Jumat, 21 Februari 2014

Wots... Uh The Deal

Ini post sambil lagu-laguan, kalo mau denger lagunya, Pink Floyd - Wot's... Uh The Deal, bisa kesini atau download sendiri.

--------------------------------------------

*Intro Guitar

Masa SMA memang masa yang paling indah. Apalagi buat saya, yang jarang belajar di kelas selepas dari kelas X. Bagi saya yang benar-benar mendidik saya sama sekali bukan sekolah, tapi perpustakaan. Ruang kelas itu penjara dan guru itu sipirnya, kalo kata John Nash di film "A Beautiful Mind" sih, kelas menghambat kreatifitas, dan ini benar- benar terasa buat saya, apalagi waktu kelas XI.

Saya memang ga cocok di kelas. Di kelas saya bertemu guru matematika, fisika, kimia, bahasa dll. yang ngatur ba-bi-bu dan juga ngasih tugas-tugas. Yah, saya tau itu menurut pada silabus yang dirancang buat membentuk siswa. Tapi saya lebih setuju sama gagasannya Roger Waters : "We don't need no thoughts control." tapi bukan berarti kita biarkan diri kita kosong dari pemikiran apa pun, kita punya kebebasan untuk memilih apa yang ingin kita pelajari. Dan kebebasan itu saya temukan di perpustakaan. Disana ilmu tidak menuntut, tapi mengajak kita untuk senantiasa berpikir. Saya kira malah itulah arti penting pembelajaran; sebuah ajakan tulus ke pintu-pintu yang memang kita belum pernah masuki dalam relung pengetahuan.

"Heaven sent the promised land
Looks alright from where I stand
'Cause I'm the man on the outside looking in"

Saya paling sering ke perpustakaan pagi-pagi, karena.saya sering terlambat, dan yang terlambat disuruh diam di perpustakaan. Ya alhamdulillah, saya malah jadi nyaman buat terlambat kalo aturannya seperti itu. Dari perpustakaan dan minat membaca tumbuh banyak guru-guru baru yang saya temui, seperti Niccolo Machiavelli, Umar Kayam, Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, dan banyak lagi. Diantara mereka-mereka, yang paling berpengaruh buat saya di masa SMA ada dua, yang pertama Pram, dan yang kedua adalah Soe Hok Gie.

Seberapa pengaruh? besar. Mereka memberikan pandangan bahwa kebenaran, ilmu, dan pengetahuan adalah hal-hal yang indah. Perjuangan Minke di Tetralogi Buru dan Catatan harian Gie sebagai mahasiswa memberi pengaruh yang besar bagi saya. Bisa dibilang, saya mencoba mengikuti jejak langkah mereka. Ada memang yang terkorbankan dalam hal ini, mimpi saya untuk menjadi seniman terasa hambar. Saya lebih tertarik untuk memandang kedua orang itu, Minke dan Gie, dua duanya penulis. Minke adalah alter ego dari Tirto Adhisoerjo, pahlawan nasional di bidang pers. Gie, tulisannya yang tajam banyak dimuat di koran nasional masa itu. Dari mereka tumbuh mimpi baru, menjadi seorang Jurnalis. Tapi di mana? Minke pernah belajar di STOVIA sebentar, Gie di Universitas Indonesia. STOVIA dalam sejarahnya berubah jadi FKUI. Ya, saya harus kesana. Jurnalisme, di Universitas Indonesia.

"Waiting on the first step
Show where the key is kept
Point me down the right line because it's time"

Untuk itu pertama-tama saya harus lulus dari SMA. Dan saya lulus, dengan nilai UN MAFIKIBI yang buruk. Saya ga begitu peduli sebenarnya, yang penting langkah awal saya tempuh buat "the promised land."

Saya ga ikut undangan. Nilai senirupa di raport 69. Gara-gara saya ga ngumpulin tugas awal semester. Bisa memang buat dibenerin, ke gurunya waktu sebelum undangan. Tapi saya ga lakukan itu sebelum undangan, karena saya ga anggap tugas itu penting. Tapi pada akhirnya waktu hampir lulus dipaksa juga sama walikelas, daripada ribet lagi ya sudah lah.

Dari ga ikut undangan itu seengganya saya ga ada beban menunggu hasil. Saya fokus buat ngejar di ujian tulis. Setelah UN, saya naik Gunung Gede buat refreshing, sama Rijal, Farid, Cacun, Ading, dan Jadul. Nah, setelah refreshing itu saya punya waktu 2 bulan buat belajar IPS. Maka langkah selanjutnya saya ikut intensif di Inten. 2 bulan itu saya pakai buat nutup 3 taun yang dulu kering dan sia-sia.

"To let me in from the cold
Turn my lead into gold
'Cause there's chill wind blowing in my soul
And I think I'm growing old"

Les intensif juga kelas, dan kadang membosankan. Tapi apalah dua bulan buat empat tahun ke depan sederhananya. Pada pokoknya saya harus masuk Jurnalisme, dan itu di Universitas yang terbaik.Di baliknya memang ada ambisi tersendiri berdasar kejemuan dan harapan-harapan khusus. Jadi saya ikuti juga aturan mainnya, dan mencoba menjalaninya dengan kesenangan.

