Minggu, 14 Desember 2014

Yellow Submarine: Warna Warni dan Melayangnya Iskandar Agung

Suatu pagi ―saya lupa tepatnya pada tanggal berapa― sebangun tidur seperti biasanya saya langsung memeriksa layanan chat Line. Ternyata ada pesan masuk dari kawan satu divisi saya dulu di PKSR Rancang Bangun (PKSR RB), Iskandar Agung. Isi pesannya menarik, tapi membingungkan. Begini kira-kira yang Iskandar bilang di jendela chat waktu itu:

"Jul, aing akhirnya ngerti maksud film Yellow Submarine. Jadi itu teh maksudnya tentang sebenernya ga ada warna yang salah..."  (Sebenarnya masih lebih panjang, tapi karena saya sendiri ga paham lanjutannya. Mari kita fokus ke pesan yang satu ini)

Membaca chat dari si Iskandar itu saya cuma nyengir, dan berpikir bahwa malam ketika Iskandar kirim pesan itu ia sedang "melayang" sambil nonton film Yellow Submarine. Firasat saya ternyata benar, tak lama setelah saya balas pesan tersebut dengan tawa dan bertanya kenapa tiba-tiba bicara Yellow Submarine, Iskandar minta maaf karena pesan tersebut dia kirim waktu "melayang".

Pertama kali saya nonton film Yellow Submarine adalah waktu SMA kira-kira waktu kelas XI awal, tahun 2011 akhir. Waktu itu saya nonton lewat Youtube, dan tidak mencermati sampai kepada makna film tersebut. Ketika itu saya hanya coba memahami alurnya, menikmati musiknya, dan mencoba mencari inspirasi dari aspek visual film tersebut yang mungkin dapat di adaptasi kedalam bentuk dekorasi yang biasa saya kerjakan di ekskul biru donker.

Yellow Submarine, sumber: http://thekey.xpn.org



Kini, 3 tahun lewat, saya coba kembali tonton film karya The Beatles dan George Dunning tersebut. Tidak ada maksud khusus sebenarnya, hanya mencoba melepas penat setelah buat paper untuk ujian akhir semester matakuliah Pengantar Jurnalisme. Sekalian juga, mencoba memahami pesan yang dikirim si Iskandar Agung ketika melayang beberapa hari ke belakang.

Film yang di rilis pada tahun 1968 ini bercerita tentang suatu tempat yang bertempat 80.000 liga dibawah laut, Pepperland. Narator di awal film mendeskripsikan Pepperland sebagai sebuah "unearthly-paradise" yang digambarkan secara visual sebagai tempat yang warna-warni, bergapura pelangi, dan menggunakan kata LOVE sebagai pesan selamat datangnya. Ya, kehidupan di Pepperland memang berwarna dan penuh cinta. Musik juga merupakan hal yang sangat penting di surga bawah laut itu, penduduk Pepperland mendapatkan energinya dari musik yang dimainkan oleh sebuah kelompok band bernama "Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band."

Namun, canda-ria riang-tawa di Pepperland ternyata tidak berlangsung lama. Seperti kisah klasik The Legend of Aang, semuanya berubah ketika sekelompok makhluk biru bernama "Blue Meanies" menyerang. Kehidupan Pepperland dibuat porak-poranda oleh senjata dan serangan-serangan dari Blue Meanies. Pepperland yang asalnya warna-warni, berubah menjadi kelabu. Warna yang tersisa hanyalah warna biru sebagai atribut para Blue Meanies. Tapi ternyata, tidak semua penduduk Pepperland dibuat menjadi kelabu dan seolah mematung. Seorang tua, bernama Fred (kadang disebut Young Fred/Old Fred) melarikan diri dari Pepperland menggunakan sebuah kapal selam berwarna kuning. Itulah Yellow Submarine. Bersama Yellow Submarine Fred pergi ke Liverpool untuk meminta bantuan dari The Beatles, dengan maksud agar menghidupkan kembali kehidupan di Pepperland lewat musik yang mereka bawakan.

Dengan mencermati kembali hubungan antara Pepperland dan serangan dari para Blue Meanies, akhirnya saya bisa menangkap apa yang sebenarnya Iskandar Agung coba katakan kepada saya. Pesan yang ia kirim dalam keadaan "melayang" itu ternyata tidak ngawang ketika di crosscheck ulang.

Saya kira benar, di film Yellow Submarine unsur warna sebagai simbol merupakan hal yang penting. Di pelatihan dasar PKSR RB dulu, senior saya dan si Iskandar mengajari kepada kami bahwa divisi tempat kami bernaung, Divisi Warna, memiliki tugas untuk memberikan identitas kepada sebuah dekoran. Tiap warna memiliki kesannya sendiri, seperti merah untuk berani, kuning untuk ceria, dan putih untuk suci. Melalui warna kita bisa mencoba untuk paham apa yang pembuat film coba untuk sampaikan kepada audiens. Melalui warna, kita bisa memahami "Identitas" apa yang dilekatkan kepada suatu teks.

Walikota Pepperland Bermain Musik, sumber: photobucket

 Pepperland, beserta seluruh isinya digambarkan dengan sangat berwarna. Secara kasar, kita bisa bilang warnanya nabrak-nabrak. Warna merah tiba-tiba ketemu biru muda, warna hijau dihajar warna pink. Namun ada kesamaan diantara semua warna yang nabrak tersebut. Warna-warna yang di pilih adalah warna cerah. Dari pemilihan warna untuk Pepperland saya melihat sebuah kesan, bahwa Pepperland merupakan tempat yang diisi oleh berbagai macam orang, berbagai macam ide, berbagai macam sifat dan mereka sadar, mereka tidak dapat melebur menjadi susunan warna yang analogous (analogous dalam harmonisasi warna berarti bersandingnya warna senada, contoh: oranye-kuning kemerahan-kuning.) tetapi dari keberagaman tersebut mereka dapat hidup bersama membangun sebuah dunia yang penuh "cinta". Pada intinya, dengan penggunaan warna secara beragam pembuat film ingin menunjukkan adanya keanekaragaman dalam kehidupan di Pepperland.

Blue Meanies, sumber: fartoonsblog.blogspot.com

 Blue Meanies sendiri dari segi pewarnaannya secara relatif lebih menggunakan warna biru secara analogous. Mereka adalah sebuah kaum yang memiliki persamaan secara identitas, disimbolkan oleh identitas warna biru pada tiap-tiap anggota kelompoknya. Warna biru sendiri sering dikaitkan dengan ekspresi kesedihan. Sebutlah lagu "Pretend" karya Nat King Cole, liriknya yang berbunyi "Pretend you're happy when you're blue.." mengajak kita berpura-pura senang untuk membuang kesedihan atau tentang bagaimana sejarah doraemon, kucing robot yang seharusnya berwarna kuning berubah warnanya menjadi biru, kuningnya luntur setalah ia menangis karena kupingnya rusak digigit oleh seekor tikus. Dari sana, kita bisa menyimpulkan bahwa Blue Meanies bersama warna birunya menyimbolkan sebuah kaum yang mencoba menyebarkan kesedihan kepada seantero Pepperland.

Lewat adegan penyerangan Blue Meanies terhadap Pepperland, saya menangkap bahwa sang produser ingin menyampaikan kepada kita bahwa ditengah kehidupan, yang berisi berbagai macam manusia dan kebudayaan, sering terdapat upaya-upaya penyatuan. Penyatuan di tengah keberagaman mungkin punya maksud baik, yaitu solidaritas. Namun sejarah pun banyak bercerita pada akhirnya penyatuan sering menjadi keuntungan yang hanya untuk pihak-pihak dominan, baik secara kekuatan fisik maupun ide. Kebenaran yang ada pun seringkali disandarkan kepada ide-ide kaum yang mendominasi. Ide yang tidak sejalan dengan golongan, akan di nilai salah. Mungkin, itulah mengapa dalam film Yellow Submarine ketika Blue Meanies berkuasa ia membuat warna-warna lain menjadi kelabu. Disana Blue Meanies membuat sebuah dominasi, membiarkan warna yang "hidup" tinggal warna biru. Warna identitas miliknya.

Mungkin itulah, apa yang Iskandar maksud dengan "Tidak ada warna yang salah", saya mengartikannya menjadi "Keberagaman bukan suatu hal yang mesti disalahkan". Ya, memang jika berkaca di Indonesia sendiri keberagaman sering menjadi awal dari sebuah konflik dan bahkan, di tingkat para terpelajar pun perbedaan pemahaman dan ideologi yang dipegang seringkali jadi bahan pertengkaran. Keberagaman dalam suatu kelompok akan memberikan potensi perpecahan, ikatan di dalam kelompok-kelompok kecil bisa jadi lebih kuat dan saling bergesekan satu sama lainnya.

Tapi konflik, pertengkaran, perpecahan, sebenarnya bisa di hindari. Di tengah pertikaian, kita sering lupa bahwa diluar identitas yang di buat (bahasa anak UI: dikonstruksi) toh kita adalah manusia biasa. Tak bisakah kita menaruh perhatian sejenak untuk belajar memahami sesama?

Mari kita mulai dengan mencoba tetlebih dahulu memahami nyanyian John Lennon ketika menyelamatkan Pepperland di film Yellow Submarine, John bilang:

"All you need is Love, Love, Love is all you need.."

Dinihari, 15 Desember 2014, ditengah kejaran deadline UAS Takehome Pengantar Kajian Media.

