Minggu, 14 September 2014

Yang Tinggal dan Meninggalkan Sesuatu

“Aku memang mengambil judul tersebut dari suatu bab komik ninja Naruto, maafkan bila memang kebetulan kamu tahu perihal pengambilan judul l ini dan merasa konyol karenanya..” 

Takdir memang tak selalu baik bagi seseorang yang mencinta. Kita mungkin pernah mendengar kisah-kisah indah tentang cinta dari negeri-negeri nun jauh disana, yang oleh para penutur dan penulisnya dibumbui berbagai macam gambaran kebahagiaan; pelukan mesra, kecupan manis, janji sehidup semati sepasang kekasih, atau tentang cinta yang hilang lalu kembali pulang. Tapi toh, disisi lain kita juga bisa temukan kisah-kisah pahit mengenai cinta, sebuah dunia yang berbeda dari kisah yang disebutkan sebelumnya. Jika tadi kita bisa membayangkan tentang langit biru dan bunga-bunga yang merekah, pada kisah-kisah ini yang kita temukan mungkin adalah gerimis yang kelam bersama pepohonan sekarat yang masih saja mencoba untuk mempertahankan hidupnya. Sebutlah, kisah tentang Majnun yang menjadi gila karena dipisahkan dengan kekasihnya Layla atau Zainuddin yang mesti kehilangan Hayati karena menikah dengan pria lain dan pada akhirnya mati tenggelam bersama Kapal Van Der Wijck. Ya, darisana kita bisa merasakan kebenaran dari apa yang Pram pernah tulis; bayang-bayang cinta adalah derita.

Agama Islam memang mengajarkan bahwa segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan. Sehingga kita sering mendengar istilah: jodoh di tangan Tuhan. Aku pun tidak menyangsikan hal tersebut. Tapi kita pun tahu kalaupun urusan tersebut telah diatur oleh Yang Maha Kuasa, kita sesungguhnya tak akan pernah tahu siapa pada yang pada akhirnya akan hadir dan menjadi teman hidup kita sebelum waktu yang nantinya akan memberikan jawaban. Dan dalam perjalanannya berkutatlah kita pada malam-malam dimana kita mengusut rahasia demi rahasia tentang “Si Dia” yang di janjikan.

Sudjiwo Tejo pernah bilang; Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu bisa berencana menikahi siapa, tp tak dapat kau rencanakan cintamu utk siapa. Aku tak tahu apa aku bisa percaya perkataan itu atau tidak karena memang jalan yang aku lalui belum sampai kepada penjara bernama pernikahan itu. Tapi setidaknya perkataan itu dapat membawa kita kepada pertanyaan-pertanyaan yang menarik: Apa yang akan terjadi jika kita memang terjebak pada suatu pernikahan yang tidak terdapat cinta dari dalam diri kita? Apakah kita akan bertahan atau lari? Apakah akan datang kebahagiaan darinya? Kira-kira begitu. Bagiku sendiri segala jawaban dari pertanyaan itu adalah spekulasi, jika aku mendapatkan jawaban-jawaban dari orang-orang yang memang belum pernah melalui situasi terkait. Termasuk dari hati dan pikiranku sendiri. Tak adil juga rasanya jika kita menilai apa yang sebenarnya belum kita ketahui.

Panta rhei; semuanya mengalir. Mungkin akan lebih adil jika memang kita biarkan semuanya mengalir. Tapi nyatanya dalam deras arus senantiasa bebatuan memecah. Ketika suatu masa yang kosong dan kita biarkan hidup mengalir dengan sendirinya, kita tak jarang sejenak terpaku pada hal-hal yang membuat kita berpikir ulang; apakah memang hidup ini akan mengalir begitu saja dengan sendirinya membawa kita ke suatu tujuan yang kita terima begitu saja ataukah kita dapat memberikan determinan-determinan tersendiri agar kita dapat menentukan sendiri kemana arus akan mengalir? Dalam hal ini tentu konteks tujuannya adalah soal cinta dan perjodohan.

Pikiran yang sentimental itu senantiasa hadir bersamaan dengan tamu yang tak diundang; Kenangan. Ya, dia adalah tamu kurang ajar yang dapat seenaknya saja melintas di pikiran dan perasaan kita; bersembunyi dan tersimpan diantara gelas-gelas kopi di sudut kafe, pada harmoni nada-nada musik rock klasik, atau pada tiket bioskop yang tak sengaja kita temukan terselip di sela-sela dompet. Semua itu membawa kita kembali kepada momen-momen yang telah lama tertinggal di belakang; momen penuh harapan yang sekarang kita rindukan. Menjebak kita kembali pada romansa-romansa bersama seseorang yang tak lagi tinggal, tapi meninggalkan sesuatu. Lalu kita mencoba kembali untuk menganggap semuanya mengalir, tapi tak mudah. Aroma kopi itu terus merayu untuk kembali, nada-nada itu terus melantunkan kisah lama, dan tiket bioskop itu memutar kembali cerita-cerita lama yang kita kira sudah lewat. Sampai pada akhirnya kita meragukan bahwa semua dapat dengan begitu saja mengalir; dan kita memutuskan untuk tinggal.

Orang-orang mulai banyak membicarakan; ada banyak ikan di laut, ada kebahagiaan tersembunyi di tempat-tempat lain, tapi itu semua tidak berlaku untuk mereka yang tinggal. Entahlah istilahnya apa, mungkin benar jika di bilang ia yang tinggal adalah orang yang memenjarakan dirinya sendi ri dalam kenangan. Tapi mungkin lebih tepat jika mereka yang tinggal dipahami sebagai para narapidana yang dengan sukarela masuk kedalam penjara tersebut. Mereka memilih, mungkin merasa nyaman. Dan kenangan-kenangan yang menjadi jeruji itu bukan cuma besi melintang yang dingin, tapi bagi mereka padanya terukir hal-hal yang indah namun ironis; yang membuat mereka terkadang sedikit menyunggingkan senyum dan tak lama kemudian membuat mereka kembali tertunduk, lalu mencari tempat yang paling nyaman untuk berbaring di sudut-sudut penjara itu; sambil menunggu ia yang meninggalkan sesuatu kembali pulang.

Dan entah sampai kapan, ia yang tinggal akan menunggu disana..