Waktu itu saya ke tempat les hampir selalu naik sepeda, kecuali kalau telat baru naik motor. Kesenangannya itulah, sambil main sepeda, kadang juga ga langsung pulang. Ambil jalan memutar ke Pengky atau tempat-tempat yang bisa membangunkan memori romantis. Bagi saya sendiri memang romantisme merupakan aspek penting perjuangan. Dia bisa memacu hasrat. Selain itu naik sepeda sekalian juga untun ngikutin perjuangan di film "Le Grand Voyage"; makin sulit jalan ditempuh, maknanya makin kerasa.

"Flash the readies
Wot's...uh the deal?
Got to make to the next meal
Try to keep up with the turning of the wheel.

Mile after mile
Stone after stone
Turn to speak but you're alone
Million mile from home you're on your own"

Kalau belajar itu mudah, maka apa artinya belajar? Gitu mungkin rasanya di dua bulan itu. Belajar itu tak mudah, banyak gangguannya. Belum lagi nilai-nilai Try Out yang masih jauh dari target. Kalau kata anak gaul Bandung sih, bikin merod.

Rasa bosan jangan ditanya. Selalu ada. Dan ia suka mengalihkan fokus kepada hal-hal lain. Saya bisa rasakan ketika dirumah harusnya waktu diisi dengan belajar materi yang belum dipahami, eh itu pemain saya di Football Manager manggil-manggil. Belum lagi Marlon Brando, Al Pacino, Robert De Niro, minta ditonton di tiga seri film The Godfather. Akhirnya apa boleh buat. Kalau dipaksa ga dipenuhi, ngebatin juga buat belajar.

"So let me in from the cold
Turn my lead into gold
'Cause there's chill wind blowing in my soul
And I think I'm growing old'"

Tapi pada akhirnya, setelah match-match menegangkan di FM, setelah drama drama ironis di The Godfather, saya ketemu juga dengan kesunyian di malam yang kosong. Dan kesunyian itu sebenarnya punya maksud baik. Ia mengajak diri kita untuk lebih reflektif. Ditengah kesunyian itu saya ngobrol sama diri sendiri, bahasa gaul anak komunikasinya "Komunikasi Intrapersonal", dan pada akhirnya saya kembali diingatkan pada tujuan saya untuk belajar.

"Fire bright by candlelight
And her by my side
And if she prefers we will never stir again"

Di lain pihak, saya juga selalu teringat. Di lain tempat ada juga yang sedang dalam perjuangan semacam. Ya, banyaklah memang anak baru lulus SMA ngejar ujian tulis. Tapi bukan beribu-ribu orang itu juga yang jadi bahan pikiran. Malah sebenarnya ini bukan soal pikiran, tapi perasaan, yang spesifik dan merujuk pada pribadi. Yang biasa jadi bahan semangat dan harapan, untuk menghibur diri dari kelelahan. Walaupun sebenarnya antara kita dan subjek perasaan itu terhampar jarak, pada lorong-lorong sunyi yang kala itu belum pernah saya masuki. Dan jarak itu seakan makin menjauh. Tapi saya tetap buat itu jadi bahan untuk kembali pada tujuan.

"Someone said the promised land
And I grabbed it with both hands
Now I'm the man on the inside looking out"

Pada akhirnya hari tes, ujian tulis SBMPTN dan Mandiri. Selain Universitas Indonesia, tak ada yang saya pilih. Dan Komunikasi jadi jurusan pilihan pertama di tiap tesnya, karena studi Jurnalisme ada di dalamnya. Jujur saya sangat ceroboh waktu ujian, pada soal-soal sejarah saya tak cermat, dan itu kembali membuat saya "merod".

Tapi akhirnya nasib berkata lain, di hari pengumuman saya diterima di pilihan pertama itu. Senang, ada, tapi ada juga hal lain yang membuat saya khawatir. Lalu setelah penerimaan itu proses administrasi di tuntaskan. Saya pindah ke Depok, dan bertemu juga dengan Universitas Indonesia yang kemarin-kemarin saya inginkan itu. Buku, Pesta, dan Cinta, jadi bayangan awalnya. Saya benar benar mengagumi slogan itu. Lebih dari Veritas, Probitas, Iustisia. Karena saya bisa melihat pada slogan itu mahasiswa sebagai intekektual dan kaum muda.

"Hear me shout "Come on in,
What's the news and where you been?"
'Cause there's no wind left in my soul
And I've grown old"

Dan kini, satu semester kemarin sudah saya lalui. Saya menemukan sedikit kesenangan untuk belajar di kelas bersama dosen. Tapi ada juga perasaan aneh hidup di tengah-tengah miniatur indonesia ini.

Sering saya buka kembali tulisan Gie di tahun pertamanya. Dan saya belum menemukan yang Gie temukan. Saya lebih sering melihat wujud-wujud yang menyerupai siswa baru di SMA saya. Ada memang diantaranya yang bisa saya terima, dan saya akui dia bisa jadi teman yang membangun, namun saya lebih sering merasa aneh disini.

Saya jadi teringat kata teman saya ketika berkomentar rencana saya pindah haluan ke Depok, "Yakin? Aku ga yakin lingkungan itu cocok buat kamu. Apalagi SosPol." dan dengan polosnya saya cuma menjawab "Aku kagum sama angkatan 66."