Rabu, 29 Oktober 2014

Pasar Malam

Sabtu kemarin, tanggal 25 Oktober 2014, saya bertemu dengan Alvin dan dua kawan lain dari Planologi ITB (Plano) di Kota Jakarta. Pertemuan di hari itu sebenarnya tak ada maksud dan tujuan formal apapun, hanya sekedar main, terutama bagi mereka anak-anak Planologi ITB yang sedang dapat kesempatan libur bebas dari kegiatan Ospek Jurusan (OSJUR).

Hari itu yang kami banyak lakukan hanya berbincang dan berputar-putar saja di pusat kota; mengamati Jakarta yang selalu memberikan kesan sebagai kota yang sarat dengan optimisme pemikiran modern. Mengamati hutan-hutan beton yang dibangun untuk mencakar rahang-rahang langit; tempat dimana orang mencoba menggapai kaki-kaki mimpinya yang tergantung pada langit-langit harapan. Sebelum mungkin, pada akhirnya dikecewakan. Ya, selalu ada perasaan-perasaan asing yang terkadang menimbulkan kesan kagum sekaligus ngeri ketika saya memandangi pemandangan Kota Jakarta.

Sampai akhirnya senja datang dan mentari tenggelam, kami harus kembali ke Stasiun Gambir. Alvin dan Nisa mesti mengejar kereta ke Bandung pada pukul 19:50. Mobil pun di gas menuju stasiun besar tersebut. Ketika itu kami sampai di Gambir pada pukul 19:00, dan seperti biasa tabiat Alvin sebagai turis kumat, ia ingin membawa sesuatu dari Jakarta untuk dibawa pulang ke Bandung, ia ingin gantungan kunci monas katanya. Akhirnya, dari parkiran mobil Gambir pun kami putuskan untuk masuk ke area Monumen Nasional untuk mencari gantungan kunci yang Alvin inginkan.

Bertepatan dengan waktu malam minggu, ternyata di sekitar monas sedang digelar semacam pasar malam, lengkap dengan tukang jualan dan badut-badut kostumnya. Perasaan yang berbeda muncul ketika saya memasuki dan berjalan melewati pasar malam tersebut. Tidak seperti sebelumnya, kini saya merasakan suatu suasana yang lebih akrab. Suatu pertemuan dengan kawan lama yang berapa kurun tak jumpa. Kaki-kaki lima itu, tawar menawar itu, dan cahaya-cahaya neon yang tidak tertata itu. Hiruk-pikuk pasar malam itu benar-benar menenggelamkan saya kepada ingatan-ingatan yang telah lama tersimpan dan jarang saya buka. Bahkan, ia mengembalikan saya kepada memori-memori termuda saya.

Sebagai seorang bocah yang tinggal di pinggiran Kota Bandung, saya sering di hibur oleh yang namanya pasar malam. Agak berbeda mungkin dengan yang di monas, pasar malam yang dulu menghibur saya selain penuh dengan pedagang, disana juga banyak berbagai wahana bermain. Seperti karosel, rumah hantu, kincir putar, tong setan, dan entah apalagi. Pasar malam dulu sering diadakan di lapangan parkir depan Pasar Induk Caringin, yang letaknya mungkin hanya beberapa ratus meter dari rumah nenek saya dan 1 km dari rumah buyut saya, tempat waktu itu saya tinggal. Saya ingat ketika itu, pasar malam di pasar induk selalu menjadi hal yang diiming-imingkan oleh orangtua dan kakek-nenek saya agar saya berperilaku baik. Kalau saya berbuat hal-hal jelek, mereka tidak akan mengajak saya kesana dan saya akan ditinggal di rumah sendirian. Tentu sebagai anak kecil berumur 2-3 tahun dulu saya menurut saja dan membayangkan betapa asyiknya jika saya dibawa ke pasar malam. Dari potongan-potongan kenangan mengenai pasar malam itu, yang paling bisa saya ingat hanyalah ketika saya menaiki wahana kincir, bersama ayah saya.

Semakin saya bertumbuh, pun kehidupan saya ternyata tidak jauh-jauh amat dari pasar malam. Ayah saya bekerja pada suatu Event Organizer, biasa menyediakan jasa di sektor pemerintahan untuk membuat sebuah pameran yang membantu promosi usaha-usaha kecil dan menengah. Karena itu, tak jarang pameran-pameran tersebut diadakan di daerah-daerah dan kota kecil seperti Tasikmalaya, Garut, Ciamis, dan Subang, tempat dimana usaha-usaha kecil dan menengah itu tumbuh. Namun, permasalahannya jika hanya dengan pameran dan mungkin panggung hiburan, akan sangat sedikit pengunjung yang datang. Mengingat minat bisnis mungkin di kawasan-kawasan seperti itu tidak memiliki animo yang tinggi. Oleh karena itu, ayah saya membuat sebuah pemecahan masalah untuk menarik pengunjung. Pemecahan masalah itu adalah memberikan ruang hiburan yang menarik banyak orang: Pasar Malam.

Jadi, bagi saya ikut ke tempat ayah saya bekerja sama saja dengan pergi ke pasar malam. Bertemu kembali dengan pancaran lampu petromaks tukang kacang, tukang gulali, wahana-wahana permainan, dan kadang copet yang ketahuan lalu di pukuli. Karena itulah, saya lebih menganggap ayah saya sebagai seorang pembuat pasar malam, bukan sebagai kepala dari event organizer. Karena ketika dulu saya sering ikut ke lapangan tempat ayah saya bekerja pun, saya lebih banyak menghabiskan waktu di pasar malam dibandingkan di tempat utama pamerannya. Darisanalah kedekatan dengan pasar malam terjalin. Bukan hanya soal tempat dan wahana, tapi juga dengan kehidupan sosial yang ada di dalamnya.

Pasar malam memang cenderung menjadi tempat hiburan bagi orang-orang kelas menengah sampai ke kelas menengah ke bawah. Dan memang, wahana permainan, produk-produk yang dijual, bila dibandingkan kualitasnya dengan apa yang ada di tempat-tempat seperti mall tentu akan sangat berbeda. Disana para pedagang baju mengobral barang jualannya di sekitar harga 10-30 ribu rupiah, itu pun masih sering terjadi proses tawar-menawar harga yang biasanya terjadi jika pembeli melakukan borongan. Kincir putar, karosel, tong setan, dibuat dengan sederhana dari besi-besi dan seng yang di cat dengan warna yang sebenarnya bisa dibilang norak dan tidak harmonis. Mungkin bagi beberapa kelompok orang, pasar malam bukanlah tempat yang layak untuk menghibur dirinya.Ya, pasar malam memang tidak banyak bicara tentang kualitas dan standar yang tinggi. Ia hanya ingin menjawab secara praktis kebutuhan-kebutuhan yang mesti dipenuhi oleh orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Memberikan jawaban bagi kerinduan-kerinduan untuk tersenyum sejenak bersama orang-orang yang di cintai. Dengan cara menampilkan hiburan yang sederhana.

Pada hiruk-pikuk pasar malam yang sangat sederhana itu pun, toh saya bisa melihat senyum-senyum melengkung diantara mereka yang mengunjunginya. Seperti tawa dari anak-anak kecil yang menunggangi kuda-kuda mainan pada putaran karosel, wajah-wajah kesenangan dari mereka yang diberikan permen kapas oleh orangtuanya, dan juga wajah-wajah bahagia dari para bapak dan ibu yang melihat anak-anaknya kegirangan. Mungkin wajah-wajah itu juga pernah ada pada ketika saya kecil dulu dan pada orangtua yang mengantar saya ke pasar malam. Wajah-wajah yang datang dari kebahagiaan pasar malam. Kebahagiaan yang sederhana; yang tak dapat diukur dari nilai materinya.

Malam itu saya benar-benar dibawa kembali pada kenangan lama oleh pasar malam yang tak sengaja saya datangi. Pasar malam yang juga sudah lama tidak saya kunjungi karena kesibukan dan konsep-konsep kebahagiaan yang kian terseret dan bergeser oleh kehidupan modern atau meminjam istilah Alvin, "Kekinian". Ya, bagi saya kehidupan kekinian yang di maksud Alvin itu sesungguhnya adalah kehidupan yang banyak menuntut. Secara ekonomi, sosial, dan kultural. Kebahagiaan yang dikonstruksi kepentingan ekonomi, pergaulan yang banyak timbang-menimbang modal simbolik sebagai instrumen pembeda kelas, dan budaya yang dipenuhi nilai-nilai klise dan kosong. Sementara di pasar malam yang tak begitu teratur ini saya bisa bernapas lebih lega; dengan udara Jakarta yang lembab dan mencekik.

Minggu, 14 September 2014

Yang Tinggal dan Meninggalkan Sesuatu

“Aku memang mengambil judul tersebut dari suatu bab komik ninja Naruto, maafkan bila memang kebetulan kamu tahu perihal pengambilan judul l ini dan merasa konyol karenanya..” 

