Jumat, 12 Juni 2015

Kabar Buat Si Nduk : Tentang Gunung




Nduk,

Siang ini aku melihat sekumpulan mahasiswa membawa tas carrier ke kampus. Paling kecil dari tas mereka mungkin volumenya 50 Liter. Tasnya berwarna-warni, macam-macam nduk; ada yang merah, ungu, hitam, abu-abu, biru juga ada. Semuanya diisi penuh. Ketika dikenakan dibahu, bahkan ada yang tinggi tasnya melebihi tinggi kepala orang berdiri. Sepertinya mereka mau bepergian jauh nduk.

Ternyata memang benar: mereka mau naik Gunung. Mau mendaki Merbabu katanya. Iya nduk, tak asing kiranya buatmu nama itu. Merbabu memang terletak tidak jauh dari tempatmu tinggal, berdiri bersampingan dengan Merapi yang kerap aktif. menghias batas cakrawala di kotamu.

Suka kamu nduk, memandangi panorama Merbabu dan Merapi dari jendela rumah? atau bagaimana dengan dari atas genting? Aku sendiri suka memandangi panorama Burangrang dan Tangkubanperahu di kota kesayanganku Bandung. Bahkan, aku suka menjadikan mereka sebagai semacam pertanda cuaca. 

Jikalau suatu pagi Burangrang dan Tangkubanperahu terlihat jelas di ufuk bagian utara, maka aku anggap hari itu Bandung akan cerah. Sedangkan, kalau yang terjadi sebaliknya, maka siap-siaplah terkurung mendung dan hujan di Bandung. Ya, mungkin itu semacam caraku bermain dengan mereka; memberikan mereka peran sebagai “alat ramal”. Tapi dari kesenanganku bermain  dan menikmati panorama kedua gunung itu, entah kenapa terasa semacam ikatan. Aku kerap rindu pada pemandangan itu.

Aneh ya nduk, kangen kok sama gunung tho? Mending juga sama kamu. Mungkin itu disebabkan juga oleh kesenanganku beraktifitas di gunung. Apalagi ketika SMA dulu, ketika aku sedang senang-senangnya naik gunung. Tempat dengan derajat meter diatas permukaan laut yang tinggi memang dulu jadi pilihan favorit untukku berlibur dan juga bolos sekolah, hehe.

Ya, mungkin secara bodo-bodoan ―dan tidak orisinil juga sebenarnya― aku mau bilang: semakin sering kita berinteraksi dengan satu hal, maka dapat terjalin suatu ikatan yang erat antara kita dengan hal itu. Kamu kemarin baru ikut tes tulis masuk perguruan tinggi negeri bukan nduk, coba lihat buku geografimu pada bagian klasifikasi iklim. Disana ada yang namanya klasifikasi iklim menurut Junghuhn kan ya? Setahuku, si Junghuhn ini salah satu orang yang punya ikatan erat dengan gunung.

Franz Wilhellm Junghuhn itu wong Jerman nduk, sekarang sudah meninggal dan dimakamkan di sekitar Jayagiri, kaki gunung Tangkubanperahu. Dia itu seorang botanis, yang datang ke Indonesia (Hindia-Belanda waktu itu) pada musim panas 1835 karena direkomendasikan untuk mengambil pekerjaan dokter medis. 

Namun entah bagaimana, pada akhirnya si Junghuhn ini malah mempelajari tanah Jawa dan berpetualang mendaki dari gunung ke gunung.  Bahkan katanya dialah orang pertama yang berani masuk begitu dalam ke hutan Gunung Patuha lalu menemukan tempat yang kini disebut Kawah Putih. Kita bisa mengetahui beberapa gunung yang pernah disambanginya lewat peninggalan lukisan yang ia buat, seperti Gunung Gede, Merapi, Sumbing, dan Guntur.