Istilah "The time's they are changin'" itu mungkin ada benarnya. Kata teman saya itu juga mungkin ada benarnya. Karena kadang, ketika saya sudah sampai disini setelah berjuang sebelumnya, malah saya dipertemukan kembali dengan kejemuan. Dan malah saya lebih sering kembali merindukan masa masa sekolah dulu, yang sebenarnya bukan diisi dengan sekolah. Juga pada teman-teman yang memang tumbuh besar bersama saya, yang juga melewati pergaulan dan proses yang sama. Ya, pada masa masa akhir itu saya memang terlalu melihat ke depan. Tanpa tahu sebenarnya apa yang menunggu disana. Melupakan apa yang akan saya tinggalkan di belakang. Karena itu sering juga saya pulang ke Bandung untuk mengisi kerinduan-kerinduan itu. Ada daripadanya momen pulang yang saya ingat. Salah satunya ucapan Tarso yang saya temui ketika pulang :

"Mungkin kita terlalu cepat tumbuh besar."

Entahlah So, mungkin kita saja yang tambah tua. Tapi tak kunjung dewasa untuk menerima.

Rabu, 19 Februari 2014

Zebra Cross

(Sumber Foto : KasKus)

Sewaktu kecil dulu saya adalah anak yang takut menyebrang jalan. Kendaraan yang lalu lalang itu yang jadi alasan. Mereka sering terlihat tancap gas begitu kencang, seperti yang terburu-buru, sehingga saya pikir saya tidak akan begitu saja dikasih jalan. Saya juga cuma tubuh berlapis daging, sementara mobil, motor, bus, truk di jalanan itu punya rangka besi. Kalah lah saya kalau di adu.

Waktu kelas 2 SD dulu saya biasa naik angkot, kelas 1 SD pakai jemputan, baik itu di Depok (SD Pemuda Bangsa) maupun di Bandung (SD Assalaam I). Jarak relatif dari rumah ke sekolah kira-kira bisa ditempuh setengah jam dengan angkot jurusan Kb. Kelapa - Dayeuh Kolot. Dan emang orang kita senangnya praktis, nama jurusan itu di singkat juga, jadi "Kalapa - Kolot" Bahasa Indonesianya, kelapa tua. Karena naik angkot inilah saya makin sering ditantang untuk menyebrang jalan raya. Sebelum benar-benar dilepas "ngangkot", saya diantar ibu saya juga ngangkot. Sebenarnya seterusnya sering juga sekalian juga kami barengan sampai Term. Kb. Kelapa, ibu saya ganti angkot ke arah SMPN 2 Bandung, saya lanjut jalan ke sekolah.

Awal-awal ngangkot itu, menyebrang jalan juga disebrangi ibu. Sekalian ngasih wejangan. Katanya, "Kalau kamu mau nyebrang, nyebrang di zebra cross. Biar mereka ga berani nabrak kamu." saya pun nanya "emang nape mak dengan zebra cross?" kira kira gitu lah. Jawaban ibu saya aneh juga sih, mungkin biar cepet dan saya nurut, dia bilang "soalnya kalo ada yang nabrak kamu di zebra cross, dia bakal langsung dihukum mati." Buset dah. Sampe sekarang saya gatau juga hukumnya gimana, tapi ya, itu cara ibu saya ngasih tau kalau nyebrang di zebra cross, setidaknya ada kekuatan yang lebih besar yang melindungi kita, ya itulah, hukum. Selain itu juga ibu saya suka ngebekelin sebungkus rokok di tas, bukan buat saya lah, maksudnya buat dikasih jadi imbalan ke tukang parkir kalo memang ragu buat nyebrang sendiri.

Nah akhirnya saya pun terbiasa untuk menyebrang. Tapi ya walaupun sudah terbiasa buat nyebrang, tetap ada rasa ketidaksenangan sendiri sama yang namanya nyebrang. Ya, si mobil, motor, bus, truk, sering juga buat kesal karena sering gak memberi prioritas buat yang nyebrang. Sementara kita memang perlu untuk motong jalan buat nempuh jarak ke tujuan. Hambatan, Jarak, Tujuan, itulah elemen dalam kegiatan nyebrang.

Makin tumbuh besar saya makin mikir. Yah, buat nyampe tujuan sederhana kaya nyampe di sebrang aja ada hal yang bikin kita kesal. Apalagi buat tujuan-tujuan.yang lebih besar lagi. Cita-cita lah.Kalau diibaratkan ke proses penyebrangan, ya, lebih absurd lagi jadinya. Hambatan, Tujuan, Jarak, gak pernah punya tempat yang jelas.

Pada awalnya kita berandai akan suatu hal. Seperti, "Saya harus kuliah di Sorbonne." dan kita coba tempatkan Sorbonne itu jadi tujuan. Sederhana saja awalnya. Setelah tujuan itu kita tatap di depan kita, mulai datanglah si kendaraan-kendaraan sialan yang lalu lalang dalam penyebrangan tadi. Mereka hadir dalam bentuk lain; rasa takut. Sampai sini kita mulai mempertanyakan dan meragukan "Bisa atau tidak?", "Realistis?", "Punya apa saya buat sampai kesana?". Wajar kalau takut, tapi jangan sampai ketakutan kata Norman Edwin. Tinggal bagaimana kita menyikapi ketakutan itu. Mungkin kalau dalam kasus saya waktu kecil, adanya zebra cross dan sebungkus rokok itu yang memberi sedikit rasa aman. Lah, kalau mau ke Sorbonne? Saya kira kepintaran kita untuk mensiasati ketakutan diperlukan disini. Ya, taruhlah misalnya, harapan. Ketakutan biasanya tertipu, dan kemauan mulai terpantik.

