Rabu, 15 April 2015

Dan Bandung



Dan Bandung bagiku bukan cuma, 
urusan wilayah belaka, 
lebih jauh dari itu melibatkan Perasaan, 
yang bersamaku ketika sunyi.

Saya memang punya hubungan yang sentimental dengan kota kelahiran saya, Bandung. Hal-hal kecil di dalamnya selalu saya maknai dengan perasaan. Ya, mungkin untuk beberapa orang berlebihan. Seperti halnya ketika saya rindu terhadap panorama itu, Tangkubanparahu dan Burangrang yang manis berdampingan di batas cakrawala Bandung Utara atau pada angin dinginnya yang sejuk membelai pipi ketika sepeda saya meluncur di jalanan Bandung sehabis hujan. Selalu ada saja hal-hal tak penting yang dapat dimaknai sebagai keindahan di Kota Bandung.

Dan tentu, bukan hanya soal kondisi geografisnya saja yang membuat saya merasa punya ikatan dengan Kota Bandung. Sebagai yang pernah menjalani hidup disana tentu ada hal yang lebih dari itu, yakni pengalaman. Potongan-potongan memori dari hari kemarin, baik yang manis maupun pahit. Semua kenangan itu memberikan warna dan rasa kepada saya pribadi ketika kembali pulang ke Kota Bandung; ketika melewati Jalan Braga yang dulu disusuri berdua, ketika kembali ke sekolah menengah atas tempat saya besar dan berulah bersama kawan, dan ketika tak sengaja melewati rumah teman-teman yang pernah menjadi tempat menginap sembari berbagi kesunyian bersama. Ya, kenakalan itu, romantisme itu, dan kesunyian itu.. semuanya membaur jadi kerinduan ketika sepi datang untuk saya yang kini tidak lagi setiap hari di Bandung.

Mungkin, Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum. Mungkin
(“Tuhan menciptakan tanah Priangan tatkala sedang tersenyum” - MAW Brouwer)


Saya kira saya tidak sendirian. Bandung sepertinya memang Kota yang memberikan kesan tersendiri kepada orang-orang yang pernah tinggal disana. ― maaf buat Bang Mimar, dosen saya di Jurnalisme, saya telah melakukan "dosa" dengan menggunakan frase "kesan tersendiri" tapi saya tidak tau lagi harus memilih kata apa untuk menunjukkan relasi Bandung dan orang yang tinggal disana. Ada orang bilang, Bandung adalah kota yang paling pas untuk jatuh cinta. Ya, saya sendiri setuju kepada orang yang berkata seperti itu dengan mengingat betapa banyaknya tempat "sederhana tapi indah" yang pas untuk dikunjungi untuk sekedar menghabiskan waktu berdua; warung pinggir jalan, kafe-kafe, perpustakaan, belum lagi sekarang dengan banyaknya taman kota sekarang. Juga dengan udara dinginnya yang menjadi perimbangan yang pas untuk kehangatan yang diciptakan pasangan romantis.

Bahkan, tak luput juga presiden pertama kita Ir. Soekarno terkena sihir oleh kota yang terletak di cekungan gunung sunda purba ini. Sang proklamator pernah berkata, ketika ia mendatangi kembali Kota Bandung yang dulu menjadi tempatnya menimba ilmu, bertemu istri pertamanya dan merintis pergerakan: "Aku kembali ke Bandung, kepada cintaku yang sesungguhnya.." begitu katanya. Mungkin benar apa yang Romo Brouwer bilang, bahwa Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum.

Mungkin saja ada tempat yang lainnya, 
ketika kuberada di sana, 
akan tetapi perasaanku sepenuhnya ada di Bandung, 
yang bersamaku ketika rindu, 
yang bersamaku ketika rindu..

Sekarang disinilah saya, di kota satelit ibukota. Meninggalkan Bandung dengan alasan menuntut ilmu, yang pada prakteknya lebih banyak bermalas-malasan. Beda kota, beda lingkungannya pula, dan saya mesti bisa menerima apa-apa yang ada disini tanpa banyak berdumel mengenai betapa aneh dan asingnya tempat yang saya tinggali kini. Sungguh berbeda dengan apa yang saya rasakan di Bandung. Tapi ya begitulah, pada akhirnya orang mesti bisa menerima, jalani saja. Toh kali-kali bisa pulang, toh nanti juga ada libur panjang, dan semua kerinduan itu akan terbayar tuntas. Ya, semoga.

