Selasa, 15 April 2014

Socrates #2 : Democracia Corinthiana

Socrates bersama Zico (4Dfoot.com)

Brazil memang negerinya sepakbola, o País do Futebol. Sejak si kulit bundar datang ke negeri itu pada akhir abad ke-18 sepakbola seakan tidak bisa dipisahkan dengan negeri Amerika Latin tersebut. Di Brazil, sepakbola bukan hanya sebuah permainan olahraga melainkan juga sekaligus menjadi budaya untuk masyarakatnya.  Bahkan bisa dibilang sepakbola adalah budaya nasionalnya, karena sepakbola ternyata punya peran dalam merekatkan ikatan masyarakat di Brazil yang dikenal juga sebagai masyarakat yang multikultural:

"...The fact is that football has been an effective (and also emotional) bridge between the “elite” who brought it from the biggest colonial empire on the planet, the very civilized England, and the people from a Brazil that in the eighteen hundred was made of former slaves. Putting black and white people, just as elite and the poor, in the same place was it its first lessons. Football has demonstrated that skills are better than a family name or even the color of the skin. It was the first mean of communication truly universal and modern among all the other segments of the Brazilian society. It has been teaching how to aggregate and disaggregate Brazil through its multiple choices and citizenship*." ―Roberto DaMatta, Anthropologist, dalam Museo Do Futebol (Google Cultural Institute)
Jika dilihat dari kompetisi sepakbola sendiri, Brazil memang negeri yang mesti diperhitungkan dalam sejarah sepakbola dunia. Kesuksesan dalam mencapai torehan gelar Juara World Cup sebanyak lima kali  pada tahun 1958, 1962, 1970, 1994 dan 2002 membuat A Seleção menjadi tim yang paling sukses pada kompetisi tersebut, dibuntuti oleh Italia dengan 4 gelar yang dimilikinya. Selain itu tentu kita tahu kalau negeri samba tersebut banyak melahirkan jagoan-jagoan lapangan hijau, kita bisa menyebutkan nama-nama mulai dari Pele, Garrincha, Rivellino, Zico, Bebeto, Cafu, Ronaldo da Silva, Ronaldinho sampai ke nama-nama baru seperti Jadson, Hulk, Paulinho, Leandro Damiao, dan tentunya Neymar.

Diantara nama-nama tersebut, Brazil pernah punya seorang pemain sepakbola, sekaligus seorang jenius, postur tubuhnya tinggi ramping dengan kakinya yang panjang, berwajah keras seringkali dihiasi brewok dan kumis, rambutnya ikal, seorang pesepakbola yang terkenal bermain di klub Corinthians sekaligus juga seorang dokter, tokoh publik, pengamat politik, dan revolusioner. Pemain sepakbola itu bernama Sócrates Brasileiro Sampaio S. V. Oliveira. Singkatnya: Sócrates.

Sócrates, mengenakan pakaian dokter (estadao.com)
"Sócrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Oliveira, MD (19 February 1954 – 4 December 2011), simply Sócrates, was a Brazilian footballer who played as an attacking midfielder. His doctorate in medicine and his political awareness, earned him the nickname "Doctor Socrates"." ― Wikipedia
Sócrates, sering dipanggil juga sebagai "Doctor Sócrates" atau "The Doctor" adalah seorang pemain yang memberikan warna lain kepada sepakbola di Brazil. Mengingat sepakbola adalah budaya mengakar di Brazil, sepakbola tentu merupakan hal yang sangat diperhatikan oleh masyarakat Brazil. Hal inilah yang sangat diperhatikan oleh Sócrates. Baginya, sepakbola bukan hanya sebuah permainan soal passing, shooting, dan goal, melainkan juga sebuah sarana untuk menyampaikan idea dan menggalang kekuatan. Idea dan kekuatan yang ditujukkan kepada satu titik, perlawanan.

