Senin, 26 Mei 2014

Di Kantin

Bocah itu mengelap ingus yang mengalir turun dari hidung menuju bibirnya dengan kerah baju hitamnya yang lusuh dan itu-itu saja. Kemudian ingus itu menempel lengket pada kerah bajunya, sedikit basah, sebelum nantinya menjadi kerak-kerak kering yang mencorak pada baju yang lusuh itu, dibuat kering oleh terik matahari ibukota.

Di tangannya ia genggam beberapa pack tisu, yang tidak digunakannya untuk mengelap ingus. Ia lebih memilih kerah bajunya saja yang jadi lap untuk membersihkan lelehan ingus. Karena baginya tisu-tisu tersebut bukanlah untuk membersihkan hidungnya, bibirnya, atau wajahnya, tetapi baginya tisu-tisu itu adalah kesempatannya untuk menyambung hidup.

Pada tiap pack tisu tersebut ia titipkan harapan, tiga ribu rupiah, yang ia jajakan pada tempat-tempat ramai lalu-lalang banyak orang.. Dan pada jam-jam tertentu ketika kantin-kantin ramai, ia jajakan juga disana. Berharap kepada kemungkinan ada saja orang yang butuh untuk mengelap bagian bibirnya sehabis makan, untuk membersihkan bagian-bagian pakaian yang tak sengaja basah oleh minuman, atau untuk sekedar mengelap keringat pada pelipis-pelipis wajah. Bahkan, ia berharap agar ada saja yang membeli tisunya hanya karena kasihan.

Dan di siang hari itu, kantin memang sedang ramai. Bocah itu pun siap melancarkan operasinya untuk menjual tiap pack tisu yang ia bawa. Setiap sudut kantin ia jelajahi, mencoba mencari orang yang dapat mewujudkan harapan yang ia titipkan pada tisu-tisu tersebut. Menawarkan, merayu, dan memelas, agar orang-orang di kantin itu membeli barang jualannya. Tapi sepertinya hari iru memang bukan hari miliknya, belum ada tisunya yang laku terjual. Tinggal satu meja yang belum ia datangi, meja yang diduduki oleh beberapa orang pemuda yang sedang asyik mengobrol. Daripada tidak mencoba, bocah itu pun menghampiri meja tersebut.

***

"Kak, beli lah tisunya.."

Mendengar suara si bocah, salahsatu pemuda yang duduk di bangku meja itu menoleh, lalu tersenyum dan berkata basa-basi pada si bocah: "Tawarin aja sana ke cewek-cewek, cowo mah gak pake tisu!" sebuah kalimat yang memang biasa digunakan para pemuda untuk menolak barang jualan si bocah. Dan si bocah sudah tahu betul arti kata-kata itu, bahwa para pemuda itu tidak akan ada yang menaksir tisu-tisu yang ia jual. Ia kecewa, namun, ia tidak lantas pergi, ia duduk di dekat bangku-bangku yang diisi para pemuda itu, memperhatikan obrolan mereka sambil sejenak beristirahat, memberikan kesempatan pada kaki-kakinya yang mulai pegal karena berjalan.

"Aku yakinlah, kalau capres jagoanku itu menang, kita bisa usir itu kapitalis-kapitalis asing yang menyedot kekayaan alam milik kita" kata seorang pemuda. "Alah kau, jagoanmu itu tegas sih tegas, tapi salah-salah omong kita bisa kena culik!" timpal pemuda yang lain "Kita butuh pemimpin yang bisa membawa kebaruan, yang tidak hadir dari generasi yang hidup dibawah pemimpinan rezim terdahulu, yang mau bekerja untuk mensejahterakan rakyat, yang datang membawa mimpi rakyat kecil!"

Bocah itu mencoba mencerna obrolan para pemuda tersebut, ia cukup bisa menangkap, sedikit, mereka mengobrolkan tentang presiden.

"Maksudmu yang satu itu? masih belum jelas visi misi yang dia punya.." pemuda lainnya bereaksi pada perkataan temannya itu, yang lekas-lekas dijawab kembali oleh temannya itu "Apalagi yang belum jelas? dia akan mulai pembangunan negeri ini melalui sebuah revolusi mental, ia membangun sumberdaya manusianya dulu, lewat suatu pendidikan yang dirancang dengan baik. Lihat bocah yang jualan tisu itu, aku yakin jika calonku yang terpilih, ia bisa sulap bocah itu jadi insinyur."

Mendengar namanya dibawa-bawa bocah itu pun merasa perlu untuk memotong pembicaraan: "Apanya yang jadi insinyur? gimana caranya kak?" dan salahsatu pemuda itu menjawab: "Ya kau, jadi insinyur, kau disekolahkan yang tinggi, jadi orang besar."

Bocah itu mengerutkan dahi, diam sejenak, lalu kembali berbicara: "ah, sekolah? seperti kakak-kakak ini sekolah tinggi sampai bisa banyak omong yang tak bisa aku mengerti?" Pemuda itu menyeringai: "Haha, iya dik, kalau kau sudah sekolah setinggi kami, nanti juga kau mengerti apa yang kami bicarakan."

Bocah itu berdiri dari duduknya, lalu berkata: "Aku tak mau seperti itu kak."

"Loh, kenapa?" Pemuda itu heran.

"Buat apa bisa mengerti omongan tinggi" kata bocah itu, "kalau mengerti susahnya jualan tisu ini saja sulit!"

Dan bocah itu pun melangkah keluar kantin..

