Rabu, 29 Oktober 2014

Pasar Malam

Sabtu kemarin, tanggal 25 Oktober 2014, saya bertemu dengan Alvin dan dua kawan lain dari Planologi ITB (Plano) di Kota Jakarta. Pertemuan di hari itu sebenarnya tak ada maksud dan tujuan formal apapun, hanya sekedar main, terutama bagi mereka anak-anak Planologi ITB yang sedang dapat kesempatan libur bebas dari kegiatan Ospek Jurusan (OSJUR).

Hari itu yang kami banyak lakukan hanya berbincang dan berputar-putar saja di pusat kota; mengamati Jakarta yang selalu memberikan kesan sebagai kota yang sarat dengan optimisme pemikiran modern. Mengamati hutan-hutan beton yang dibangun untuk mencakar rahang-rahang langit; tempat dimana orang mencoba menggapai kaki-kaki mimpinya yang tergantung pada langit-langit harapan. Sebelum mungkin, pada akhirnya dikecewakan. Ya, selalu ada perasaan-perasaan asing yang terkadang menimbulkan kesan kagum sekaligus ngeri ketika saya memandangi pemandangan Kota Jakarta.

Sampai akhirnya senja datang dan mentari tenggelam, kami harus kembali ke Stasiun Gambir. Alvin dan Nisa mesti mengejar kereta ke Bandung pada pukul 19:50. Mobil pun di gas menuju stasiun besar tersebut. Ketika itu kami sampai di Gambir pada pukul 19:00, dan seperti biasa tabiat Alvin sebagai turis kumat, ia ingin membawa sesuatu dari Jakarta untuk dibawa pulang ke Bandung, ia ingin gantungan kunci monas katanya. Akhirnya, dari parkiran mobil Gambir pun kami putuskan untuk masuk ke area Monumen Nasional untuk mencari gantungan kunci yang Alvin inginkan.

Bertepatan dengan waktu malam minggu, ternyata di sekitar monas sedang digelar semacam pasar malam, lengkap dengan tukang jualan dan badut-badut kostumnya. Perasaan yang berbeda muncul ketika saya memasuki dan berjalan melewati pasar malam tersebut. Tidak seperti sebelumnya, kini saya merasakan suatu suasana yang lebih akrab. Suatu pertemuan dengan kawan lama yang berapa kurun tak jumpa. Kaki-kaki lima itu, tawar menawar itu, dan cahaya-cahaya neon yang tidak tertata itu. Hiruk-pikuk pasar malam itu benar-benar menenggelamkan saya kepada ingatan-ingatan yang telah lama tersimpan dan jarang saya buka. Bahkan, ia mengembalikan saya kepada memori-memori termuda saya.

Sebagai seorang bocah yang tinggal di pinggiran Kota Bandung, saya sering di hibur oleh yang namanya pasar malam. Agak berbeda mungkin dengan yang di monas, pasar malam yang dulu menghibur saya selain penuh dengan pedagang, disana juga banyak berbagai wahana bermain. Seperti karosel, rumah hantu, kincir putar, tong setan, dan entah apalagi. Pasar malam dulu sering diadakan di lapangan parkir depan Pasar Induk Caringin, yang letaknya mungkin hanya beberapa ratus meter dari rumah nenek saya dan 1 km dari rumah buyut saya, tempat waktu itu saya tinggal. Saya ingat ketika itu, pasar malam di pasar induk selalu menjadi hal yang diiming-imingkan oleh orangtua dan kakek-nenek saya agar saya berperilaku baik. Kalau saya berbuat hal-hal jelek, mereka tidak akan mengajak saya kesana dan saya akan ditinggal di rumah sendirian. Tentu sebagai anak kecil berumur 2-3 tahun dulu saya menurut saja dan membayangkan betapa asyiknya jika saya dibawa ke pasar malam. Dari potongan-potongan kenangan mengenai pasar malam itu, yang paling bisa saya ingat hanyalah ketika saya menaiki wahana kincir, bersama ayah saya.