Pada tahun 1964 terjadi sebuah kudeta militer yang menjatuhkan pemerintahan Brazil, sejak itu sampai pada tahun 1985 Brazil menjadi negeri yang diperintah oleh kediktatoran militer. Pada tahun-tahun itulah Sócrates hidup menjadi pemain sepakbola dan merasakan betapa tertindasnya hidup dibawah rezim diktator militer yang otoriter dan sangat membatasi manusia khususnya dalam kebebasan mengemukakan pendapat dan berpikir. Untuk itu Sócrates memimpikan sebuah sistem yang baru, yang lebih memberikan ruang terhadap manusia, Sócrates memimpinkan demokrasi bagi negerinya. Mimpinya akan demokrasi itulah yang ia bawa kedalam sepakbola, untuk melawan rezim diktator militer yang kala itu berkuasa.
"If you'd ask me if Sócrates was the best player in Corinthians history, i'd answer no, Rivellino is far better ... but Socrates was by far the most singular ... You can draw a parallel ... symbolical, between Sócrates and Che Guevara, an image of revolutionary" ― Juca Kfouri, Journalist, dalam Football Rebel (Aljazeera)
Langkah awal Sócrates dimulai dari klub tempat ia bermain pada tahun 1978–1984, Corinthians. Bersama rekan-rekannya, baik itu sesama pemain seperti Wladimir dan Walter Casa Grande maupun dengan jajaran pengurus tim seperti Adilson Monteiro Alves, Sócrates membangun Corinthians menjadi sebuah klub sepakbola yang memiliki sebuah kesadaran politik. Lewat klub ini, Sócrates dkk. membentuk sebuah gerakan untuk demokrasi, yang dimulai dari sebuah klub sepakbola untuk negeri Brazil yang lebih luas. Gerakan tersebut dikenal dengan nama Corinthians Democracy atau dalam bahasa Brazil disebut Democracia Corinthiana.

Pendekatan yang dilakukan oleh gerakan Corinthians Democracy dilakukan melalui simbol-simbol seperti logo pada bagian belakang jersey dan spanduk-spanduk yang menyuarakan demokrasi. Selain itu pendekatan juga dilakukan dengan mengubah sistem klub Corinthians menjadi lebih demokratis. Dalam hal ini, keputusan klub dibuat oleh semua stakeholders yang ada di dalam tim. Mulai dari pengurus, physio, coach, pemain, bahkan para pelayan klub. Keputusan diambil melalui sistem vote. Mereka juga mengedepankan komunikasi diantara semua elemen di dalam klub, banyak diadakan diskusi-diskusi dan debat. Bahkan, tak jarang mereka mengundang para seniman untuk bergabung dalam pembicaraan mereka. Ya, sepakbola dijadikan laboratorium untuk bagaimana hidup seharusnya.

Tim Corinthians di depan publik (google)
Jersey Tim Corinthians yang bertuliskan Democracia Corinthians. (imguol.com)

Spanduk bertuliskan "Menang atau kalah, yang penting dengan cara demokrasi" (globoesporte.globo.com)
"Corinthians Democracy was the voice of Brazilian war. Corinthians Democracy was the voice of football, the voice of sports, in a struggle to re-democratize the country. that's what the corinthians democracy was."―Adilson Monteiro Alves, dalam Football Rebel (Aljazeera)
Bersama Corinthians Sócrates dkk. bermain dengan baik, hasilnya adalah mereka menjuarai Liga Brazil sebanyak 3 kali pada tahun 1979, 1982, 1983. Permainan sepakbola yang baik dan prestasi yang dicapai tentu membuat gerakan Corinthians semakin dikenal oleh seluruh masyarakat Brazil. Tak sedikit yang menentang gerakan tersebut, seperti para pers pemerintah dan para pebisnis Sao Paulo yang punya kepentingan dengan pemerintah yang berkuasa, Corinthians dicap sebagai sekumpulan anarkis. Tapi tak sedikit juga yang memberikan dukungan, belum lagi dengan banyaknya suporter Corinthians yang loyal dan militan. Perlawanan tetap berlanjut, sampai pada akhirnya pemerintah mengadakan pemilu setelah lama tak diadakan. Melaui momentum tersebut, Corinthians Democracy kembeli melakukan manuver dengan cara mengajak seluruh warga Brazil untuk turut serta dalam pemilu melalui Jersey bertuliskan, "Dia 15 Vote", Vote pada tanggal 15.