Jumat, 23 Mei 2014

Saya Kehilangan Selera

Sudah hampir setahun saya meninggalkan kehidupan putih-abu, dan dalam rentang hampir setahun itu, saya merasa bahwa kehidupan itu benar-benar saya tinggalkan dan kenangan pada waktu-waktu itu tinggal jadi potret yang hanya bisa saya ingat dengan miris; bahwa saya tidak akan pernah kembali kepada waktu-waktu tersebut dan terlalu banyak syarat yang harus dipenuhi untuk membuat keadaan hari ini menjadi ulangan dari sejarah tersebut.

Sore tadi saya baru ngobrol dengan sahabat saya di SMA, Alvin Noviansyah, lewat media layanan chat online tertunya karena kini kami tinggal di kota yang berbeda. Terlepas dari pembahasan sentimentil tentang wanita dan cinta, Alvin menunjukkan sebuah foto pada saya, foto dekoran. Dekoran monumental berbentuk kristal dengan cahaya biru yang terpendar, dekorasi itu dibuat dalam rangka menghias malam keakraban bagi mahasiswa SAPPK ITB 2013. Sangat baik untuk ukuran dekorasi skala acara internal, belum lagi hanya Alvin sendirian yang berpengalaman dan punya skill khusus untuk membuatnya dalam tim dekor. Jujur, saya merasa iri kepada sahabat saya tersebut, ia masih bisa membuat karya sebaik itu. Sementara saya disini merasa kering dan merasa kehabisan selera dalam berkarya. Walaupun pada pembicaraan itu Alvin pun bilang, bahwa ia pun merasakan suatu keterbatasan dalam berkarya kini.

Dekoran Alvin
Memang, bukan berarti di tempat saya kini tidak ada namanya kegiatan seni, kegiatan organisasi, atau kegiatan diskusi yang dulu saya dan Alvin sama sama hidupi. Kegiatan-kegiatan tersebut ada, namun tidak pernah terasa begitu menarik daripada kegiatan-kegiatan yang dulu pernah kami lakukan. Sederhananya, seolah aneh rasanya ketika mengetahui bahwa kami tidak bisa mewujudkan mimpi yang lebih besar daripada mimpi-mimpi yang dulu telah kami wujudkan. Bukan hanya dekoran, apa pun yang sifatnya karya besar seperti acara bazaar, promosi ekskul (mungkin kini namanya komunitas), kaderisasi, intinya suatu program kerja . Ada sesuatu yang hilang dalam yang namanya membuat karya-karya yang membanggakan, ada yang salah dengan yang namanya berorganisasi atau berhimpun atau membentuk kepanitiaan atau apapun itu, yang intinya berkumpul dan memiliki satu tujuan; dan sebagai istilah untuk menyebutnya sebut sajalah itu berorganisasi, karena sepolos-polosnya komunitas atau kepanitiaan dari aturan-aturan formal, ia tetap memiliki sistem pengorganisasian.

Saya bilang pada Alvin bahwa masalahnya adalah minim pikiran kreatif, sehingga setiap karya dari suatu kegiatan berorganisasi seolah itu-itu saja dan membosankan. Tapi dia memberikan pandangan lain, katanya, masalah ada pada orientasi individu-individu dalam berorganisasi, yang ia bilang sebagai "Orientasi Kehidupan Modern", dimana berorganisasi adalah untuk sekedar mencari pengalaman dan mengisi baris-baris kosong pada curriculum vitae (CV) bukan untuk berorganisasi itu sendiri; menghimpun individu kedalam suatu tujuan yang akhirnya menghasilkan suatu karya atau dampak-dampak dari tujuan tersebut. Sehingga mutu dari karya suatu kegiatan organisasi tidak terlalu penting bagi individu, yang lebih penting adalah individu mendapatkan nilai pengalaman dan nilai praktis berupa isian CV yang sah. Yang dibuat adalah bukan karya, melainkan sebuah rencana-rencana semata atau yang saya tafsirkan tentang rencana  maksudnya adalah step by step proyeksi program kerja, tanpa ada nyawa berupa hasrat berkarya pada program kerja tersebut. Saya setuju, tapi menanggapi kembali bahwa yang dibuat oleh kegiatan organisasi dalam orientasi tersebut juga tidak dapat selalu dipandang sebagai pembuatan rencana, karena biasanya rencana sudah tersedia sebagai prosedur turun-temurun, namun yang membedakan adalah cara pembungkusan rencana tersebut. Dan saya juga memandang, pergeseran orientasi berorganisasi ini memberikan dampak kepada pemahaman individu terhadap sistem kerja suatu organisasi, misalnya seperti penggunaan AD/ART dalam menentukan kebijakan, penggunaan struktur dalam sistem komando dan koordinasi, juga Hak, Wewenang, dan Kewajiban yang tidak menentu ketetapannya sehingga perilaku anggota organisasi seolah kurang teratur.

Saya kini memang tidak terikat pada organisasi manapun, tapi saya pernah mengalami suatu kegiatan berorganisasi disini atau mendengar pengalaman kawan-kawan saya yang ikut dalam suatu organisasi, dan saya menemukan kasus-kasus yang akar masalahya kembali pada yang dikatakan Alvin: Orientasi. Malah mungkin, kegiatan itu tanpa Orientasi sama sekali

Yang pasti, saya memang merasa kehilangan selera sekarang, dengan tidak menemukan ketertarikan dalam mengikuti kegiatan apa pun yang berbasis kerjasama. Dengan alasan, ketika melihat penyusunan acara dan organisasi tersebut, yang saya lihat hanya nilai-nilai kosong tanpa hasrat mencapai nilai-nilai tersebut.

Suatu karya yang baik, datang dari kerja yang baik, kerja yang baik datang dari pengorganisasian yang baik, pengorganisasian yang baik datang dari perancangan rencana dan dasar-dasar filosofis yang baik.

Apa itu baik? Mampu memberikan jawaban lurus dalam setiap pertanggungjawaban atas karya tersebut.