Setelah kemauan muncul, kita ambil langkah pertama. Dan bertemulah kita dengan jarak. Antara kita dan tujuan hanyalah ada jarak, kata Pram, dan batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh.. ufuk menjauh. Ya, jarak juga hal yang menjemukan. Untuk menempuh jarak ada juga elemen waktu yang menentukan, juga kecepatan, tapi dalam pengejaran tujuan dalam konteks ini, saya kira kecepatan tak begitu saja menentukan. Kita tak tahu berapa jarak yang harus di tempuh. Ufuk selalu terlihat menjauh.

Kejemuan ini biasanya akan membawa kita pada pada sebuah pertanyaan terhadap elemen terakhir, tujuan, benarkah ia ada di ujung sana? Yang pasti dari hidup ini adalah bahwa hidup itu tidak pasti. Kata-kata itu pertama kali sayab dengar dari Ibo. Waktu masih pinter. Ya, kita tidak pernah tau apakah tujuan yang kita andaikan akan benar-benar kita capai. Kita cuma bisa usaha, melawan jemunya jarak, gangguan dari rasa takut, dan ketidakpastian.

Tapi di sisi lain juga kita perlu berfikir ulang. Apa memang menuju tujuan itu sesederhana menyebrang? dalam artian, ada elemen penting yang saya lupakan, arah. Kemanapun kita menghadap, penyebrangan jalan itu setidaknya jelas. Dari ujung satu, memotong ke ujung yang akan kita tuju. Begitu pun zeba cross dibuat, dan tukang parkir yang saya beri rokok mengantarkan saya. Tapi bagaimana kalau sebenarnya dalam hidup ini kita terdampar di sebuah gurun pasir yang kering. Tanpa marka atau tanda-tanda alam yang kadang tak begitu berguna, kita tak berbekal peta, hanya berbukit-bukit pasir disana. Juga tak ada zebra cross yang melindungi sekaligus mengarahkan, juga tak ada tukang parkir yang bisa saya beri imbalan untuk mengantarkan ke tujuan. Dan kita terus berjalan mengikuti naluri ditengah kejemuan, ketakutan, dan ketidakpastian. Sekaligus tak kenal arah.

Selasa, 18 Februari 2014

Perjudian

Taruhan itu telah dipasang, tak bisa ditarik. Di tepi meja ia harap harap cemas pada hasil perjudian. ia bertaruh besar, semua sisa uangnya. Sebenarnya ia bukan orang yang pendek pikir dengan mempertaruhkan semua uang yang tersisa, namun dalam hal bertaruh, ia percaya bahwa walaupun pada akhirnya ia harus kalah, ia tak pulang sebagai penjudi picisan yang menolak tantangan.

Perjudian dimainkan, kartu-kartu yang telungkup itu dibukakan, dan ia menelan kekalahan. Lawannya tersenyum mencibir menghinakan, dengan pandangan mata yang berkata "Kalah sudah, pulang sajalah". Ia membalas, senyum sungging meremehkan, yang berkata "Yang penting aku tak takut kalah, makan saja semua yang tadi kupasang". Tapi sayang, mata bukanlah pembual yang hebat. di sudut matanya tergaris juga tanda penyesalan. Dalam hati ia tetap menghibur diri "Bukan soal menang kalah, atau uang yang lenyap. Pun aku kalah sebagai penjudi besar."

Ia berdiri, memakai mantel, lalu pamit, rumahnya cukup jauh dari tempat perjudian itu untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Ditambah malam yang terlalu dingin dan ngeri untuk dilewati sendiri. Tapi apa mau dikata, ia tetap melangkah berjalan.

Baru berjalan sekitar tiga blok, ia mulai lelah. Mungkin raut kesal di sudut mata itu juga yang membebankannya. Jalan kerumah masih sekitar enam blok lagi. Di sebrang jalan taksi kumal menganggur, supirnya masih terjaga. namun pada saat itu juga ia sadar, yang supir taksi butuhkan adalah uang, dan ia tidak memilikinya. Supir taksi juga takan peduli pada status si penjudi besar. Mungkin malah meremehkan. Karena supir taksi itu kini lebih kaya darinya. Walaupun si supir hanya tinggal punya satu sen dari kembalian rokok. Karena si penjudi itu tak punya lagi suatu hal yang bisa dinilai. Diluar rumah judi, penjudi besar itu bukan apa-apa. Dunia yang lebih besar mengalahkannya. Tapi ia tetap saja melangkah ke seberang jalan. Menghampiri taksi yang mangkal sendirian itu.

Tak lama terdengar suara letusan. Sebagian penghuni blok yang masih terjaga, dan dibuat kembali berjaga, berlarian keluar. Mereka mengerubungi taksi yang tadi mangkal sendirian diseberang jalan itu. Kacanya memerah, bercak darah, dan supirnya kini berlubang dahinya. Dari lubang itu mengalir darah juga, menetes jatuh kedua sisi pipi, lalu terus turun ke lantai lantai taksi yang berdebu.

Penduduk yang berkerumun itu mencoba mencari sebab. Tapi lebih banyak yang melakukan hal yang tak perlu. Turun prihatin namun hanya bisa memandangi. Malam yang dingin membuat mereka enggan lari mencari ke arah yang lebih jauh. Disekitar blok itu, nyatanya sudah sepi. Ada juga diantaranya yang menelfon pihak berwenang, namun agak terlambat memang.