Maka, biarkanlah perasaan itu tertinggal di Bandung, biarkan saja rindu itu selalu datang. Biar nanti ketika kita pulang, kerinduan itu bisa disambut dengan mesra dan kepulangan menjadi lebih bermakna.

*) Terimakasih buat surayah, lagunya bikin kangen sama Bandung.

Senin, 13 April 2015

Sakadang Kuya Dan Sakadang Monyet Curhat

Pada suatu hari yang tidak terik-terik amat dan sedikit berawan, Sakadang Kuya sedang duduk di bawah pohon jambu. Matanya terpaku kepada dedaunan yang gemerisik tertiup angin nun diatas ranting-ranting pohon. Ternyata dia lagi melamun. Pikirannya melayang-layang jauh ke atas, menembusi dedaunan itu dan awan-awan yang sedang berarakan. Di pikirannya yang sedang tinggi itu ada Sakadang Peucang, betina cantik yang tinggal di kampung sebelah. Konon katanya, kali ini Sakadang Kuya benar-benar jatuh hati kepada Sakadang Peucang..

"Heh Goblog..!!" Tiba tiba suara keras dari semak belukar memecah lamunan Sakadang Kuya.

"Heh, Si Anjing..!!" timpal Sakadang Kuya sambil sedikit kesal karena merasa terganggu.

"Har, ai kamu, aku mah da Monyet bukan Anjing." sahut Sakadang Monyet yang perlahan muncul dari lebatnya semak belukar.

"Euh da atuh kamunya ngeganggu aku. Udahlah, ada apa Nyet tiba-tiba kemari sambil ngegoblogin aku?" tanya Sakadang Kuya.

"Hayu atuh, kita main PS, di rumahnya si Alpin." ajak Sakadang Monyet

"Ah, ga mau akumah." kata Sakadang Kuya.

"Kenapa ai kamu malah gamau diajak main PS?" Sakadang Monyet heran terhadap jawaban Sakadang Kuya.

"Kamu mah bohong, si Alpin mah ga punya PS. Dia mah anak ITB, kerjaannya juga siang hari belajar, terus sore sampe ka malem dia rapat himpunan!" tegas Sakadang Kuya.

"He he he, kamu tau aja dee.." kata Sakadang Monyet sambil nyengir, di giginya terlihat begitu mencolok ada sepotong kulit cabe yang nyangkut.

"Malah ketawa.. Itu ai kamu, di gigi ada cabe" Sakadang Kuya mencoba memberitahu Sakadang Monyet

"Hehe, iyah aku tau. Tadi abis makan nasi padang." kata Sakadang Monyet

"Oooh, gitu.." kata Sakadang Kuya

Akhirnya, di bawah pohon jambu itu kini ada dua ekor makhluk yang berleha-leha: Sakadang Kuya dan Sakadang Monyet. Mereka berdua saja ngobrol ngalor ngidul, mulai dari obrolan tentang teori relativitas Einstein, buku-buku eksistensialis, ajaran majusi, sampai ke obrolan mengenai gambar porno yang kemarin disebar sama Sakadang Maung di tongkrongan anak-anak geng motor. Lalu, tiba-tiba angin sore hari dan matahari senja yang mulai turun di ufuk barat membawa suasana melankolis diantara mereka. Pada kesempatan yang syahdu seperti itu, langsung saja Sakadang Kuya membuka kartu..

"Nyet-Nyet.." kata Sakadang Kuya malu-malu.

"Apah?" timpal Sakadang Monyet.

"Kamu pernah jatuh cinta ga?" lanjut Sakadang Kuya

"Eh, ko nanya gitu sih? kamu suka yah sama aku?" kata Sakadang Monyet sambil sedikit tidak nyaman.

"Ih kamu mah suka kegeeran gitu. Bukan ai kamuu." Sakadang Kuya mencoba menjelaskan.

"Kenapa atuh? tumben kamu nanyain cinta-cintaan kaya gitu" Sakadang Monyet mulai penasaran..