Takdir memang tak selalu baik bagi seseorang yang mencinta. Kita mungkin pernah mendengar kisah-kisah indah tentang cinta dari negeri-negeri nun jauh disana, yang oleh para penutur dan penulisnya dibumbui berbagai macam gambaran kebahagiaan; pelukan mesra, kecupan manis, janji sehidup semati sepasang kekasih, atau tentang cinta yang hilang lalu kembali pulang. Tapi toh, disisi lain kita juga bisa temukan kisah-kisah pahit mengenai cinta, sebuah dunia yang berbeda dari kisah yang disebutkan sebelumnya. Jika tadi kita bisa membayangkan tentang langit biru dan bunga-bunga yang merekah, pada kisah-kisah ini yang kita temukan mungkin adalah gerimis yang kelam bersama pepohonan sekarat yang masih saja mencoba untuk mempertahankan hidupnya. Sebutlah, kisah tentang Majnun yang menjadi gila karena dipisahkan dengan kekasihnya Layla atau Zainuddin yang mesti kehilangan Hayati karena menikah dengan pria lain dan pada akhirnya mati tenggelam bersama Kapal Van Der Wijck. Ya, darisana kita bisa merasakan kebenaran dari apa yang Pram pernah tulis; bayang-bayang cinta adalah derita.

Agama Islam memang mengajarkan bahwa segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan. Sehingga kita sering mendengar istilah: jodoh di tangan Tuhan. Aku pun tidak menyangsikan hal tersebut. Tapi kita pun tahu kalaupun urusan tersebut telah diatur oleh Yang Maha Kuasa, kita sesungguhnya tak akan pernah tahu siapa pada yang pada akhirnya akan hadir dan menjadi teman hidup kita sebelum waktu yang nantinya akan memberikan jawaban. Dan dalam perjalanannya berkutatlah kita pada malam-malam dimana kita mengusut rahasia demi rahasia tentang “Si Dia” yang di janjikan.

Sudjiwo Tejo pernah bilang; Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu bisa berencana menikahi siapa, tp tak dapat kau rencanakan cintamu utk siapa. Aku tak tahu apa aku bisa percaya perkataan itu atau tidak karena memang jalan yang aku lalui belum sampai kepada penjara bernama pernikahan itu. Tapi setidaknya perkataan itu dapat membawa kita kepada pertanyaan-pertanyaan yang menarik: Apa yang akan terjadi jika kita memang terjebak pada suatu pernikahan yang tidak terdapat cinta dari dalam diri kita? Apakah kita akan bertahan atau lari? Apakah akan datang kebahagiaan darinya? Kira-kira begitu. Bagiku sendiri segala jawaban dari pertanyaan itu adalah spekulasi, jika aku mendapatkan jawaban-jawaban dari orang-orang yang memang belum pernah melalui situasi terkait. Termasuk dari hati dan pikiranku sendiri. Tak adil juga rasanya jika kita menilai apa yang sebenarnya belum kita ketahui.

Panta rhei; semuanya mengalir. Mungkin akan lebih adil jika memang kita biarkan semuanya mengalir. Tapi nyatanya dalam deras arus senantiasa bebatuan memecah. Ketika suatu masa yang kosong dan kita biarkan hidup mengalir dengan sendirinya, kita tak jarang sejenak terpaku pada hal-hal yang membuat kita berpikir ulang; apakah memang hidup ini akan mengalir begitu saja dengan sendirinya membawa kita ke suatu tujuan yang kita terima begitu saja ataukah kita dapat memberikan determinan-determinan tersendiri agar kita dapat menentukan sendiri kemana arus akan mengalir? Dalam hal ini tentu konteks tujuannya adalah soal cinta dan perjodohan.

Pikiran yang sentimental itu senantiasa hadir bersamaan dengan tamu yang tak diundang; Kenangan. Ya, dia adalah tamu kurang ajar yang dapat seenaknya saja melintas di pikiran dan perasaan kita; bersembunyi dan tersimpan diantara gelas-gelas kopi di sudut kafe, pada harmoni nada-nada musik rock klasik, atau pada tiket bioskop yang tak sengaja kita temukan terselip di sela-sela dompet. Semua itu membawa kita kembali kepada momen-momen yang telah lama tertinggal di belakang; momen penuh harapan yang sekarang kita rindukan. Menjebak kita kembali pada romansa-romansa bersama seseorang yang tak lagi tinggal, tapi meninggalkan sesuatu. Lalu kita mencoba kembali untuk menganggap semuanya mengalir, tapi tak mudah. Aroma kopi itu terus merayu untuk kembali, nada-nada itu terus melantunkan kisah lama, dan tiket bioskop itu memutar kembali cerita-cerita lama yang kita kira sudah lewat. Sampai pada akhirnya kita meragukan bahwa semua dapat dengan begitu saja mengalir; dan kita memutuskan untuk tinggal.

Orang-orang mulai banyak membicarakan; ada banyak ikan di laut, ada kebahagiaan tersembunyi di tempat-tempat lain, tapi itu semua tidak berlaku untuk mereka yang tinggal. Entahlah istilahnya apa, mungkin benar jika di bilang ia yang tinggal adalah orang yang memenjarakan dirinya sendi ri dalam kenangan. Tapi mungkin lebih tepat jika mereka yang tinggal dipahami sebagai para narapidana yang dengan sukarela masuk kedalam penjara tersebut. Mereka memilih, mungkin merasa nyaman. Dan kenangan-kenangan yang menjadi jeruji itu bukan cuma besi melintang yang dingin, tapi bagi mereka padanya terukir hal-hal yang indah namun ironis; yang membuat mereka terkadang sedikit menyunggingkan senyum dan tak lama kemudian membuat mereka kembali tertunduk, lalu mencari tempat yang paling nyaman untuk berbaring di sudut-sudut penjara itu; sambil menunggu ia yang meninggalkan sesuatu kembali pulang.

Dan entah sampai kapan, ia yang tinggal akan menunggu disana..

Selasa, 03 Juni 2014

Sehabis Sabung Ayam

Siang bolong itu langit nampak cerah. Mentari mengkilat kuning tepat diatas kepala, ditemani awan putih yang perlahan berarak ditiup angin musim panas. Sekilas pada hari yang cerah itu alam Desa Joyokerto terasa indah. Pada sayup-sayup suara alam itu terselip juga cicitan burung-burung kecil yang melayang diatas gubuk kecil di pinggiran hutan karet. Tempat dua orang penyadap beristirahat menyantap bekal yang isinya itu-itu saja, nasi, tahu, tempe, terkadang ditambah ikan asin atau telur.

"Ta, boleh kau bagi tempe punyamu itu denganku? nasiku belum habis tapi lauknya sudah."

"Ambil saja Yus."

Yus dan Ata adalah dua orang penyadap karet, sekaligus tetangga di lingkungan Desa Joyokerto. Semenjak kedatangan Ata ke desa tersebut dan mencoba mengadu nasib menjadi penyadap karet, pekerjaan yang juga digeluti oleh Yus, mereka berdua menjadi semacam kawan seperjuangan dalam mencari nafkah di kebun karet. Bahkan, karena rumah mereka jaraknya dekat keluarga mereka pun saling mengenal dan berhubungan dekat. Minah, istri Yus, mengenal baik Salma, istri Ata. Begitu pun dengan Haen, anak dari pasangan Ata dan Minah, ia adalah kawan Indra yang rutin bermain mendayung getek bersamanya untuk menyebrang sungai agar dapat sama-sama sampai ke sekolah. Dan Indra sendiri adalah anak dari pasangan Ata dan Salma.

Ketika makanan yang awalnya ada pada rantang itu terlahap habis, kedua penyadap karet itu tak lekas pergi untuk pulang. Mereka duduk-duduk sebentar menikmati semilir angin, memberikan kesempatan pada perutnya untuk mencerna makanan yang telah mereka habiskan. Sambil menyalakan rokok kretek, mereka pun memulai pembicaraan..

"Hari demi hari harga di pasar makin naik, tapi upah hasil menyadap karet tidak kunjung baik. Ditambah upah jadi kuli panggul juga belum cukup. Sulit ya, Ta?"

"Yah begitulah.. Sabar sajalah Yus, pasti ada jalan."

"Cih, ceramahi saja terus aku tentang sabar. Sudah bosan aku mendengarnya. Lagian, kau itu kan bisa baca tulis, dan kemarin dapat bantu-bantu di kantor desa waktu pemilu. Pastilah dapat uang lumayan kau."

"Alhamdulillah, masih tersisa Yus buat simpanan. Kau sendiri cobalah carilah tambahan lain."

"Heh, kau kira mudah untuk orang sepertiku dapat kerja? Gampang sekali kau berbicara seperti itu."

Mendengar omongan kawannya itu, Ata hanya menyunggingkan senyumnya saja, tanpa berbicara.

"Ta, asal kau tahu saja, istriku si minah sudah berhari-hari meminta uang untuk seragam dan sepatu si Haen yang rusak dan perlu beli yang baru. Untuk seragam sudah bisa aku berikan, tapi untuk sepatu itu sayangnya belum. Dan istriku itu makin harinya makin bawel saja."

"Oh, jadi kau benar benar butuh uang Yus?"

"Ya"

"Begini" kata Ata melanjutkan "Tiga hari lagi, ada pertarungan sabung ayam di pelataran Gan Jaya. Ayamnya, Si Wokwok, akan ditarungkan dengan ayamnya Gan Tisno, Si Kokok. Kau bisa taruhkan uang yang kau punya disana, dan kalau kau menang mungkin kau bisa belikan itu sepatu buat si Haen. Sekurang-kurangnya kalau kau menang, setengahnya kau dapat."