"Dia 15 Vote" (google)
Sebagai tim papan atas, ternyata gambar dari jersey yang dikenakan oleh Corinthians dimuat oleh koran-koran di Brazil. Bukan hanya koran-koran yang beredar di Sao Paulo, tapi untuk seluruh Brazil. Pada akhirnya pemilu pun diadakan, dengan hasil kekalahan untuk rezim diktator militer. Di berbagai bagian Brazil, para oposisi pemerintah memenangkan suara.

Sócrates dengan gerakan Corinthians Democracy-nya menunjukan bahwa sepakbola bukan hanya soal pertandingan 90 menit di lapangan, juga bukan hanya kemenangan, kekalahan, profit klub, popularitas. Sepakbola pun sebuah bagian dari kehidupan, yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana mengemukakan pendapat dan menggalang kekuatan. Terlebih lagi pada negara yang menganggap sepakbola sebagai bagian daripada budayanya seperti Brazil.
"Di negeri yang sering menganggap sepakbola sebagai agama, Socrates tak ubahnya seorang teolog yang tak henti-hentinya mengkampanyekan pembebasan sepakbola dari korupsi, para pemain yang rakus, para pemilik klub yang tamak dan perusahaan-perusahaan multi-nasional yang menjajakan produknya melalui sepakbola."― Zen RS, Socrates dan Sepakbola sebagai Bendera Perlawanan (detiksport)
Sócrates meninggal dunia pada 4 Desember 2011, pada hari dimana Corinthians merebut Juara Liga Brazil. Sebelum pertandingan terakhir tersebut, diadakan mengheningkan cipta untuk dirinya. Seisi stadion mengangkat tinjunya keatas, meniru gaya selebrasi yang biasa dilakukan oleh Sócrates.

Rest In Peace, Sócrates.

Socrates mengacungkan tinju. (squarespace.com)
Diringkas dan disadur dari video Aljazeera Football Rebel : Sócrates

Kamis, 03 April 2014

Socrates #1

The Death of Socrates, karya Jacques-Louis David

Sekarang minggu UTS, dan masih ada seminggu lagi. Hal yang menyebalkan dari UTS adalah sempitnya waktu buat cari pengetahuan diluar bahan UTS. Kaya si Arish sama Bayu, yang kesulitan buat nyelesain Dunia Sophie sama Sherlock Holmes karena ada take home MMI sama sit-in MPKT B di hari Jum'at. Waktu sekian banyak itu bakal kemakan sama bahan-bahan dari Pak Koen, Amartya Sen, dan LSPB-LSPB dari Scele sehingga minim kesempatan untuk lari ke bacaan yang lain, yang lebih menyenangkan mungkin. Tapi kesempatan ga cuma datang karena kebetulan atau pemberian deng, bisa juga dibuat. Lagian saya kan alumni belitung timur, yang punya filosofi akademik kalau UTS adalah Ujian Teu Serius (teu=tidak), jadi rilek ajalah dulu kita cari-cari info tentang Socrates yang tadi sempat diomongin di depan fotokopian penjara.

Siapa Socrates? Seumur hidup saya, saya tau dua orang yang punya nama Socrates. Yang satu dari Yunani, dan satu lagi dari negeri tuan rumah Piala Dunia 2014: Brazil. Socrates yang dari Yunani itu kerjaannya nggembel di jalanan Kota Athena berfilsafat sama orang-orang yang dia temuin, sementara yang dari Brazil itu kapten tim nasional sepakbola Brazil di World Cup 1982, sebuah tim yang dipecaya sebagai salah satu tim terbaik yang pernah terbentuk di muka bumi. Jadi kedua orang yang bernama Socrates ini memang jelas beda, tapi duaduanya punya kesamaan: sama-sama keren. Dan pada kesempatan ini saya mau ngomongin Socrates yang dari Yunani dulu setelah tadi entah kenapa di depan fotokopian penjara banyak ngobrol tentang filsafat sama Bayu dan Arish.