"Aku teh kayanya lagi jatuh cinta siah. Percaya gak kamu?" kata Sakadang Kuya

"Ah, yang bener. Kamu mah terakhir pacaran juga iseng." Sakadang Monyet sedikit meragukan..

"Ya gak tau atuh, da aku juga gak tau jatuh cinta teh kaya gimana. Emang, sebenernya kaya gimana sih Nyet?" tanya Sakadang Kuya

"Ya... gimana yah. Susah atuh da dijelasin juga.." Sakadang Monyet kebingungan, seketika ia teringat sama mantannya: Sakadang Bajing yang sekarang sudah jadi model kotak sabun.

"Ko muka kamu jadi murung gitu sih, ga sukaa.." ujar Sakadang Kuya

"Engga, gapapah.. pulang yu ah udah mau malem." Sakadang Monyet pun berdiri dari tempat duduknya, ia terlihat hendak pergi dari bawah pohon jambu itu.

"Aku nginep atuh di rumah kamu?" Sakadang Kuya ternyata masih belum puas dengan curhatannya

"Tapi kamu nanti tidurnya di lantai atuh yah, aku kasih bantal deh." Sakadang Monyet memberi tawaran.

"Iyah atuh sok,," Sakadang Kuya menerima tawaran itu.

Akhirnya dua sekawan itu berjalan pulang berbarengan. Sakadang Monyet yang seharusnya bisa berlari cepat harus rela berjalan lambat-lambat karena langkah Sakadang Kuya yang pelan-pelan. "Gapapalah.." ujar Sakadang Monyet dalam hatinya "Jalan pelan-pelan bisa sambil nikmatin bintang..". Akhirnya, mereka sampai ke rumah Sakadang Monyet. Di ruang tamu ada Pak Monyet dan Bu Monyet, mereka berdua sun tangan. Sama Bu Monyet ditawarin makan bronis, tapi katanya Sakadang Kuya gak suka bronis. Yaudah, mereka berdua lalu bergegas masuk ke kamar Sakadang Monyet.

Kamar Sakadang Monyet ga begitu besar, tapi keitungnya pas buat ukuran kamar tidur. Di tembok belah kanan ada poster pemimpin revolsi kuba, Che Guevarra. Di tembok belah kirinya terbentang bendera yang warnanya dominan merah-biru, bukan bendera klub bola Barcelona, tapi bendera Korea Utara. Kasurnya cuma satu, tapi empuk, waktu masuk Sakadang Monyet langsung rebahan disana. Sakadang Kuya juga pengen rebahan, tapi sayang kasurnya terlalu kecil, yaudah akhirnya Sakadang Kuya mesti rela duduk bersila di lantai.

"Sok atuh, gimana?" kata Sakadang monyet

"Jadi, Nyet, aku teh lagi suka sama Sakadang Peucang. Itu loh, betina dari kampung sebelah yang sekolahnya di SD Inpres." Sakadang Kuya mulai bercerita..

"Serius? kamu teh yang bener ah. Masa orang kaya kamu ngeceng jelita kaya dia??" Sakadang Monyet mencoba memperingatkan.

"Ai kamu, emang kenapa gitu kalo aku ngeceng Sakadang Peucang?" Sakadang Kuya pun heran..

"Ya kamu teh nyadar atuh, yang deketin dia teh banyaak.. itu coba, siapah itu teh, anaknya Mang Kosim juragan peyeum juga ngedeketin dia ai kamu!" kata Sakadang Monyet

"Ooh, si Laleur? iyah sih, dia juga suka ngegodain dia aku liat teh. Tapi gimana atuh Nyet da aku teh udah terlanjur cinta sama dia.." ujar Sakadang Kuya sambil memasang muka memelas..

"Kamu teh atuh, jangan kehatean dulu kaya gitu.. nanti nyesel siah kalo ga jadi. Terus emang, kamu emang udah kenalan gitu sama si eta?" tanya Sakadang Monyet.

"Udah." jawab Sakadang Kuya.

"Terus?" Sakadang Monyet bertanya lagi.

"Ya gitu aja, kemarin ketemu di warung Bi Icih akunya ga di waro sih.." Sakadang Kuya pun menjadi sedih..