Yus pun mengerutkan dahinya. Ia sadar bahwa ia akan berjudi dan mempertaruhkan uang yang ia punya. Salah-salah bisa hilang semua uangnya.

"Kira-kira, siapa yang akan menang menurutmu Ta?"

"Entahlah, Si Kokok adalah jagoan se-Joyokerto, sedangkan Si Wokwok pernah juga mengalahkan Si Japra, juara sabung kampung sebelah. Sulit juga untuk menentukan yang mana yang akan menang. Tapi, kalau aku harus memilh, aku memilih si Wokwok."

"Loh, kenapa?"

"Tak tahu."

"Ah, kalau begitu aku pilih si Kokok saja!"

"Kenapa begitu Yus?"

"Karena Si Wokwok kau pilih tanpa alasan yang masuk akal."

"Haha, jangan meremehkan. Kalau begitu aku juga akan bertaruh, buat Si Wokwok."

"Ho, boleh juga kau."

"Jadi, tiga hari lagi kita akan sama sama ke rumah Gan Jaya. Jadi Yus?"

"Jadi!"

Lalu setelah perjanjian itu dibuat, mereka pun pulang ke rumah mereka masing-masing. Berjalan telanjang kaki di jalanan tanah berbatu Desa Joyokerto.

***

Akhirnya sampailah waktu itu ke hari yang dinanti oleh Yus dan Ata. Malam hari itu mereka berjalan bersama ke pelataran rumah Gan Jaya yang memang sudah penuh sesak oleh para penjudi ataupun mereka yang sekedar datang untuk menonton. Tukang kacang rebus pun tak ingin ketinggalan, nyala kuning dari lampu petromaknya menambah hingar bingar pada pelataran rumah Gan Jaya yang cukup luas itu. Sesampainya disana, Yus dan Ata langsung berhadapan dengan sang bandar, masing-masing dari mereka mengeluarkan selembaran uang seratus ribuan merah dari sakunya untuk dipertaruhkan.

Tak mudah untuk Yus mendapatkan uang seratus ribu itu, ia harus adu mulut dulu dengan Minah untuk membawanya keluar rumah sebagai barang taruhan. Ia hanya bilang ke Minah kalau ia ada urusan, dan ia memerlukan uang itu. Ia berjanji untuk membawa kembali uang yang lebih dari yang ia bawa, yang ia janjikan untuk membeli sepatu baru bagi si Haen. Mendengar janji Yus akan sepatu Haen, minah pun mempersilahkan Yus pergi membawa seratus ribu itu, walaupun dengan nada yang ketus.

Dari Bandar Judi, Yus dan Ata langsung masuk ke kerumunan yang berkumpul di sekitar arena pertarungan. Di dua sisi yang berlawanan pada arena tersebut, sudah berdiri Si Kokok dan Si Wokwok. Namun keduanya masih terkurung di dalam kurungan bulat yang terbuat dari anyaman bambu. Dengan cermat, Yus memperhatikan profil kedua ayam yang sebentar lagi akan beradu itu.

Dari penglihatannya, Si Kokok ayam jagoannya itu punya fisik yang lebih berisi dan tegak, tindak tanduknya lebih aktif dan terlihat siap menggasak lawan tandingnya. Sementara Si Wokwok, figur tubuhnya memang kekar dan tegap, tapi ia lebih kecil daripada Si Kokok. Gerak-geriknya pun terlihat kalem-kalem saja, seperti ayam-ayam di Joyokerto yang biasa dibiarkan liar mematuk tanah di pekarangan. Dengan modal pengamatan kecilnya itu, kepercayaan diri Yus mulai tumbuh. Ditambah lagi beberapa saat kemudian, sang bandar mengumumkan bahwa besar taruhan adalah tiga berbanding satu dengan Kokok sebagai ayam yang paling banyak ditaruhkan. Mendengar kabar itu Yus melempar senyum menyeringainya pada Ata, yang hanya berbalas senyum tipis.

Tak lama kemudian, para pawang dan empunya ayam tersebut masuk ke arena pertandingan. Tudung pengurung bambu itu diangkat, dan ayam-ayam tersebut digendong sejenak oleh para pawangnya. Mereka di elus, sambil dibisiki kata-kata sunyi yang berkomat-kamit dari mulut para pawang. Lalu, mereka diberdirikan berhadap-hadapan. Si Kokok yang agresif langsung mencondongkan kepalanya ke depan, sementara lawannya masih tetap tenang, namun matanya cukup tajam memandang dalam-dalam pada mata Si Kokok. Tak lama kemudian, aba-aba pertarungan diteriakkan, ayam-ayam itu dilepas dan pertarungan dimulai.

Ayam-ayam itu berjalan mengitari arena yang bentuknya bulat, saling memandang satu sama lain dengan waspada. Sorak-sorai dari pinggir arena bersahutan mendorong ayam-ayam itu agar segera melancarkan serangan. Di pinggir arena itu juga Yus dan Ata berdiri, masing-masing menitipkan seratusribunya pada kedua ayam itu, terlebih untuk Yus yang harap-harap cemas kalau-kalau tak bisa mengganti uang yang ia ambil dari uang belanja istrinya itu. Serangan pertama dilancarkan oleh Si Kokok, ia melompat, mengepakkan sayapnya dan berusaha mencakar Si Wokwok yang berusaha menghindar. Adu cakar, mematuk, terus terjadi sepanjang pertandingan sabung ayam itu. Dengan Si Kokok sebagai penyerang yang dominan. Kedua bulu di leher ayam itu pun terlihat berdiri mengembang, seperti rambut singa, tanda bahwa pertandingan kian panas diantara mereka. Si Kokok kembali menyerang, sampai membuat lawannya terguling di tanah kering berpasir itu. Yus terlihat girang, mendapat harapan yang besar uang seratusribunya akan berlipat malam itu. Tapi siapa sangka, ketika Si Kokok akan memberikan serangan terakhirnya, Si Wokwok berbalik berdiri lalu dengan keras mematuk Si Kokok tepat pada lehernya, yang membuat ayam malang itu terjatuh meronta-ronta seperti orang kedapatan ayan, sambil mengeluarkan suara aneh yang memekik, seperti suara orang yang lehernya tercekik dengan keras.

Dan Si Kokok pun dinyatakan kalah dalam pertandingan itu. Harapan Yus pada ayam jagoannya itu luluh lantah, kekesalan mulai terasa sesak di dadanya..

***

"Hah, lihat jagoanmu itu. Aku sudah mengira dia tak akan kuat menghadapi pertarungan besar seperti ini. Bentar lagi juga dia akan meninggal dunia kena patukan seperti itu!" Seru Ata dengan nada merendahkan bahan taruhan yang diambil oleh Yus. Jelas saja, perkataan kawannya itu membuat Yus kesal. Bukan hanya martabatnya yang direndahkan yang jadi penyebab kekesalan itu, ia juga mesti memikirkan harus bilang apa kepada istrinya tentang seratus ribu yang ia sia-siakan malam ini dan membayangkan teriakan melengking istrinya yang marah karena besok sampai waktu yang tak menentu dapurnya tak akan mengepul. Semuanya terbuang sia-sia dalam sabung ayam malam itu.

"Kau tunggu di sini, aku ambil uang hadiahku dulu sebentar." kata Ata sambil melangkah pergi menjauhi Yus yang masih berdiri di pinggir arena sabung ayam yang telah kosong. Yus kembali teringat kepada sepatu anaknya yang belum terbeli itu. Ia kembali terbayang Minah, dan Haen; apa yang harus kubilang? tanyanya dalam hatinya. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, dapur terancam tak mengepul.. sepatu untuk anaknya pun tak terbeli. Kesialan yang menimpa dirinya malam itu semakin membuat kesal.

"Ayo Yus, kita pulang. Uangku jadi tiga kali lipat. Salma dan Indra pasti senang ketika aku pulang, haha."

Yus menoleh pada Ata, dengan pandangan yang tajam. Ia diam sejenak memandangi kawannya itu tanpa bersuara.

"Yus, ayo lah, sudah malam.. jangan kau terlarut ini cuma permainan bukan. Besok kita harus menyadap karet lagi." ucap Ata dengan nada yang merendah.

"Ya, ayo kita pulang. Tapi kita singgah dulu di gubuk, aku mau ambil peralatan dulu disana"

"Untuk apa Yus? toh besok pagi kita sudah ke gubuk lagi bukan?"

"Golok di rumahku rusak, sementara istriku membutuhkannya untuk membuat santan. Mungkin parang di gubuk bisa berguna."

"Oh.. baiklah.. tapi lekaslah Yus, sudah malam, kasihan anak istri kita."

Akhirnya mereka pun melangkah pergi dari pelataran rumah Gan Jaya, berjalan kearah gubuk yang biasa mereka gunakan untuk beristirahat dan menyimpan peralatan untuk menyadap karet di perkebunan. Bulan hanya terlihat sebagian, dan hutan terlihat gelap diriungi bayangan pohon yang jarang-jarang. Kedua lelaki itu berjalan selangkah demi selangkah pada jalan setapak gelap yang pada siang hari dapat terlihat jelas lika-likunya. Hingga pada akhirnya sampailah mereka pada gubuk di perkebunan karet itu.

"Kau tunggu diluar." kata Yus yang masuk kedalam gubuk dan mencari-cari parang ditengah kegelapan.