Wikipedia bilang :  
 "Socrates (Yunani: Σωκράτης, Sǒcratēs) (469 SM - 399 SM) adalah filsuf dari Athena, lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Semasa hidupnya, Socrates tidak pernah meninggalkan karya tulisan apapun sehingga sumber utama mengenai pemikiran Socrates berasal dari tulisan muridnya, Plato." 
Salah satu dari tulisan Plato tentang Socrates adalah The Apology, yang katanya juga ditulis oleh Xenophon. Tulisan ini berisi tentang dialog Socrates sewaktu dia digugat oleh sekelompok orang dan dihakimi di Athena, yang pada akhirnya berujung dengan hukuman mati buat Socrates dengan cara meminum racun hemlock. Di pengadilan ini, Socrates dituduh sebagai orang yang "pembuka pintu menuju kejahatan, meracuni kaum muda, dan tidak percaya kepada dewa-dewa.", diantaranya orang-orang yang menuduh Socrates adalah Meletus, Anytus dan Lycon.

Sebenarnya tuduhan itu datang dari kebiasaan Socrates yang mungkin bisa dibilang unik buat waktu itu, mungkin juga buat sekarang. Kalau mengutip ke buku lucunya Osborne, Socrates itu suka berpakaian lusuh, kaki telanjang, dan senang menghabiskan dirinya berdebat di pasar. Ia sangat menaruh perhatian terhadap moralitas, terhadap upaya menemukan yang adil, benar, dan baik. Bisa dibilang, dia salah satu filsuf pertama yang bicara tentang etika. Dan upaya untuk menemukan yang adil, benar, dan baik itu dia lakukan dengan metode dialektik, yang sering juga disebut metode bidan kebenaran, sebuah metode tanya-jawab dalam pembicaraan untuk menemukan jawaban yang paling benar atau mendasar. Jadi Socrates yang satu ini masuk dalam kategori manusia kepo, senangnya ngobrol dan nanya-nanya, bahkan menganggap dirinya sebagai "lalat pengganggu" bagi manusia-manusia yang malas.

Kegiatan kepo ini sebenarnya ada sebab-musababnya. Kita kayanya udah ga jarang denger ungkapan Socrates kalau yang dirinya tahu adalah bahwa dirinya tidak tahu apapun, dan itulah bentuk dari kebijaksanaan. Socrates memiliki sebuah pandangan kalau kebijaksanaan adalah sikap rendah hati yang selalu berproses untuk terus mencari suatu yang baik dan benar. Pandangan ini gak begitu aja dateng ke Socrates, ada ceritanya.