"Tuh kan.." kata Sakadang Monyet ketus

"Gimana atuh?" tanya Sakadang Kuya muskil..

"Nyerah aja atuh" Sakadang Monyet mencoba membujuk temannya.

"Masa nyerah, kata Si Oray cinta teh perjuangan?" Sakadang Kuya ternyata masih enggan menyerah.

"Gimana lagi atuh sok?" tanya Sakadang Monyet

"Iya sih, bener juga.." kata Sakadang Kuya dengan nada lesu, seperti orang kehilangan harapan.

"Iya udah, udahan aja.." timpal Sakadang Monyet dengan nada merendah

"Hmm masih bingung aku teh. Terus, ai kamu tadi kenapa mukanya tiba-tiba murung Nyet?" tanya Sakadang Kuya sambil mencoba mengganti topik

"Inget mantan.." kini gantian Sakadang Monyet yang menjadi lesu

"Har, mantan kamu? Sakadang Bajing yang sekarang jadi model kotak sabun??" tanya Sakadang Kuya penasaran

"Iyah, sieta, kaduhung* dulu aku putusin.." lanjut Sakadang Monyet lesu. (Kaduhung : Nyesel)

"Kenapa malah kaduhung gitu ai kamu?" tanya Sakadang Kuya

"Sebenernya masih sayang.." jawab Sakadang Monyet

"Yah.. kenapa atuh malah putus?" Sakadang Kuya mencoba bertanya lebih dalam

"Ya gitulah" jawab Sakadang Monyet enggan.

"Kenapa ih?" Sakadang Kuya mendesak

"Gitu deh, selingkuh.." kata Sakadang Monyet

"Kamunya apa dianya?" tanya Sakadang Kuya lagi

"Dianya, sama Sakadang Entog reman Pasar Andir.." jawab Sakadang Monyet, yang sebenarnya enggan mengenang.

"Oh gitu.." ucap Sakadang Kuya

"Iya, gitu." timpal Sakadang Monyet

"Nasib yah Nyet kita teh?" tanya Sakadang Kuya

"Udah ah gausah dibahas, tidur aja.." kata Sakadang Monyet beranjak dari kasur menuju saklar, mematikan lampu kamarnya.

"Euh kamu mah.." Sakadang Kuya kecewa

"Dah, aku mau tidur. Besok ada tanding futsal sama gengnya Si Landak.." Sakadang Monyet kembali ke kasurnya, tidurnya menyamping memunggungi muka Sakadang Kuya..

Malam itu kemudian sepi, Sakadang Kuya tidak bisa tidur. Dia pandangi langit-langit kosong yang kini bergambar wajah Sakadang Peucang, pujaan hatinya. Diam-diam dia masih sedikit berharap, walau harapannya itu sangatlah kecil. Sakadang Kuya tidak tahu betul apa yang mesti dia lakukan, semalaman ia terpaku saja pada langit-langit sambil membayangkan hal-hal indah yang mungkin bisa ia lakukan kalau Sakadang Peucang bisa menjadi kekasihnya, dadanya menjadi terasa hangat, entah oleh apa.

Namun di sela-sela lamunan yang memabukkan itu, Sakadang Kuya mendengar sebersit suara. Suara yang terisak-isak, namun pelan. Suara itu berasal dari atas kasur tempat temannya berbaring. Oh, itu suara Sakadang Monyet kata Sakadang Kuya dalam hati menyimpulan. Sakadang Kuya jadi terbayang, apa dulu Sakadang Monyet merasakan rasa hangat yang ada di dalam dadanya kini? Ya, mungkin. Kemudian ia bertanya lagi, akankah Sakadang Kuya sendiri nanti akan berakhir seperti Sakadang Monyet yang terisak pelan di malam yang sunyi karena kegagalan cinta? Ya, mungkin.

"Semuanya mungkin, semuanya mungkin.." pikir Sakadang Kuya.

Dan akhirnya, malam itu jadi malam yang sentimentil bagi Sakadang Kuya. Sampai akhirnya pagi datang, Si Landak nyampeur ke rumah Sakadang Monyet untuk mengajak mereka futsal. Tapi Sakadang Kuya tidak ikut, ia ngantuk karena semalaman terjaga..