Ata menunggu sendirian di luar, mencoba meresapi suara alam dari derikan jangkrik dan dinginnya udara malam. Ia keluarkan uang tiga ratus ribunya dari kantung celananya. Ia tersenyum, setelah kemarin mendapat komisi waktu membantu pembangunan dan menjadi resepsionis di TPS, kini uangnya kembali bertambah. Sekilas ia teringat nasib kawannya itu yang membutuhkan uang untuk membeli sepatu anaknya, ia berpikir mungkin sebagiannya bisa ia pinjamkan, bulan depan pun pasti akan lunas terbayar. Dari gubuk terdengar suara perabotan yang diotak-atik oleh Yus, lalu tak lama kembali sunyi, mungkin Yus sudah menemukan parang yang dibutuhkannya. Dan benar saja, dari belakang terdengar suara Yus memanggil..

"Hei, Ata.."

Ata pun menoleh ke belakang.. dan "throokk!!" parang yang dipegang oleh Yus seketika tertancap pada bagian leher bawah seorang Ata. Seperti Si Kokok yang dipatuk oleh Si Wokwok jagoan Ata, suara aneh itu pun terdengar lagi dari mulut Ata yang mencoba meronta. Darah mengalir dan berjatuhan pada kaus kumal yang dipakai Ata, dan beberapa tetes terciprat pada baju yang dikenakan Yus. Ata pun rubuh, suara aneh itu tak lagi terdengar, lalu Yus pergi meninggalkan Ata yang bersimbah darah. Tak lupa membawa uang tiga ratus ribu yang ada dalam genggaman kawannya..

*** 

Yus pun berjalan pulang ke rumahnya, ditengah jalan ia tanggalkan bajunya yang terkena bercak darah itu dan ia sembunyikan bersama parangnya dalam lubang yang ia gali dibawah sebuah pohon karet. Tiga ratus ribu itu ia simpan dalam sakunya, berharap dengan uang itu tidak akan ada lagi istrinya yang bawel tentang uang, dapur, atau sepatu untuk anaknya. Malam ini ia berpikir tidurnya akan sedikit lebih tenang.

Sesampainya di rumah ia mengetuk pintu, dan istrinya Minah membukakan pintunya sambil terheran-heran.

"Mana bajumu mas?"

"Ku buang, tadi tersangkut dahan sampai lengannya robek. Tak layak lagi untuk dipakai"

"Aduh mas, kujahitkan kembali seharusnya bisa kan?"

"Sudahlah, diam kamu. Ini, uang seratusribu yang tadi aku pinjam. Dan ini, tambahannya untuk dapur dan sepatu buat Si Haen."

Yus pun menyodorkan uang tiga ratus ribu yang ia dapat dari Ata. Namun Minah tak mau menerima seluruhnya. Hanya seratus ribu yang tadi dipinjam saja yang ia ambil kembali.

"Kenapa? Ambil semuanya, kau sudah bawel kan dari kemarin minta belikan  sepatu untuk anak kita?"

"Oh, untuk itu sudah tak perlu mas.."

"Loh, dia sudah dapat sepatu baru? kau dapat uang darimana? Bilang!"

"Sabar mas, aku dapat sepatu ini cuma-cuma" Minah berjalan lalu berjongkok mengambil sepatu warrior hitam yang terletak di kolong kursi "Memang tak baru, tapi toh ini masih cukup bagus untuk dipakai."

"Baiklah, tapi kau dapat dari siapa sepatu itu?"

"Dari Salma mas, ini sepatu bekas Indra. Katanya kemarin Indra dibelikan sepatu baru oleh ayahnya. Namun, karena yang lama ini masih bagus, sayang kalau tidak dipakai atau dibuang. Jadi, Salma berikan saja sepatunya pada Haen."

"Salma.. Indra.. istri si Ata itu??"

"Iya mas, mereka memang keluarga yang baik. Hutang budi lah kita dengan mereka. Harus dibalas suatu hari nanti.."

Mendengar perkataan istrinya itu, Yus hanya bisa terpaku diam. Ia dudukkan dirinya di kursi itu, lalu kembali terpaku dengan pandangan yang kosong ke tanah alas rumah mereka berdiri. Ia terbayang kembali pada mayat Ata yang tergolek dan ia tinggalkan dengan dingin. Terbayang pada Indra yang sekolah menggunakan sepatu baru, tapi kehilangan ayahnya. Terbayang pada Haen, memakai sepatu pemberian keluarga yang seorang ayahnya ia buat meninggal dunia. Dan terbayang kembali pada kekesalan kekesalannya yang memuncak karena kalah dalam perjudian, yang akhirnya ia lampiaskan pada seorang kawannya;

Tepat sehabis permainan sabung ayam..

***

Terinspirasi dari: KOMPAS.COM

Minggu, 01 Juni 2014

Selamat Datang, Juni

Hujan Bulan Juni

Oleh: Sapardi Djoko Damono

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni,
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Apa kabar? Sudah bulan Juni.
Sebentar lagi liburan. Semoga senang-senang, disana.

Senin, 26 Mei 2014

Di Kantin

Bocah itu mengelap ingus yang mengalir turun dari hidung menuju bibirnya dengan kerah baju hitamnya yang lusuh dan itu-itu saja. Kemudian ingus itu menempel lengket pada kerah bajunya, sedikit basah, sebelum nantinya menjadi kerak-kerak kering yang mencorak pada baju yang lusuh itu, dibuat kering oleh terik matahari ibukota.

Di tangannya ia genggam beberapa pack tisu, yang tidak digunakannya untuk mengelap ingus. Ia lebih memilih kerah bajunya saja yang jadi lap untuk membersihkan lelehan ingus. Karena baginya tisu-tisu tersebut bukanlah untuk membersihkan hidungnya, bibirnya, atau wajahnya, tetapi baginya tisu-tisu itu adalah kesempatannya untuk menyambung hidup.

Pada tiap pack tisu tersebut ia titipkan harapan, tiga ribu rupiah, yang ia jajakan pada tempat-tempat ramai lalu-lalang banyak orang.. Dan pada jam-jam tertentu ketika kantin-kantin ramai, ia jajakan juga disana. Berharap kepada kemungkinan ada saja orang yang butuh untuk mengelap bagian bibirnya sehabis makan, untuk membersihkan bagian-bagian pakaian yang tak sengaja basah oleh minuman, atau untuk sekedar mengelap keringat pada pelipis-pelipis wajah. Bahkan, ia berharap agar ada saja yang membeli tisunya hanya karena kasihan.

Dan di siang hari itu, kantin memang sedang ramai. Bocah itu pun siap melancarkan operasinya untuk menjual tiap pack tisu yang ia bawa. Setiap sudut kantin ia jelajahi, mencoba mencari orang yang dapat mewujudkan harapan yang ia titipkan pada tisu-tisu tersebut. Menawarkan, merayu, dan memelas, agar orang-orang di kantin itu membeli barang jualannya. Tapi sepertinya hari iru memang bukan hari miliknya, belum ada tisunya yang laku terjual. Tinggal satu meja yang belum ia datangi, meja yang diduduki oleh beberapa orang pemuda yang sedang asyik mengobrol. Daripada tidak mencoba, bocah itu pun menghampiri meja tersebut.

***

"Kak, beli lah tisunya.."

Mendengar suara si bocah, salahsatu pemuda yang duduk di bangku meja itu menoleh, lalu tersenyum dan berkata basa-basi pada si bocah: "Tawarin aja sana ke cewek-cewek, cowo mah gak pake tisu!" sebuah kalimat yang memang biasa digunakan para pemuda untuk menolak barang jualan si bocah. Dan si bocah sudah tahu betul arti kata-kata itu, bahwa para pemuda itu tidak akan ada yang menaksir tisu-tisu yang ia jual. Ia kecewa, namun, ia tidak lantas pergi, ia duduk di dekat bangku-bangku yang diisi para pemuda itu, memperhatikan obrolan mereka sambil sejenak beristirahat, memberikan kesempatan pada kaki-kakinya yang mulai pegal karena berjalan.

"Aku yakinlah, kalau capres jagoanku itu menang, kita bisa usir itu kapitalis-kapitalis asing yang menyedot kekayaan alam milik kita" kata seorang pemuda. "Alah kau, jagoanmu itu tegas sih tegas, tapi salah-salah omong kita bisa kena culik!" timpal pemuda yang lain "Kita butuh pemimpin yang bisa membawa kebaruan, yang tidak hadir dari generasi yang hidup dibawah pemimpinan rezim terdahulu, yang mau bekerja untuk mensejahterakan rakyat, yang datang membawa mimpi rakyat kecil!"

Bocah itu mencoba mencerna obrolan para pemuda tersebut, ia cukup bisa menangkap, sedikit, mereka mengobrolkan tentang presiden.

"Maksudmu yang satu itu? masih belum jelas visi misi yang dia punya.." pemuda lainnya bereaksi pada perkataan temannya itu, yang lekas-lekas dijawab kembali oleh temannya itu "Apalagi yang belum jelas? dia akan mulai pembangunan negeri ini melalui sebuah revolusi mental, ia membangun sumberdaya manusianya dulu, lewat suatu pendidikan yang dirancang dengan baik. Lihat bocah yang jualan tisu itu, aku yakin jika calonku yang terpilih, ia bisa sulap bocah itu jadi insinyur."

Mendengar namanya dibawa-bawa bocah itu pun merasa perlu untuk memotong pembicaraan: "Apanya yang jadi insinyur? gimana caranya kak?" dan salahsatu pemuda itu menjawab: "Ya kau, jadi insinyur, kau disekolahkan yang tinggi, jadi orang besar."