Dan si penjudi besar kini sudah berpindah jauh, dari tempat taksi tadi ia berlari ke belokan di ujung jalan, dan terus berlari hingga dua blok jauhnya, selanjutnya ia berjalan. Ternyata ia berbalik kembali ke arah rumah perjudian.

14 - Desember - 2013

Sabtu, 15 Februari 2014

Inovasi : Part #1

Inovasi adalah kata yang memuakkan bagi saya pribadi. Bukan saya tidak suka pada pengaruh teknologi baru kepada kehidupan, tidak sejauh itu kata inovasi mengganggu saya, inovasi disini yang ruang lingkupnya kecil saja, ialah ketika kata inovasi dibahas pada rapat-rapat organisasi, kepanitiaan, dan rapat sejenis yang bermaksud untuk membahas pembuatan suatu karya yang biasa menghadirkan rasa tak nyaman kepada saya. Pengalaman itu banyak saya alami ketika saya masih SMA.

Saya sering menghadiri rapat. Diantaranya rapat organisasi internal dimana saya menjadi anggotanya, dan rapat dalam skala yang lebih besar berupa kepanitiaan sekolah. Keduanya punya persamaan, membahas konsep dari suatu karya, dan sering pula menyinggung kata inovasi. Tapi bisa dilihat perbedaannya dari bagaimana cara konsep itu didapat. Dan bisa saya bilang, biasanya benar benar berbeda. Sehingga ketika anggota dari organisasi kami hadir ke lingkungan sekolah yang lebih luas sering terjadi perbedaan pendapat. Bahkan kadang bisa begitu emosional. Saya ingat betul ketua saya waktu itu, Alvin Noviansyah, membuat berang jajaran kepanitiaan di rapat besar. Memang anggota Alvin yang lain pun dinilai "bebal". Tapi sialnya,Alvin adalah ketuanya.

Seperti yang dibilang diatas, antara kami dan panitia memang punya cara yang beda dalam merancang konsep bagi sebuah karya. Dari sanalah dasar dari perselisihan tersebut, konsep yang diberikan oleh satu pihak tidak dapat dimengerti oleh yang lain. Sehingga sulit terjadi kesepakatan tentang bentukan karya seperti apa sebenarnya yang akan kita buat. Kalau berbicara inovasi, tentu akan lebih pelik lagi. Pada dasarnya inovasi adalah karya juga, namun memiliki sifat kebaruan, spesifiknya ia punya manfaat baru untuk mencapai tujuan. Baik itu yang sifatnya alternatif, atau yang memiliki nilai efektifitas dan efisiensi yang lebih mampu membawa kita pada tujuan. Namun apa yang disebut dengan inovasi yang lahir dari konsep yang di bahas pada rapat-rapat tersebut, baik tingkat organisasi maupun tingkat sekolah, biasanya tidaklah memenuhi syarat untuk disebut inovasi. Mengapa? karena ia biasa lahir dengan cara dan alasan yang salah. Ia lahir karena tuntutan pembaruan.

Pertama kita akan berbicara "Inovasi" yang lahir dari konsep yang dibuat di kepanitiaan sekolah dan rapat rapatnya. Karena bagi dengan membahas tingkat ini lebih dahulu, kita bisa melihat hal yang mendasar, bagaimana konsep itu sendiri lahir juga inti permasalahan pada rapat ini sebenarnya tak cukup pelik.
Gejala yang bisa kita lihat adalah tidak adanya korelasi antara bentukan acara (yang didalamnya termasuk inovasi) dengan tujuan hadirnya acara itu sendiri. Sebagai contoh, pada acara besar FL Battlefield ada satu hal yang membedakannya dari acara bazar sebelumnya. Hal itu adalah Flashmob, lengkap dengan musik musik barat yang meriah. Flashmob ini saya akui, yang saya lihat dari rekamannya di youtube, mengundang ketertarikan pengunjung dan menambah kemeriahan acara. Namun ketika mengingat pada tujuan dasar acara, yang bertujuan "membangkitkan moral dan mental kebangsaan", yang walaupun moral mental bangsa itu sendiri belum jelas maksudnya, tidak bisa dilihat hubungan antara "inovasi" tersebut dengan konsep dasarnya. Flashmob itu tak membantu untuk mencapai tujuan konsep. Saya mengakui betul, dengan adanya "inovasi" tersebut acara jadi lebih meriah. Namun saya kira kita juga perlu jujur pada diri sendiri bahwa ketika merencanakan acara tersebut, kita punya tujuan, acara bukan semata untuk hiburan tapi membawa pesan. Kalau memang pada awalnya acara murni menghibur, maka silahkan. Karena tak akan ada sesuatu yang sia-sia kalau memang begitu.

Lalu bagaimana bisa "Inovasi" itu hadir dan dipertunjukkan jika memang tidak ada hubungannya dengan tujuan acara sendiri? sederhana saja jawabnya, "Inovasi" tersebut tidak lahir dari proses berfikir yang mendasar pada konsep. Ia sekedar hadir dari sebuah hasrat akan kebaruan, namun melupakan konsep dasar yang didalamnya terdapat alasan kenapa acara tersebut dibuat. Runtutannya adalah : "Saya perlu inovasi - Inovasi apa yang perlu dibuat? - Saya menemukan hal ini baru - Saya akan jadikan ini inovasi." Konsep tidak begitu disinggung disini.