Dari perjalanan-perjalanan itu, timbul suatu kecintaan dari Junghuhn terhadap tanah jawa dan gunungnya. Kecintaannya pada gunung diabadikan kedalam puisi yang berjudul “Salamku Untuk Gunung-Gunung”. Dan tahukah kamu nduk, apa permintaan terakhir Junghuhn sebelum ia meninggal? Sederhana saja nduk, ia meminta untuk dibukakan jendela dan kemudian berkata: “Aku ingin berpamitan dengan gunung-gunung dan hutan-hutanku tercinta” setidaknya itu yang diingat dr. Groneman, sahabat Junghuhn yang menemani saat terakhirnya.

Jika ditanya, sebenarnya apa sih yang gunung berikan kepada mereka yang mencintainya? Aku sendiri mungkin tidak bisa memberikan penjelasan yang memuaskan nduk. Mungkin aku hanya akan berpendapat sebatas bahwa ia memberikan suasana yang tepat bagi para pencari kesunyian sepertiku. Tapi bagi yang lain mungkin ada alasan-alasan lain.

Seperti Soe Hok Gie, yang menganggap bahwa gunung adalah tempat yang baik untuk membentuk karakter seseorang. Dalam buku hariannya yang diterbitkan itu ia pernah mengutip larik dari sajak “Song Of The Open Road” karya penyair Amerika, Walt Whitman, yang berbunyi: 

“Now I see the secret of the making of the best persons, It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth.”

Ya, menarik bukan nduk, katanya orang-orang hebat dapat diciptakan di alam terbuka. Gunung adalah salah satu bentuknya. Selain itu, Gie juga pernah menuliskan pendapatnya sendiri mengenai “alasan” kenapa ia naik gunung:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami … Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

Menurut Gie, gunung juga merupakan tempat bersemainya rasa nasionalisme dalam diri seseorang. Mengenali gunung, adalah mengenali bumi Indonesia. Dengan mengenal bumi tersebut lebih dalam melalui kegiatan naik gunung, diharapkan cinta terhadap bumi yang dipijaknya itu tumbuh. Begitulah singkatnya nduk.

Tapi nduk, apakah kamu percaya bahwa kegiatan naik gunung memang dapat melahirkan pribadi-pribadi unggul dan memiliki jiwa kebangsaan yang kuat? Aku sih, percaya ―sedikit. 

Kamu lihat tidak nduk, di media-media sosial sekarang makin banyak orang update tentang perjalanan mereka berpetualang dari gunung ke gunung? Iya, keren ya mereka. Mungkin itu pertanda bahwa di negeri kita akan semakin banyak muncul pribadi-pribadi unggul dan cinta terhadap negara nduk; sebuah harapan cerah di negeri yang kian hari makin banyak masalahnya.

Eh tapi ngomong-ngomong nduk, katanya di Ranu Kumbolo sampahnya menggunung sampai 1,5 ton ya?

Rabu, 10 Juni 2015

Kabar Buat Si Nduk : Dari Bawah Pohon


Nduk,

Seperti biasanya, selepas ngampus aku memilih untuk menghabiskan waktuku di taman lingkar depan perpustakaan, dibawah tiga batang pohon yang rindang. Ya, di kota yang untukku tidak nyaman ini ―karena panas, debu, dan orang-orangnya yang kurasai asing― bernaung dibawah teduhnya pohon kiranya bisa menjadi pilihan untuk merasa tenang. Setidaknya sampai waktu senja datang.

Menunggu senja dibawah rimbunan pohon sebenarnya sudah jadi kebiasaanku sedari dulu nduk. Tepatnya itu dimulai ketika waktu aku masih jadi siswa sekolah menengah atas, di taman yang terletak tepat disebelah sekolah. Bedanya, dulu ku tunggu senja itu sambil bercengkrama, bercanda, dan tertawa dengan kawan-kawanku sepulang sekolah. Namun kini, aku tinggal sendirian; bersama pikiranku dan bersamamu nduk, yang ada di dalam pikiranku.