Bocah itu mengerutkan dahi, diam sejenak, lalu kembali berbicara: "ah, sekolah? seperti kakak-kakak ini sekolah tinggi sampai bisa banyak omong yang tak bisa aku mengerti?" Pemuda itu menyeringai: "Haha, iya dik, kalau kau sudah sekolah setinggi kami, nanti juga kau mengerti apa yang kami bicarakan."

Bocah itu berdiri dari duduknya, lalu berkata: "Aku tak mau seperti itu kak."

"Loh, kenapa?" Pemuda itu heran.

"Buat apa bisa mengerti omongan tinggi" kata bocah itu, "kalau mengerti susahnya jualan tisu ini saja sulit!"

Dan bocah itu pun melangkah keluar kantin..

Jumat, 23 Mei 2014

Saya Kehilangan Selera

Sudah hampir setahun saya meninggalkan kehidupan putih-abu, dan dalam rentang hampir setahun itu, saya merasa bahwa kehidupan itu benar-benar saya tinggalkan dan kenangan pada waktu-waktu itu tinggal jadi potret yang hanya bisa saya ingat dengan miris; bahwa saya tidak akan pernah kembali kepada waktu-waktu tersebut dan terlalu banyak syarat yang harus dipenuhi untuk membuat keadaan hari ini menjadi ulangan dari sejarah tersebut.

Sore tadi saya baru ngobrol dengan sahabat saya di SMA, Alvin Noviansyah, lewat media layanan chat online tertunya karena kini kami tinggal di kota yang berbeda. Terlepas dari pembahasan sentimentil tentang wanita dan cinta, Alvin menunjukkan sebuah foto pada saya, foto dekoran. Dekoran monumental berbentuk kristal dengan cahaya biru yang terpendar, dekorasi itu dibuat dalam rangka menghias malam keakraban bagi mahasiswa SAPPK ITB 2013. Sangat baik untuk ukuran dekorasi skala acara internal, belum lagi hanya Alvin sendirian yang berpengalaman dan punya skill khusus untuk membuatnya dalam tim dekor. Jujur, saya merasa iri kepada sahabat saya tersebut, ia masih bisa membuat karya sebaik itu. Sementara saya disini merasa kering dan merasa kehabisan selera dalam berkarya. Walaupun pada pembicaraan itu Alvin pun bilang, bahwa ia pun merasakan suatu keterbatasan dalam berkarya kini.

Dekoran Alvin
Memang, bukan berarti di tempat saya kini tidak ada namanya kegiatan seni, kegiatan organisasi, atau kegiatan diskusi yang dulu saya dan Alvin sama sama hidupi. Kegiatan-kegiatan tersebut ada, namun tidak pernah terasa begitu menarik daripada kegiatan-kegiatan yang dulu pernah kami lakukan. Sederhananya, seolah aneh rasanya ketika mengetahui bahwa kami tidak bisa mewujudkan mimpi yang lebih besar daripada mimpi-mimpi yang dulu telah kami wujudkan. Bukan hanya dekoran, apa pun yang sifatnya karya besar seperti acara bazaar, promosi ekskul (mungkin kini namanya komunitas), kaderisasi, intinya suatu program kerja . Ada sesuatu yang hilang dalam yang namanya membuat karya-karya yang membanggakan, ada yang salah dengan yang namanya berorganisasi atau berhimpun atau membentuk kepanitiaan atau apapun itu, yang intinya berkumpul dan memiliki satu tujuan; dan sebagai istilah untuk menyebutnya sebut sajalah itu berorganisasi, karena sepolos-polosnya komunitas atau kepanitiaan dari aturan-aturan formal, ia tetap memiliki sistem pengorganisasian.

Saya bilang pada Alvin bahwa masalahnya adalah minim pikiran kreatif, sehingga setiap karya dari suatu kegiatan berorganisasi seolah itu-itu saja dan membosankan. Tapi dia memberikan pandangan lain, katanya, masalah ada pada orientasi individu-individu dalam berorganisasi, yang ia bilang sebagai "Orientasi Kehidupan Modern", dimana berorganisasi adalah untuk sekedar mencari pengalaman dan mengisi baris-baris kosong pada curriculum vitae (CV) bukan untuk berorganisasi itu sendiri; menghimpun individu kedalam suatu tujuan yang akhirnya menghasilkan suatu karya atau dampak-dampak dari tujuan tersebut. Sehingga mutu dari karya suatu kegiatan organisasi tidak terlalu penting bagi individu, yang lebih penting adalah individu mendapatkan nilai pengalaman dan nilai praktis berupa isian CV yang sah. Yang dibuat adalah bukan karya, melainkan sebuah rencana-rencana semata atau yang saya tafsirkan tentang rencana  maksudnya adalah step by step proyeksi program kerja, tanpa ada nyawa berupa hasrat berkarya pada program kerja tersebut. Saya setuju, tapi menanggapi kembali bahwa yang dibuat oleh kegiatan organisasi dalam orientasi tersebut juga tidak dapat selalu dipandang sebagai pembuatan rencana, karena biasanya rencana sudah tersedia sebagai prosedur turun-temurun, namun yang membedakan adalah cara pembungkusan rencana tersebut. Dan saya juga memandang, pergeseran orientasi berorganisasi ini memberikan dampak kepada pemahaman individu terhadap sistem kerja suatu organisasi, misalnya seperti penggunaan AD/ART dalam menentukan kebijakan, penggunaan struktur dalam sistem komando dan koordinasi, juga Hak, Wewenang, dan Kewajiban yang tidak menentu ketetapannya sehingga perilaku anggota organisasi seolah kurang teratur.

Saya kini memang tidak terikat pada organisasi manapun, tapi saya pernah mengalami suatu kegiatan berorganisasi disini atau mendengar pengalaman kawan-kawan saya yang ikut dalam suatu organisasi, dan saya menemukan kasus-kasus yang akar masalahya kembali pada yang dikatakan Alvin: Orientasi. Malah mungkin, kegiatan itu tanpa Orientasi sama sekali

Yang pasti, saya memang merasa kehilangan selera sekarang, dengan tidak menemukan ketertarikan dalam mengikuti kegiatan apa pun yang berbasis kerjasama. Dengan alasan, ketika melihat penyusunan acara dan organisasi tersebut, yang saya lihat hanya nilai-nilai kosong tanpa hasrat mencapai nilai-nilai tersebut.

Suatu karya yang baik, datang dari kerja yang baik, kerja yang baik datang dari pengorganisasian yang baik, pengorganisasian yang baik datang dari perancangan rencana dan dasar-dasar filosofis yang baik.

Apa itu baik? Mampu memberikan jawaban lurus dalam setiap pertanggungjawaban atas karya tersebut.

Selasa, 15 April 2014

Socrates #2 : Democracia Corinthiana

Socrates bersama Zico (4Dfoot.com)

Brazil memang negerinya sepakbola, o País do Futebol. Sejak si kulit bundar datang ke negeri itu pada akhir abad ke-18 sepakbola seakan tidak bisa dipisahkan dengan negeri Amerika Latin tersebut. Di Brazil, sepakbola bukan hanya sebuah permainan olahraga melainkan juga sekaligus menjadi budaya untuk masyarakatnya.  Bahkan bisa dibilang sepakbola adalah budaya nasionalnya, karena sepakbola ternyata punya peran dalam merekatkan ikatan masyarakat di Brazil yang dikenal juga sebagai masyarakat yang multikultural:

"...The fact is that football has been an effective (and also emotional) bridge between the “elite” who brought it from the biggest colonial empire on the planet, the very civilized England, and the people from a Brazil that in the eighteen hundred was made of former slaves. Putting black and white people, just as elite and the poor, in the same place was it its first lessons. Football has demonstrated that skills are better than a family name or even the color of the skin. It was the first mean of communication truly universal and modern among all the other segments of the Brazilian society. It has been teaching how to aggregate and disaggregate Brazil through its multiple choices and citizenship*." ―Roberto DaMatta, Anthropologist, dalam Museo Do Futebol (Google Cultural Institute)
Jika dilihat dari kompetisi sepakbola sendiri, Brazil memang negeri yang mesti diperhitungkan dalam sejarah sepakbola dunia. Kesuksesan dalam mencapai torehan gelar Juara World Cup sebanyak lima kali  pada tahun 1958, 1962, 1970, 1994 dan 2002 membuat A Seleção menjadi tim yang paling sukses pada kompetisi tersebut, dibuntuti oleh Italia dengan 4 gelar yang dimilikinya. Selain itu tentu kita tahu kalau negeri samba tersebut banyak melahirkan jagoan-jagoan lapangan hijau, kita bisa menyebutkan nama-nama mulai dari Pele, Garrincha, Rivellino, Zico, Bebeto, Cafu, Ronaldo da Silva, Ronaldinho sampai ke nama-nama baru seperti Jadson, Hulk, Paulinho, Leandro Damiao, dan tentunya Neymar.

Diantara nama-nama tersebut, Brazil pernah punya seorang pemain sepakbola, sekaligus seorang jenius, postur tubuhnya tinggi ramping dengan kakinya yang panjang, berwajah keras seringkali dihiasi brewok dan kumis, rambutnya ikal, seorang pesepakbola yang terkenal bermain di klub Corinthians sekaligus juga seorang dokter, tokoh publik, pengamat politik, dan revolusioner. Pemain sepakbola itu bernama Sócrates Brasileiro Sampaio S. V. Oliveira. Singkatnya: Sócrates.