Lalu, bagaimana seharusnya Inovasi lahir agar mampu punya manfaat terhadap konsep? kita mesti merubah runtutan berfikirnya menjadi : "Saya memiliki konsep A - Bagaimana cara saya mencapainya? - Saya menemukan caranya." Kenapa pada pola pikir ini inovasi malah tidak disebut? bukan tidak disebut, tapi belum sampai, pada tahap ketiga kita perlu menanyakan hal lain : "Apakah ada cara lain daripada cara yang sudah sering dilakukan? - Apakah cara lain itu dapat lebih memberikan manfaat? - Apakah cara ini baru?" Nah, jika memang ada cara lain, dan itu adalah cara baru, saat itulah kita menemukan inovasi untuk menyikapi masalah yang ada dalam konsep kita.

Kebaruan memang sengaja disimpan terakhir, karena jika kebaruan yang di awal ia akan menghasilkan bentukan yang sifatnya dipaksakan. Bahkan kepada kebuntuan, yang dalam hal ini berarti, bagaimana kita akan mencari sebuah solusi baru jika masalahnya sendiri tidak di pikirkan dan kita hanya terpaku untuk mencari hal yang baru?

Alasan lain adalah karena memang kebaruan itu hanyalah "bonus". Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa mencapai suatu tujuan dengan suatu teknis/bentukan untuk menjawab masalah dalam jalan menuju tujuan. Jika kebaruan itu yang diutamakan maka proses berpikir akan berakhir pada model berpikir yang pertama, yang disebut inovasi disana tak mendukung konsep, sehingga akan berujung pada kesia-siaan usaha dalam konteks mencapai tujuan konsep.

Selain itu yang penting untuk diingat adalah kita juga perlu memiliki pemahaman yang baik atas konsep tersebut. Karena untuk mencari alternatif cara, diperlukan wawasan yang luas.
Selanjutnya, untuk persoalan inovasi di organisasi saya sendiri, harus dicermati secara lebih khusus. Karena ruang lingkupnya lebih sempit sekaligus lebih luas. Saya akan coba jawab di tulisan berikutnya. Saya mau rehat.

Jumat, 14 Februari 2014

L'hôpital

Pada waktu itu saya masih di Kota Bandung. Malam 25 Januari, Tarso teman saya buat acara yang bersinggungan dengan Pelantikan Dewan Pengurus PKSR Rancang Bangun periode yang teranyar. Saya hadiri keduanya. Sebentar saja di acara Tarso, mungkin paling lama 1,5 jam. Pukul 9 malam saya sudah keluar acara, bersama beberapa teman menjemput Rijal, lalu ke daerah awiligar tempat Pelantikan berlangsung.

Terletak di Bandung Utara, jalannya menanjak, mungkin dulu awiligar dan perumahannya adalah bekas perbukitan. Di atas perumahan ada tempat lapang. Karena letaknya yang cukup tinggi dari lapangan itu kita bisa lihat perbukitan lain di seberang lembahan, gelap memang, yang kelihatan malam itu cuma bayang dengan kerlip lampu rumah yang temaram. Dengan kondisi geografis yang sedikit lebih tinggi dari pusat kota, suhu udara di "medan perang" ini memang dimungkinkan lebih rendah daripada suhu sehari-hari Kota Bandung. Belum lagi mempertimbangkan usia malam yang sudah cukup larut, dan kondisi cuaca yang kala itu sedang dingin-dinginnya. Tapi nyatanya saya tak merasa kedinginan, dan langit malam itu cukup jernih dari awan.

Namun memang kita tidak bisa meremehkan keadaan. Hidup itu sunyi, tapi penuh kejutan. Sekitar jam 3 dinihari saya duduk di perapian, semacam basecamp seadanya, bersama 2013 dan alumni yang lain. Disana ternyata banyak Calon Dewan Pengurus (DP) yang tertidur sakit, bahkan ada yang menggigil. Entah benar atau bohongnya. Mereka tidur begitu saja di tanah, paling banter diselimuti jaket. Mengingat kaidah kegiatan di alam, tidur di tanah secara langsung itu tidak baik, karena suhu tanah yang dingin akan membuat suhu tubuh kita turun. Salah salah bisa bahaya saya pikir.

Tak lama setelah pikiran "salah salah" itu lewat, benar saja jatuh korban. Awalnya ia mengaku keram, terbujur kaku agak jauh dari perapian. Lalu ia digotong ke dekat perapian. Yang mengerti pertolongan pertama mulai mendiagnosa dan membuat si korban merasa nyaman. Ikatan pada tubuh seperti sabuk, jam tangan, dan sepatu tak lupa dilepas.

Tubuhnya benar-benar kaku terbaring, tidak bisa dibuat duduk. Pergelangan tangan dan kakinya terasa begitu dingin, matanya juga selalu terkatup, mulutnya cuma bicara seadanya ketika ditanya.  Entah kenapa bocah ini saya pikir, yang pasti ia tak akan bisa kembali normal dalam sekejap apalagi di tempat yang tidak punya fasilitas yang cukup seperti lapangan ini. Akhirnya kami sepakat untuk membawa si korban ke Rumah Sakit. Saya, Rijal, Alvin dan Redinal yang diberi tugas untuk membawa korban ke Rumah Sakit malam itu.