Jadi ceritanya Socrates punya teman, namanya Chaerephon, yang pergi bertanya ke Oracle Delphi:
"...You must have known Chaerephon; he was early a friend of mine, and also a friend of yours...Well, Chaerephon, as you know, was very impetuous in all his doings, and he went to Delphi and boldly asked the oracle to tell him whether he asked the oracle to tell him whether there was anyone wiser than I was, and the Pythian prophetess answered that there was no man wiser..." ―Socrates, dalam Plato, The Apology.
Jadi Socrates mendengar kalau dialah manusia yang paling bijak, dia juga sebenarnya bingung denger berita dari Delphi tersebut:
"I know that I have no wisdom, small or great. What can he mean when he says that I am the wisest of men?"―ibid.
Nah, dari kebingungannya itu dia jadi kepo, dia datangi orang-orang yang dia anggap lebih bijaksana dari dirinya dan menggunakan metode pembidanan tadi untuk mengetahui apakah sebenarnya yang diketahui dari orang-orang yang terlihat bijaksana tersebut. Hasilnya adalah, dia hanya menemukan kalau orang-orang tersebut hanya sok bijak dan sok tahu, karena ketika Socrates memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menguji pengetahuan orang-orang bijak tersebut, mereka tidak bisa menjawabnya. Dan akhirnya kegiatan Socrates tersebut jadi buah simalakama tersendiri, orang-orang yang menganggap dirinya bijak itu sakit hati dan membenci Socrates.
"When I began to talk with him, I could not help thinking that he was not really wise, although he was thought wise by many, and wiser still by himself; and I went and tried to explain to him that he thought himself wise, but was not really wise; and the consequence was that he hated me...So I left him, saying to myself, as I went away: Well, although I do not suppose that either of us knows anything really beautiful and good, I am better off than he is - for he knows nothing, and thinks that he knows. I neither know nor think that I know."―ibid.
Begitulah Socrates menyimpulkan kebijaksanaannya yang berarti merendah hati kalau ia tidak mengetahui apapun, dan tidak sok tahu tentang suatu pun. Sehingga muncul keinginan untuk selalu mencari pengetahuan lewat dialog-dialog bersama orang-orang yang ditemui. Ia berusaha mencari jawaban terbaik dari dialog-dialog dengan cara menanggapi suatu pernyataan dengan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap pernyataan tersebut. Yang akhirnya jawaban terbaik itu dapat ditarik secara logis.

Dari dialog-dialog yang dilakukan Socrates muncul pengetahuan-pengetahuan baru di masyarakat Athena, yang tak jarang bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah lama ada di Kota tersebut. Selain itu sikap kritis Socrates seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya banyak menimbulkan rasa sakit hati terhadap orang-orang yang awalnya dipandang bijak namun dijungkirbalikkan oleh sikap Socrates. Karena itulah pada suatu hari gugatan dilayangkan kepada Socrates, dan Socrates pun di hakimi di pengadilan Athena.

Di pengadilan itu Socrates tidak merasa ada kesalahan akan apa yang ia laluinya. Ia bilang, ia hanya melakukan tugas yang diberikan oleh para Dewa, lewat pesan yang ia terima dari Oracle Delphi, bahwa ia adalah manusia yang paling bijaksana dan berusaha membawa warga Athena kepada kebijaksanaan tersebut lewat metode pembidanannya. Dimana lawan dialog mendapatkan kebenaran dari jawaban yang diformulasikannya sendiri dari pertanyaan Socrates, bukan lewat pengajaran dalam artian pengetahuan itu diberikan secara langsung dari Socrates. Dan sebenarnya warga Athena pun toh senang terhadap dialog-dialog yang dilakukan Socrates, dan ada juga orang-orang yang pernah berdialog dengannya tapi tidak merasa dirugikan karena dialog tersebut, ya si Plato contohnya.
"But I shall be asked, "Why do people delight in continually conversing with you?" I have told you already, Athenians, the whole truth about this: they like to hear the cross-examination of the pretenders to wisdom; there is amusement in this. And this is a duty which the God has imposed upon me, as I am assured by oracles, visions, and in every sort of way in which the will of divine power was ever signified to anyone."―ibid.
Namun, akhirnya Socrates tetap dinyatakan bersalah lewat voting yang diadakan dalam pengadilan tersebut. Tidak jelas berapa lawan berapa, namun dicatat dalam The Apology kalau Socrates kalah 30 suara, yang bisa dihitung kalah sedikit dari pemenang voting. Dan muncullah usulan kalau Socrates harus dihukum mati,