Sócrates, mengenakan pakaian dokter (estadao.com)
"Sócrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Oliveira, MD (19 February 1954 – 4 December 2011), simply Sócrates, was a Brazilian footballer who played as an attacking midfielder. His doctorate in medicine and his political awareness, earned him the nickname "Doctor Socrates"." ― Wikipedia
Sócrates, sering dipanggil juga sebagai "Doctor Sócrates" atau "The Doctor" adalah seorang pemain yang memberikan warna lain kepada sepakbola di Brazil. Mengingat sepakbola adalah budaya mengakar di Brazil, sepakbola tentu merupakan hal yang sangat diperhatikan oleh masyarakat Brazil. Hal inilah yang sangat diperhatikan oleh Sócrates. Baginya, sepakbola bukan hanya sebuah permainan soal passing, shooting, dan goal, melainkan juga sebuah sarana untuk menyampaikan idea dan menggalang kekuatan. Idea dan kekuatan yang ditujukkan kepada satu titik, perlawanan.

Pada tahun 1964 terjadi sebuah kudeta militer yang menjatuhkan pemerintahan Brazil, sejak itu sampai pada tahun 1985 Brazil menjadi negeri yang diperintah oleh kediktatoran militer. Pada tahun-tahun itulah Sócrates hidup menjadi pemain sepakbola dan merasakan betapa tertindasnya hidup dibawah rezim diktator militer yang otoriter dan sangat membatasi manusia khususnya dalam kebebasan mengemukakan pendapat dan berpikir. Untuk itu Sócrates memimpikan sebuah sistem yang baru, yang lebih memberikan ruang terhadap manusia, Sócrates memimpinkan demokrasi bagi negerinya. Mimpinya akan demokrasi itulah yang ia bawa kedalam sepakbola, untuk melawan rezim diktator militer yang kala itu berkuasa.
"If you'd ask me if Sócrates was the best player in Corinthians history, i'd answer no, Rivellino is far better ... but Socrates was by far the most singular ... You can draw a parallel ... symbolical, between Sócrates and Che Guevara, an image of revolutionary" ― Juca Kfouri, Journalist, dalam Football Rebel (Aljazeera)
Langkah awal Sócrates dimulai dari klub tempat ia bermain pada tahun 1978–1984, Corinthians. Bersama rekan-rekannya, baik itu sesama pemain seperti Wladimir dan Walter Casa Grande maupun dengan jajaran pengurus tim seperti Adilson Monteiro Alves, Sócrates membangun Corinthians menjadi sebuah klub sepakbola yang memiliki sebuah kesadaran politik. Lewat klub ini, Sócrates dkk. membentuk sebuah gerakan untuk demokrasi, yang dimulai dari sebuah klub sepakbola untuk negeri Brazil yang lebih luas. Gerakan tersebut dikenal dengan nama Corinthians Democracy atau dalam bahasa Brazil disebut Democracia Corinthiana.

Pendekatan yang dilakukan oleh gerakan Corinthians Democracy dilakukan melalui simbol-simbol seperti logo pada bagian belakang jersey dan spanduk-spanduk yang menyuarakan demokrasi. Selain itu pendekatan juga dilakukan dengan mengubah sistem klub Corinthians menjadi lebih demokratis. Dalam hal ini, keputusan klub dibuat oleh semua stakeholders yang ada di dalam tim. Mulai dari pengurus, physio, coach, pemain, bahkan para pelayan klub. Keputusan diambil melalui sistem vote. Mereka juga mengedepankan komunikasi diantara semua elemen di dalam klub, banyak diadakan diskusi-diskusi dan debat. Bahkan, tak jarang mereka mengundang para seniman untuk bergabung dalam pembicaraan mereka. Ya, sepakbola dijadikan laboratorium untuk bagaimana hidup seharusnya.

Tim Corinthians di depan publik (google)
Jersey Tim Corinthians yang bertuliskan Democracia Corinthians. (imguol.com)

Spanduk bertuliskan "Menang atau kalah, yang penting dengan cara demokrasi" (globoesporte.globo.com)
"Corinthians Democracy was the voice of Brazilian war. Corinthians Democracy was the voice of football, the voice of sports, in a struggle to re-democratize the country. that's what the corinthians democracy was."―Adilson Monteiro Alves, dalam Football Rebel (Aljazeera)
Bersama Corinthians Sócrates dkk. bermain dengan baik, hasilnya adalah mereka menjuarai Liga Brazil sebanyak 3 kali pada tahun 1979, 1982, 1983. Permainan sepakbola yang baik dan prestasi yang dicapai tentu membuat gerakan Corinthians semakin dikenal oleh seluruh masyarakat Brazil. Tak sedikit yang menentang gerakan tersebut, seperti para pers pemerintah dan para pebisnis Sao Paulo yang punya kepentingan dengan pemerintah yang berkuasa, Corinthians dicap sebagai sekumpulan anarkis. Tapi tak sedikit juga yang memberikan dukungan, belum lagi dengan banyaknya suporter Corinthians yang loyal dan militan. Perlawanan tetap berlanjut, sampai pada akhirnya pemerintah mengadakan pemilu setelah lama tak diadakan. Melaui momentum tersebut, Corinthians Democracy kembeli melakukan manuver dengan cara mengajak seluruh warga Brazil untuk turut serta dalam pemilu melalui Jersey bertuliskan, "Dia 15 Vote", Vote pada tanggal 15.

"Dia 15 Vote" (google)
Sebagai tim papan atas, ternyata gambar dari jersey yang dikenakan oleh Corinthians dimuat oleh koran-koran di Brazil. Bukan hanya koran-koran yang beredar di Sao Paulo, tapi untuk seluruh Brazil. Pada akhirnya pemilu pun diadakan, dengan hasil kekalahan untuk rezim diktator militer. Di berbagai bagian Brazil, para oposisi pemerintah memenangkan suara.

Sócrates dengan gerakan Corinthians Democracy-nya menunjukan bahwa sepakbola bukan hanya soal pertandingan 90 menit di lapangan, juga bukan hanya kemenangan, kekalahan, profit klub, popularitas. Sepakbola pun sebuah bagian dari kehidupan, yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana mengemukakan pendapat dan menggalang kekuatan. Terlebih lagi pada negara yang menganggap sepakbola sebagai bagian daripada budayanya seperti Brazil.
"Di negeri yang sering menganggap sepakbola sebagai agama, Socrates tak ubahnya seorang teolog yang tak henti-hentinya mengkampanyekan pembebasan sepakbola dari korupsi, para pemain yang rakus, para pemilik klub yang tamak dan perusahaan-perusahaan multi-nasional yang menjajakan produknya melalui sepakbola."― Zen RS, Socrates dan Sepakbola sebagai Bendera Perlawanan (detiksport)
Sócrates meninggal dunia pada 4 Desember 2011, pada hari dimana Corinthians merebut Juara Liga Brazil. Sebelum pertandingan terakhir tersebut, diadakan mengheningkan cipta untuk dirinya. Seisi stadion mengangkat tinjunya keatas, meniru gaya selebrasi yang biasa dilakukan oleh Sócrates.

Rest In Peace, Sócrates.

Socrates mengacungkan tinju. (squarespace.com)
Diringkas dan disadur dari video Aljazeera Football Rebel : Sócrates

Kamis, 03 April 2014

Socrates #1

The Death of Socrates, karya Jacques-Louis David

Sekarang minggu UTS, dan masih ada seminggu lagi. Hal yang menyebalkan dari UTS adalah sempitnya waktu buat cari pengetahuan diluar bahan UTS. Kaya si Arish sama Bayu, yang kesulitan buat nyelesain Dunia Sophie sama Sherlock Holmes karena ada take home MMI sama sit-in MPKT B di hari Jum'at. Waktu sekian banyak itu bakal kemakan sama bahan-bahan dari Pak Koen, Amartya Sen, dan LSPB-LSPB dari Scele sehingga minim kesempatan untuk lari ke bacaan yang lain, yang lebih menyenangkan mungkin. Tapi kesempatan ga cuma datang karena kebetulan atau pemberian deng, bisa juga dibuat. Lagian saya kan alumni belitung timur, yang punya filosofi akademik kalau UTS adalah Ujian Teu Serius (teu=tidak), jadi rilek ajalah dulu kita cari-cari info tentang Socrates yang tadi sempat diomongin di depan fotokopian penjara.

Siapa Socrates? Seumur hidup saya, saya tau dua orang yang punya nama Socrates. Yang satu dari Yunani, dan satu lagi dari negeri tuan rumah Piala Dunia 2014: Brazil. Socrates yang dari Yunani itu kerjaannya nggembel di jalanan Kota Athena berfilsafat sama orang-orang yang dia temuin, sementara yang dari Brazil itu kapten tim nasional sepakbola Brazil di World Cup 1982, sebuah tim yang dipecaya sebagai salah satu tim terbaik yang pernah terbentuk di muka bumi. Jadi kedua orang yang bernama Socrates ini memang jelas beda, tapi duaduanya punya kesamaan: sama-sama keren. Dan pada kesempatan ini saya mau ngomongin Socrates yang dari Yunani dulu setelah tadi entah kenapa di depan fotokopian penjara banyak ngobrol tentang filsafat sama Bayu dan Arish.