Semakin saya bertumbuh, pun kehidupan saya ternyata tidak jauh-jauh amat dari pasar malam. Ayah saya bekerja pada suatu Event Organizer, biasa menyediakan jasa di sektor pemerintahan untuk membuat sebuah pameran yang membantu promosi usaha-usaha kecil dan menengah. Karena itu, tak jarang pameran-pameran tersebut diadakan di daerah-daerah dan kota kecil seperti Tasikmalaya, Garut, Ciamis, dan Subang, tempat dimana usaha-usaha kecil dan menengah itu tumbuh. Namun, permasalahannya jika hanya dengan pameran dan mungkin panggung hiburan, akan sangat sedikit pengunjung yang datang. Mengingat minat bisnis mungkin di kawasan-kawasan seperti itu tidak memiliki animo yang tinggi. Oleh karena itu, ayah saya membuat sebuah pemecahan masalah untuk menarik pengunjung. Pemecahan masalah itu adalah memberikan ruang hiburan yang menarik banyak orang: Pasar Malam.

Jadi, bagi saya ikut ke tempat ayah saya bekerja sama saja dengan pergi ke pasar malam. Bertemu kembali dengan pancaran lampu petromaks tukang kacang, tukang gulali, wahana-wahana permainan, dan kadang copet yang ketahuan lalu di pukuli. Karena itulah, saya lebih menganggap ayah saya sebagai seorang pembuat pasar malam, bukan sebagai kepala dari event organizer. Karena ketika dulu saya sering ikut ke lapangan tempat ayah saya bekerja pun, saya lebih banyak menghabiskan waktu di pasar malam dibandingkan di tempat utama pamerannya. Darisanalah kedekatan dengan pasar malam terjalin. Bukan hanya soal tempat dan wahana, tapi juga dengan kehidupan sosial yang ada di dalamnya.

Pasar malam memang cenderung menjadi tempat hiburan bagi orang-orang kelas menengah sampai ke kelas menengah ke bawah. Dan memang, wahana permainan, produk-produk yang dijual, bila dibandingkan kualitasnya dengan apa yang ada di tempat-tempat seperti mall tentu akan sangat berbeda. Disana para pedagang baju mengobral barang jualannya di sekitar harga 10-30 ribu rupiah, itu pun masih sering terjadi proses tawar-menawar harga yang biasanya terjadi jika pembeli melakukan borongan. Kincir putar, karosel, tong setan, dibuat dengan sederhana dari besi-besi dan seng yang di cat dengan warna yang sebenarnya bisa dibilang norak dan tidak harmonis. Mungkin bagi beberapa kelompok orang, pasar malam bukanlah tempat yang layak untuk menghibur dirinya.Ya, pasar malam memang tidak banyak bicara tentang kualitas dan standar yang tinggi. Ia hanya ingin menjawab secara praktis kebutuhan-kebutuhan yang mesti dipenuhi oleh orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Memberikan jawaban bagi kerinduan-kerinduan untuk tersenyum sejenak bersama orang-orang yang di cintai. Dengan cara menampilkan hiburan yang sederhana.

Pada hiruk-pikuk pasar malam yang sangat sederhana itu pun, toh saya bisa melihat senyum-senyum melengkung diantara mereka yang mengunjunginya. Seperti tawa dari anak-anak kecil yang menunggangi kuda-kuda mainan pada putaran karosel, wajah-wajah kesenangan dari mereka yang diberikan permen kapas oleh orangtuanya, dan juga wajah-wajah bahagia dari para bapak dan ibu yang melihat anak-anaknya kegirangan. Mungkin wajah-wajah itu juga pernah ada pada ketika saya kecil dulu dan pada orangtua yang mengantar saya ke pasar malam. Wajah-wajah yang datang dari kebahagiaan pasar malam. Kebahagiaan yang sederhana; yang tak dapat diukur dari nilai materinya.

Malam itu saya benar-benar dibawa kembali pada kenangan lama oleh pasar malam yang tak sengaja saya datangi. Pasar malam yang juga sudah lama tidak saya kunjungi karena kesibukan dan konsep-konsep kebahagiaan yang kian terseret dan bergeser oleh kehidupan modern atau meminjam istilah Alvin, "Kekinian". Ya, bagi saya kehidupan kekinian yang di maksud Alvin itu sesungguhnya adalah kehidupan yang banyak menuntut. Secara ekonomi, sosial, dan kultural. Kebahagiaan yang dikonstruksi kepentingan ekonomi, pergaulan yang banyak timbang-menimbang modal simbolik sebagai instrumen pembeda kelas, dan budaya yang dipenuhi nilai-nilai klise dan kosong. Sementara di pasar malam yang tak begitu teratur ini saya bisa bernapas lebih lega; dengan udara Jakarta yang lembab dan mencekik.