatnya yang direndahkan yang jadi penyebab kekesalan itu, ia juga mesti memikirkan harus bilang apa kepada istrinya tentang seratus ribu yang ia sia-siakan malam ini dan membayangkan teriakan melengking istrinya yang marah karena besok sampai waktu yang tak menentu dapurnya tak akan mengepul. Semuanya terbuang sia-sia dalam sabung ayam malam itu.

"Kau tunggu di sini, aku ambil uang hadiahku dulu sebentar." kata Ata sambil melangkah pergi menjauhi Yus yang masih berdiri di pinggir arena sabung ayam yang telah kosong. Yus kembali teringat kepada sepatu anaknya yang belum terbeli itu. Ia kembali terbayang Minah, dan Haen; apa yang harus kubilang? tanyanya dalam hatinya. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, dapur terancam tak mengepul.. sepatu untuk anaknya pun tak terbeli. Kesialan yang menimpa dirinya malam itu semakin membuat kesal.

"Ayo Yus, kita pulang. Uangku jadi tiga kali lipat. Salma dan Indra pasti senang ketika aku pulang, haha."

Yus menoleh pada Ata, dengan pandangan yang tajam. Ia diam sejenak memandangi kawannya itu tanpa bersuara.

"Yus, ayo lah, sudah malam.. jangan kau terlarut ini cuma permainan bukan. Besok kita harus menyadap karet lagi." ucap Ata dengan nada yang merendah.

"Ya, ayo kita pulang. Tapi kita singgah dulu di gubuk, aku mau ambil peralatan dulu disana"

"Untuk apa Yus? toh besok pagi kita sudah ke gubuk lagi bukan?"

"Golok di rumahku rusak, sementara istriku membutuhkannya untuk membuat santan. Mungkin parang di gubuk bisa berguna."

"Oh.. baiklah.. tapi lekaslah Yus, sudah malam, kasihan anak istri kita."

Akhirnya mereka pun melangkah pergi dari pelataran rumah Gan Jaya, berjalan kearah gubuk yang biasa mereka gunakan untuk beristirahat dan menyimpan peralatan untuk menyadap karet di perkebunan. Bulan hanya terlihat sebagian, dan hutan terlihat gelap diriungi bayangan pohon yang jarang-jarang. Kedua lelaki itu berjalan selangkah demi selangkah pada jalan setapak gelap yang pada siang hari dapat terlihat jelas lika-likunya. Hingga pada akhirnya sampailah mereka pada gubuk di perkebunan karet itu.

"Kau tunggu diluar." kata Yus yang masuk kedalam gubuk dan mencari-cari parang ditengah kegelapan.

Ata menunggu sendirian di luar, mencoba meresapi suara alam dari derikan jangkrik dan dinginnya udara malam. Ia keluarkan uang tiga ratus ribunya dari kantung celananya. Ia tersenyum, setelah kemarin mendapat komisi waktu membantu pembangunan dan menjadi resepsionis di TPS, kini uangnya kembali bertambah. Sekilas ia teringat nasib kawannya itu yang membutuhkan uang untuk membeli sepatu anaknya, ia berpikir mungkin sebagiannya bisa ia pinjamkan, bulan depan pun pasti akan lunas terbayar. Dari gubuk terdengar suara perabotan yang diotak-atik oleh Yus, lalu tak lama kembali sunyi, mungkin Yus sudah menemukan parang yang dibutuhkannya. Dan benar saja, dari belakang terdengar suara Yus memanggil..

"Hei, Ata.."

Ata pun menoleh ke belakang.. dan "throokk!!" parang yang dipegang oleh Yus seketika tertancap pada bagian leher bawah seorang Ata. Seperti Si Kokok yang dipatuk oleh Si Wokwok jagoan Ata, suara aneh itu pun terdengar lagi dari mulut Ata yang mencoba meronta. Darah mengalir dan berjatuhan pada kaus kumal yang dipakai Ata, dan beberapa tetes terciprat pada baju yang dikenakan Yus. Ata pun rubuh, suara aneh itu tak lagi terdengar, lalu Yus pergi meninggalkan Ata yang bersimbah darah. Tak lupa membawa uang tiga ratus ribu yang ada dalam genggaman kawannya..

*** 

Yus pun berjalan pulang ke rumahnya, ditengah jalan ia tanggalkan bajunya yang terkena bercak darah itu dan ia sembunyikan bersama parangnya dalam lubang yang ia gali dibawah sebuah pohon karet. Tiga ratus ribu itu ia simpan dalam sakunya, berharap dengan uang itu tidak akan ada lagi istrinya yang bawel tentang uang, dapur, atau sepatu untuk anaknya. Malam ini ia berpikir tidurnya akan sedikit lebih tenang.

Sesampainya di rumah ia mengetuk pintu, dan istrinya Minah membukakan pintunya sambil terheran-heran.

"Mana bajumu mas?"

"Ku buang, tadi tersangkut dahan sampai lengannya robek. Tak layak lagi untuk dipakai"

"Aduh mas, kujahitkan kembali seharusnya bisa kan?"

"Sudahlah, diam kamu. Ini, uang seratusribu yang tadi aku pinjam. Dan ini, tambahannya untuk dapur dan sepatu buat Si Haen."

Yus pun menyodorkan uang tiga ratus ribu yang ia dapat dari Ata. Namun Minah tak mau menerima seluruhnya. Hanya seratus ribu yang tadi dipinjam saja yang ia ambil kembali.

"Kenapa? Ambil semuanya, kau sudah bawel kan dari kemarin minta belikan  sepatu untuk anak kita?"

"Oh, untuk itu sudah tak perlu mas.."

"Loh, dia sudah dapat sepatu baru? kau dapat uang darimana? Bilang!"

"Sabar mas, aku dapat sepatu ini cuma-cuma" Minah berjalan lalu berjongkok mengambil sepatu warrior hitam yang terletak di kolong kursi "Memang tak baru, tapi toh ini masih cukup bagus untuk dipakai."

"Baiklah, tapi kau dapat dari siapa sepatu itu?"

"Dari Salma mas, ini sepatu bekas Indra. Katanya kemarin Indra dibelikan sepatu baru oleh ayahnya. Namun, karena yang lama ini masih bagus, sayang kalau tidak dipakai atau dibuang. Jadi, Salma berikan saja sepatunya pada Haen."

"Salma.. Indra.. istri si Ata itu??"

"Iya mas, mereka memang keluarga yang baik. Hutang budi lah kita dengan mereka. Harus dibalas suatu hari nanti.."

Mendengar perkataan istrinya itu, Yus hanya bisa terpaku diam. Ia dudukkan dirinya di kursi itu, lalu kembali terpaku dengan pandangan yang kosong ke tanah alas rumah mereka berdiri. Ia terbayang kembali pada mayat Ata yang tergolek dan ia tinggalkan dengan dingin. Terbayang pada Indra yang sekolah menggunakan sepatu baru, tapi kehilangan ayahnya. Terbayang pada Haen, memakai sepatu pemberian keluarga yang seorang ayahnya ia buat meninggal dunia. Dan terbayang kembali pada kekesalan kekesalannya yang memuncak karena kalah dalam perjudian, yang akhirnya ia lampiaskan pada seorang kawannya;

Tepat sehabis permainan sabung ayam..

***

Terinspirasi dari: KOMPAS.COM

Minggu, 01 Juni 2014

Selamat Datang, Juni

Hujan Bulan Juni

Oleh: Sapardi Djoko Damono

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni,
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Apa kabar? Sudah bulan Juni.
Sebentar lagi liburan. Semoga senang-senang, disana.