Setelah beberapa tahun akhirnya saya kembali ke UGD. Terakhir saya masuk ke UGD adalah sebagai pasien, disekitar 2002 - 2003 karena penyakit demam berdarah. Tubuh si korban dibaringkan di atas kasur Rumah Sakit. Kami yang mengantarkan menunggui disekitarnya. Kondisi korban waktu itu jika dilihat dari suhu tubuhnya memang sudah membaik, tapi kini ia sulit diajak bicara, panggilan kami padanya tak terbalas. Di UGD ini yang saya lihat hanya ada satu dokter. Terlihat sibuk sehingga terkesan adik kelas kami terabaikan. Dan kami terus menunggu. Sambil menunggu tindakan dokter, saya coba untuk memperhatikan keadaan sekitar.

Ada perasaan ngeri menghampiri. Inilah UGD dari sebuah Rumah Sakit. Ya, "Rumah" untuk orang yang "Sakit". Dari rasa ngeri itu saya mengartikan lebih lanjut tempat ini sebagai tempat bagi penderitaan untuk sedikit berharap. Ya, sedikit saja.

Ruangan itu sunyi sepi, ada memang pasien lain dan keluarganya dirawat disana. Tapi memang pada dasarnya Rumah Sakit adalah tempat yang tenang dan sunyi. Jadi berapapun pasien yang dirawat, tak bisa saya mengharap keramaian. Dan malam ini kasur pasien terisi jarang-jarang, ada beberapa kasur yang kosong.

Pada kasur lain yang kosong itu saya menangkap gambaran tubuh yang terbaring, dengan keadaan dalam ruang inap. Menatap langit-langit yang kosong dengan tatapan yang kosong pula. Menggantungkan diri pada selang infus, dan karena kondisi tubuh yang lemah, hanya berbaring dan menatap langit-langit lah aktifitas kesehariannya. Untuk makan pun perlu disuapi, dan itupun tak ada rasa nikmat pada yang ia makan.

Dalam keadaan serba terbatas seperti itu, saya rasa akan timbul rasa kerinduan terhadap kenikmatan. Langit-langit itu bagi si sakit mungkin saja tidak begitu kosong. Tapi berisi bayangan-bayangan hari lalu kala ia masih bugar dan sehat. Katakanlah dulu ia sering menghabiskan waktu bersama orang yang ia kasihi, menonton film, makan malam, atau sekadar berbagi senyuman kala dua wajah tak sengaja saling menatap. Selain itu juga mungkin ia meninggalkan hobi-hobi yang biasa ia kerjakan, bermain bola, bermusik, fotografi, dan banyak hal sederhana lain yang bermakna bagi dirinya yang kini terpisah dari dirinya.

Kekasih itu kini hanya bisa menemani disamping kasur, paling banyak mungkin mencoba menghibur, juga mendoakan, dan kegiatan hobi yang menyenangkan itu pun kini berganti menjadi sekedar berpasrah.

Timbul ketakutan, ya, bagaimana kalau suatu hari salah satu dari kitalah yang mengisi kasur itu dan menjadi pasien yang malang hasil daya khayal saya tadi? Dalam keadaan sehat, kita memang sering lupa bahwa keadaan bisa berbalik begitu saja. Tanpa perhitungan, dan tanpa permisi. Saya pun yakin, apa yang ada dipikiran adik kelas saya sebelum sakit mungkin sederhana saja; saya datang, saya menunjukan kapabilitas saya, dan saya dilantik jadi komandan. Tapi nyatanya lain bukan, kini pada akhirnya dia terbaring di Rumah Sakit.

Betapa dunia yang tampak indah bisa berbalik menjadi penderitaan yang mengerikan begitu saja. Dan penyakit adalah salah satu hal yang bisa mengantarkan kita padanya. Tanpa kita tahu kapan ia akan datang, mirisnya kita tidak bisa menolak kebenaran tersebut, dan harus senantiasa ingat kepadanya. Kita memang makhluk yang sering lupa dan terlarut pada hal-hal yang memberikan kesenangan pada kita. Mungkin untuk itu kita harus lebih sering memperhatikan Rumah Sakit?

Kamis, 13 Februari 2014

Baik

Dia menangis. Ibu-ibu yang dikenal galak itu menangis juga ketika disambar serangkaian pertanyaan dari Najwa Shihab. Dalam tangisnya ia merendah, menilai dirinya "tak punya apa-apa". Tapi dunia berkata lain. 51 penghargaan telah diberikan kepadanya sebagai tanda prestasi sebagai walikota, dan lembaga survey menilai bahwa ialah orang yang mampu menyaingi Sang Gubernur "Media Darling" Joko Widodo dalam bursa pencalonan calon presiden. Walau ternyata ia tak menaruh minat dalam mengejar kursi nomor satu di indonesia.

Tri Rismaharini, dialah yang menangis itu, pemegang jabatan Walikota Surabaya. Blusukan, turun lapangan, gila taman, tegas, dan selalu memihak pada kepentingan rakyat surabaya menjadi ciri khas kepemimpinannya yang berumur tiga tahun itu. Apresiasi, prestasi, sudah ia raih. Bahkan bisa dibilang ia mampu mengambil hati masyarakat Surabaya, mengingat banyaknya reaksi yang menolak isu habgat akhir-akhir ini; Bu Risma berniat mengundurkan diri dari jabatan Wali Kota Surabaya.