"And so he proposes death as the penalty. And what shall I propose on my part, O men of Athens?...I believe that I should have convinced you; but now the time is too short. I cannot in a moment refute great slanders; and, as I am convinced that I never wronged another, I will assuredly not wrong myself. I will not say of myself that I deserve any evil, or propose any penalty."―ibid.
Socrates merasa bahwa dia bisa saja meyakinkan kembali para juri disana, tapi waktu yang tak tersedia tidak cukup untuk menghilangkan fitnah besar terhadap dirinya. Tapi ia masih tetap pada pendiriannya kalau dirinya tak bersalah, maka ia tidak mau mengajukan usulan banding terhadap hukuman matinya tersebut. Memang dia membicarakan juga tentang hukuman seperti penjara plus dendanya, atau hukuman pengasingan. Tapi ia berpendapat bahwa dipenjara sama saja menjadi budak hakim, dan jika ia diasingkan tetap saja ia akan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan di Athena ketika ia sampai di tempat pengasingannya. Seain itu ia juga berpendapat bahwa mengajukan banding sama saja dengan mengakui bahwa dirinya bersalah dan ia lebih takut terhadap kematian daripada berpaling dari kebenaran. Sehingga dengan tegas ia menerima hukuman mati..

"The difficulty, my friends, is not in avoiding death, but in avoiding unrighteousness.."―ibid.
Dan palu pun diketuk, Socrates dihukum mati dengan meminum racun hemlock. Menurut Wikipedia, Kematian Socrates dalam ketidakadilan peradilan menjadi salah satu peristiwa peradilan paling bersejarah dalam masyarakat Barat di samping peradilan Yesus Kristus. Kematian Socrates memang dramatis, mati demi sesuatu yang ia yakini benar, seolah kebenaran lebih berharga daripada hidup sendiri. Selain itu, saya juga bisa melihat kalau kematian Socrates pun menjadi tamparan tersendiri dalam sistem voting pada peradilan Athena yang menganut demokrasi tersebut. Seolah tidak ada kebijaksanaan disana, dan Socrates memilih untuk mati demi menunjukkan adanya ketidakbijaksanaan tersebut. Mungkin ia memang sengaja bertindak sebagai martir untuk memancing kita untuk lebih dalam bertanya.. Seberapa besar nilai suatu kebenaran?

Selasa, 01 April 2014

Aku Melihatmu

"My eyes have seen you.." -The Doors

Aku melihatmu,
Untuk pertama kalinya,
Diantara wajah-wajah asing yang lambat laun ku kenal.
Tapi tidak dengan wajahmu,
Yang selalu jadi rahasia-rahasia tak terpecahkan.
Pada setiap malam yang tak mengizinkanku untuk terpejam.

Aku melihatmu,
Pada jalan rindang yang melintang,
Di samping sekolah itu.
Yang senantiasa kau tempuh,
Untuk semakin menjauh.
Sementara aku hanya memperhatikan,
Pada suatu jarak yang tak mengizinkanku untuk mendekat.

Aku melihatmu,
Pada dinding-dinding kelas yang menguning.
Memisah ruang, menjadi batas.
Antara kau dan aku.
Yang biasa ku siasati,
Lewat harapan pada celah-celah jendela yang sempit.
Yang terpasang pada dinding-dinding lorong itu.

Aku pun melihatmu,
Pada kabut yang turun dari puncak-puncak gunung.
Yang membelai dan menyapa,
Pucuk-pucuk daun edelweis di lembah itu.
Menari aggun bersama angin dingin, dan langit yang kian kelam.
Yang mengisyaratkanku untuk mencari kehangatan,
Kepada nyala api unggun yang hampir padam.

Aku juga melihatmu,
Pada langit biru yang terbentang di angkasa.
Dimana awan-awan putih berarakan.
Dengan lembut bergerak perlahan,
Seperti tatapan yang takan pernah terlupakan.
Dari sepasang mata teduh yang tajam.
Yang membuatku mengharap
Agar mendung lekas datang.

Aku bisa melihatmu,
Dalam ketiadaanmu,
Lewat pandangan basah yang memburam,
Oleh air mata yang tertahan dan menggenang.
Karena kerinduan yang tak dapat tersampaikan,
Karena kerinduan yang tak pantas untuk disampaikan,
Dalam kesendirian,
Yang tak dapat ku redam.

Pernah memang,
Kucoba membuat mata terpejam.
Untuk mengusir pandang.
Agar kau tidak lagi ku temukan.

Tapi kau menjelma juga dalam kegelapan.

Malam sebelum UTS, 2014.