Wikipedia bilang :  
 "Socrates (Yunani: Σωκράτης, Sǒcratēs) (469 SM - 399 SM) adalah filsuf dari Athena, lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Semasa hidupnya, Socrates tidak pernah meninggalkan karya tulisan apapun sehingga sumber utama mengenai pemikiran Socrates berasal dari tulisan muridnya, Plato." 
Salah satu dari tulisan Plato tentang Socrates adalah The Apology, yang katanya juga ditulis oleh Xenophon. Tulisan ini berisi tentang dialog Socrates sewaktu dia digugat oleh sekelompok orang dan dihakimi di Athena, yang pada akhirnya berujung dengan hukuman mati buat Socrates dengan cara meminum racun hemlock. Di pengadilan ini, Socrates dituduh sebagai orang yang "pembuka pintu menuju kejahatan, meracuni kaum muda, dan tidak percaya kepada dewa-dewa.", diantaranya orang-orang yang menuduh Socrates adalah Meletus, Anytus dan Lycon.

Sebenarnya tuduhan itu datang dari kebiasaan Socrates yang mungkin bisa dibilang unik buat waktu itu, mungkin juga buat sekarang. Kalau mengutip ke buku lucunya Osborne, Socrates itu suka berpakaian lusuh, kaki telanjang, dan senang menghabiskan dirinya berdebat di pasar. Ia sangat menaruh perhatian terhadap moralitas, terhadap upaya menemukan yang adil, benar, dan baik. Bisa dibilang, dia salah satu filsuf pertama yang bicara tentang etika. Dan upaya untuk menemukan yang adil, benar, dan baik itu dia lakukan dengan metode dialektik, yang sering juga disebut metode bidan kebenaran, sebuah metode tanya-jawab dalam pembicaraan untuk menemukan jawaban yang paling benar atau mendasar. Jadi Socrates yang satu ini masuk dalam kategori manusia kepo, senangnya ngobrol dan nanya-nanya, bahkan menganggap dirinya sebagai "lalat pengganggu" bagi manusia-manusia yang malas.

Kegiatan kepo ini sebenarnya ada sebab-musababnya. Kita kayanya udah ga jarang denger ungkapan Socrates kalau yang dirinya tahu adalah bahwa dirinya tidak tahu apapun, dan itulah bentuk dari kebijaksanaan. Socrates memiliki sebuah pandangan kalau kebijaksanaan adalah sikap rendah hati yang selalu berproses untuk terus mencari suatu yang baik dan benar. Pandangan ini gak begitu aja dateng ke Socrates, ada ceritanya.

Jadi ceritanya Socrates punya teman, namanya Chaerephon, yang pergi bertanya ke Oracle Delphi:
"...You must have known Chaerephon; he was early a friend of mine, and also a friend of yours...Well, Chaerephon, as you know, was very impetuous in all his doings, and he went to Delphi and boldly asked the oracle to tell him whether he asked the oracle to tell him whether there was anyone wiser than I was, and the Pythian prophetess answered that there was no man wiser..." ―Socrates, dalam Plato, The Apology.
Jadi Socrates mendengar kalau dialah manusia yang paling bijak, dia juga sebenarnya bingung denger berita dari Delphi tersebut:
"I know that I have no wisdom, small or great. What can he mean when he says that I am the wisest of men?"―ibid.
Nah, dari kebingungannya itu dia jadi kepo, dia datangi orang-orang yang dia anggap lebih bijaksana dari dirinya dan menggunakan metode pembidanan tadi untuk mengetahui apakah sebenarnya yang diketahui dari orang-orang yang terlihat bijaksana tersebut. Hasilnya adalah, dia hanya menemukan kalau orang-orang tersebut hanya sok bijak dan sok tahu, karena ketika Socrates memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menguji pengetahuan orang-orang bijak tersebut, mereka tidak bisa menjawabnya. Dan akhirnya kegiatan Socrates tersebut jadi buah simalakama tersendiri, orang-orang yang menganggap dirinya bijak itu sakit hati dan membenci Socrates.
"When I began to talk with him, I could not help thinking that he was not really wise, although he was thought wise by many, and wiser still by himself; and I went and tried to explain to him that he thought himself wise, but was not really wise; and the consequence was that he hated me...So I left him, saying to myself, as I went away: Well, although I do not suppose that either of us knows anything really beautiful and good, I am better off than he is - for he knows nothing, and thinks that he knows. I neither know nor think that I know."―ibid.
Begitulah Socrates menyimpulkan kebijaksanaannya yang berarti merendah hati kalau ia tidak mengetahui apapun, dan tidak sok tahu tentang suatu pun. Sehingga muncul keinginan untuk selalu mencari pengetahuan lewat dialog-dialog bersama orang-orang yang ditemui. Ia berusaha mencari jawaban terbaik dari dialog-dialog dengan cara menanggapi suatu pernyataan dengan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap pernyataan tersebut. Yang akhirnya jawaban terbaik itu dapat ditarik secara logis.

Dari dialog-dialog yang dilakukan Socrates muncul pengetahuan-pengetahuan baru di masyarakat Athena, yang tak jarang bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah lama ada di Kota tersebut. Selain itu sikap kritis Socrates seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya banyak menimbulkan rasa sakit hati terhadap orang-orang yang awalnya dipandang bijak namun dijungkirbalikkan oleh sikap Socrates. Karena itulah pada suatu hari gugatan dilayangkan kepada Socrates, dan Socrates pun di hakimi di pengadilan Athena.

Di pengadilan itu Socrates tidak merasa ada kesalahan akan apa yang ia laluinya. Ia bilang, ia hanya melakukan tugas yang diberikan oleh para Dewa, lewat pesan yang ia terima dari Oracle Delphi, bahwa ia adalah manusia yang paling bijaksana dan berusaha membawa warga Athena kepada kebijaksanaan tersebut lewat metode pembidanannya. Dimana lawan dialog mendapatkan kebenaran dari jawaban yang diformulasikannya sendiri dari pertanyaan Socrates, bukan lewat pengajaran dalam artian pengetahuan itu diberikan secara langsung dari Socrates. Dan sebenarnya warga Athena pun toh senang terhadap dialog-dialog yang dilakukan Socrates, dan ada juga orang-orang yang pernah berdialog dengannya tapi tidak merasa dirugikan karena dialog tersebut, ya si Plato contohnya.
"But I shall be asked, "Why do people delight in continually conversing with you?" I have told you already, Athenians, the whole truth about this: they like to hear the cross-examination of the pretenders to wisdom; there is amusement in this. And this is a duty which the God has imposed upon me, as I am assured by oracles, visions, and in every sort of way in which the will of divine power was ever signified to anyone."―ibid.
Namun, akhirnya Socrates tetap dinyatakan bersalah lewat voting yang diadakan dalam pengadilan tersebut. Tidak jelas berapa lawan berapa, namun dicatat dalam The Apology kalau Socrates kalah 30 suara, yang bisa dihitung kalah sedikit dari pemenang voting. Dan muncullah usulan kalau Socrates harus dihukum mati,

"And so he proposes death as the penalty. And what shall I propose on my part, O men of Athens?...I believe that I should have convinced you; but now the time is too short. I cannot in a moment refute great slanders; and, as I am convinced that I never wronged another, I will assuredly not wrong myself. I will not say of myself that I deserve any evil, or propose any penalty."―ibid.
Socrates merasa bahwa dia bisa saja meyakinkan kembali para juri disana, tapi waktu yang tak tersedia tidak cukup untuk menghilangkan fitnah besar terhadap dirinya. Tapi ia masih tetap pada pendiriannya kalau dirinya tak bersalah, maka ia tidak mau mengajukan usulan banding terhadap hukuman matinya tersebut. Memang dia membicarakan juga tentang hukuman seperti penjara plus dendanya, atau hukuman pengasingan. Tapi ia berpendapat bahwa dipenjara sama saja menjadi budak hakim, dan jika ia diasingkan tetap saja ia akan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan di Athena ketika ia sampai di tempat pengasingannya. Seain itu ia juga berpendapat bahwa mengajukan banding sama saja dengan mengakui bahwa dirinya bersalah dan ia lebih takut terhadap kematian daripada berpaling dari kebenaran. Sehingga dengan tegas ia menerima hukuman mati..

"The difficulty, my friends, is not in avoiding death, but in avoiding unrighteousness.."―ibid.
Dan palu pun diketuk, Socrates dihukum mati dengan meminum racun hemlock. Menurut Wikipedia, Kematian Socrates dalam ketidakadilan peradilan menjadi salah satu peristiwa peradilan paling bersejarah dalam masyarakat Barat di samping peradilan Yesus Kristus. Kematian Socrates memang dramatis, mati demi sesuatu yang ia yakini benar, seolah kebenaran lebih berharga daripada hidup sendiri. Selain itu, saya juga bisa melihat kalau kematian Socrates pun menjadi tamparan tersendiri dalam sistem voting pada peradilan Athena yang menganut demokrasi tersebut. Seolah tidak ada kebijaksanaan disana, dan Socrates memilih untuk mati demi menunjukkan adanya ketidakbijaksanaan tersebut. Mungkin ia memang sengaja bertindak sebagai martir untuk memancing kita untuk lebih dalam bertanya.. Seberapa besar nilai suatu kebenaran?