Bu Risma tidak bisa memberikan jawaban yang tegas kala Najwa Shihab mencoba mengklarifikasi isu tersebut. Namun kita bisa membayangkan beban apa yang ia tanggung sebagai Walikota Surabaya ketika melihat ekspresi Bu Walkot dalam siaran di TV Nasional tersebut.

Tentu tak mudah menjadi pemimpin. Tanggungjawabnya adalah semua insan yang berada dibawah kuasanya. Belum lagi hantaman kiri-kanan. Ya, dalam upayanya memberikan yang terbaik bagi warganya, tentu akan banyak hambatan yang mengujinya. Pertarungan kepentingan, kekuasaan, dan lainnya. Politik. Singkatnya, dalam panggung drama kehidupan ini ada saja sebuah perseteruan, antara ia yang baik dan yang jahat. Penilaian baik dan jahat sendiri relatif. Namun marilah sejenak kita menyederhanakan definisi. Cukuplah kini apa yang baik itu mengupayakan hilangnya ketakutan akan tiadanya sesuap nasi untuk kebutuhan di hari esok, dan apa yang jahat adalah kebalikannya. Dan juga perlu diingat, setiap orang pasti beruaaha menolak segala hal yang bersifat jahat untuk dirinya.

Kejahatan senantiasa hadir, bahkan perlu kata Durkheim, karena ialah yang membuat moral dan hukum berkembang secara normal. Namun saya kira apa yang terjadi disekitar kita kini lebih dari kejahatan, kita menghadapi sebuah kegilaan. Karena kejahatan yang ada kini sudah begitu kuatnya, sehingga berkembangnya moral dan hukum memiliki masa depan yang absurd. Sehingga dalam pergulatannya dengan kebaikan, kegilaan kini selalu tampak menang.

Berbahaya menjadi orang baik, kata Michael Corleone ketika mengomentari keadaan Paus John Paul I yang terancam. Memang sebuah ironi, semenjak kecil tentu kita diajari untuk berperilaku baik dan wajar menurut pada lingkungan sekitar, hal-hal sederhana seperti jangan berbohong, berlaku adil pada sesama, dan tidak boleh menyakiti orang lain tentu sudah pernah jadi bahan makanan kita. Namun seiring tumbuh kembangnya diri kita juga menemukan bahwa ternyata hal hal tersebut tak mudah untuk ditegakkan, karena kekuatan biasa lebih memihak pada hal yang seharusnya kita tahu bukanlah yang benar. Dan tak jarang kita memihak pada kegilaan itu, agar tidak disebut gila oleh si gila.

Lalu dimana tempat bagi orang-orang yang hendak berlaku baik jika kegilaan memang sudah merajalela? yang perlu dipahami adalah, kegilaan itu bukanlah alasan untuk menjadi yang tidak baik. Memang perlu pengorbanan besar untuk melakukannya. Sebuah perlawanan berkelanjutan terhadap kondisi yang absurd, tak tentu menang kalahnya, seperti yang Albert Camus gambarkan dalam novelnya La Peste lewat karakter dr. Rieux :

"Ya," kata Tarrou menyetujui "saya bisa mengerti. Tapi kemenangan Anda akan selalu bersifat sementara, begitu saja."
Rieux tampak muram
"Selalu bersifat sementara, saya tahu itu. Namun bukan alasan untuk menghentikan perjuangan."
"Ya, benar. Tapi sekarang saya bisa membayangkan, apa sampar ini bagi Anda."
"Ya," kata Rieux, "satu kegagalan yang terus menerus."
Sebentar Tarrou menatap dokter, kemudian. bangkit dan berjalan dengan langkah berat ke pintu. Rieux mengikuti tamunya. Ketika sampai di sampingnya, Tarrou berkata sambil memandangi kakinya.
"Siapa yang mengajarkan itu semua kepada Anda, dokter?"
"Kesengsaraan."

Entah manusia macam apa dr. Rieux yang belajar dari kesengsaraan itu. Ia sadar betul, ia tak tahu pasti akankah kemenangan memihak kepadanya dan sampar telah menjadi musuh yang begitu menakutkan. Tapi baginya itu bukan alasan untuk menyerah, ia berusaha menjalankan tugasnya sebagai dokter, dengan cara yang sederhana : sebaik-baiknya.

Bu Risma pahlawan kita kini mulai terlihat goyah, dan hidup tidak semudah novel, walaupun itu novel yang berisi tragedi. Ia (Bu Risma) menanggung beban yang begitu berat dan menghadapi musuh yang begitu mengerikan. Tentu kita ingin dia terus berjuang, layaknya dr. Rieux, tapi kita juga tak tahu sampai mana batas kekuatannya. Cukuplah untuk kini kita mencoba mendukungnya terus secara moril, baik itu lewat ucapan, petisi, apapun lah itu. Keputusan akhir ada ditangan Bu Risma sendiri. Tapi cobalah dulu, sebaik-baiknya, untuk hal yang kita kira baik.

Sabtu, 01 Februari 2014

Awalan

Tulisan pertama.
Entah mau dibuat apa.
Hanya formalitas saja.
Agar tak begitu kosong.
Atau terkesan tiba-tiba.
Selanjutnya, mengalirlah.