Oh iya, nduk, ada satu pengalaman yang bisa kita saksikan ketika kita sengaja mencari teduh pada pepohonan. Pengalaman yang biasa saja sebenarnya, tapi entah kenapa, itu selalu jadi bahan perhatianku. Coba perhatikan olehmu nduk, alihkan pandangmu sedikit keatas. Selembar demi selembar dedaunan itu berjatuhan lepas dari tangkainya, sejenak melayang-layang, lalu kemudian jatuh; diterpa sepoinya angin. 

Kurasa seperti itulah memang kebiasaan sebuah pohon, nduk: menciptakan kuncup, membiarkannya tumbuh menjadi daun, lalu membiarkannya lepas diterpa angin ketika sudah pada waktunya. Seperti kita juga bukan, yang sering menumbuhkan harapan, namun pada akhirnya pada suatu ketika kenyataan berbicara, memaksa kita rela untuk melepasnya.

Ya, memang, pengalaman yang biasa saja dan jarang diperhatikan kadang dapat dimaknai lebih oleh orang kurang kerjaan seperti kita. Orang-orang yang menyempatkan waktu untuk memperhatikan hal remeh-temeh. Memang, katanya kegiatan kurang kerjaan itu banyak dilakukan oleh para filsuf dan seniman. Tak jarang darisana lahir karya-karya besar. Tapi apalah kita kan nduk? Bukan seniman hebat juga kan kita. Seniman juga malah bukan. 

Tapi kamu pernah tau tentang lagu berjudul “Les Feuilles Mortes” nduk? Katanya karangan penyair perancis. Lagu itu menjadi populer ketika digubah oleh penulis lagu amerika, Johnny Mercer, yang menjadikannya sebuah lagu yang mungkin bapak dan ibu kita kenal dengan baik, dinyanyikan oleh penyanyi kulit hitam bernama Nat King Cole. Iya, judulnya yang itu: Autumn Leaves.

Iya, nduk, lagu itu mengambil metafora dari dedaunan dan dari angin sepoi itu. Berkisah tentang seorang yang memandangi musim gugur dari balik jendela, sambil merindukan pasangannya yang tidak dijelaskan kemana perginya.

Momen kerinduan disana disandingkan dengan pengalaman menyaksikan gugurnya daun-daun menjelang musim dingin. Lebih tragis lagi jika dilihat dari judul bahasa perancisnya: ketika daun-daun itu mati. Terkesan darinya ada suatu keharuan akan hilangnya sesuatu yang pernah menyatu dengan diri, yang digambarkan dengan hubungan antara keseluruhan pohon dan dedaunan yang sebelumnya merupakan kesatuan. 

Oleh karena itu, dengan lepasnya hubungan tersebut, ada semacam rasa keterpisahan, yang ada ―atau mestinya ada― kini telah tiada. Kemudian, dari dalam diri yang menyaksikan, memaknai momen tersebut, dan mengaitkannya kepada pengalaman pribadinya, terdapat semacam tuntutan agar yang hilang itu untuk kembali pulang. Tapi memang terkadang kita tak bisa berbuat banyak, seperti tokoh pada lagu itu; hanya bisa meratap dari balik jendela.

Seperti itukah memang rasa rindu itu, nduk? Mungkin. Aku sendiri tidak mau membuang waktu untuk mencari pengertian atau definisi yang jelas  dari rasa rindu itu. Aku lebih senang bersikap seperti filsuf ganteng kesukaanmu nduk, Si Albert Camus, yang berpendapat bahwa sejauh manapun ilmu pengetahuan menjelaskan, kita tak akan pernah dapat memahami dunia secara keseluruhan. 

Ya, seperti Camus yang lebih memilih menikmati menikmati garis-garis bukit dan mentari senja yang menyentuh hati yang gelisah daripada memahaminya, aku pun lebih memilih untuk menikmati dedaunan yang berjatuhan itu. Sambil sesekali mengulang bagian lirik dari lagu Autumn Leaves yang paling ku suka:

“But I miss you most of all, my darling, when autumn leaves.. start to fall..”