Jumat, 12 Juni 2015

Kabar Buat Si Nduk : Tentang Gunung




Nduk,

Siang ini aku melihat sekumpulan mahasiswa membawa tas carrier ke kampus. Paling kecil dari tas mereka mungkin volumenya 50 Liter. Tasnya berwarna-warni, macam-macam nduk; ada yang merah, ungu, hitam, abu-abu, biru juga ada. Semuanya diisi penuh. Ketika dikenakan dibahu, bahkan ada yang tinggi tasnya melebihi tinggi kepala orang berdiri. Sepertinya mereka mau bepergian jauh nduk.

Ternyata memang benar: mereka mau naik Gunung. Mau mendaki Merbabu katanya. Iya nduk, tak asing kiranya buatmu nama itu. Merbabu memang terletak tidak jauh dari tempatmu tinggal, berdiri bersampingan dengan Merapi yang kerap aktif. menghias batas cakrawala di kotamu.

Suka kamu nduk, memandangi panorama Merbabu dan Merapi dari jendela rumah? atau bagaimana dengan dari atas genting? Aku sendiri suka memandangi panorama Burangrang dan Tangkubanperahu di kota kesayanganku Bandung. Bahkan, aku suka menjadikan mereka sebagai semacam pertanda cuaca. 

Jikalau suatu pagi Burangrang dan Tangkubanperahu terlihat jelas di ufuk bagian utara, maka aku anggap hari itu Bandung akan cerah. Sedangkan, kalau yang terjadi sebaliknya, maka siap-siaplah terkurung mendung dan hujan di Bandung. Ya, mungkin itu semacam caraku bermain dengan mereka; memberikan mereka peran sebagai “alat ramal”. Tapi dari kesenanganku bermain  dan menikmati panorama kedua gunung itu, entah kenapa terasa semacam ikatan. Aku kerap rindu pada pemandangan itu.

Aneh ya nduk, kangen kok sama gunung tho? Mending juga sama kamu. Mungkin itu disebabkan juga oleh kesenanganku beraktifitas di gunung. Apalagi ketika SMA dulu, ketika aku sedang senang-senangnya naik gunung. Tempat dengan derajat meter diatas permukaan laut yang tinggi memang dulu jadi pilihan favorit untukku berlibur dan juga bolos sekolah, hehe.

Ya, mungkin secara bodo-bodoan ―dan tidak orisinil juga sebenarnya― aku mau bilang: semakin sering kita berinteraksi dengan satu hal, maka dapat terjalin suatu ikatan yang erat antara kita dengan hal itu. Kamu kemarin baru ikut tes tulis masuk perguruan tinggi negeri bukan nduk, coba lihat buku geografimu pada bagian klasifikasi iklim. Disana ada yang namanya klasifikasi iklim menurut Junghuhn kan ya? Setahuku, si Junghuhn ini salah satu orang yang punya ikatan erat dengan gunung.

Franz Wilhellm Junghuhn itu wong Jerman nduk, sekarang sudah meninggal dan dimakamkan di sekitar Jayagiri, kaki gunung Tangkubanperahu. Dia itu seorang botanis, yang datang ke Indonesia (Hindia-Belanda waktu itu) pada musim panas 1835 karena direkomendasikan untuk mengambil pekerjaan dokter medis. 

Namun entah bagaimana, pada akhirnya si Junghuhn ini malah mempelajari tanah Jawa dan berpetualang mendaki dari gunung ke gunung.  Bahkan katanya dialah orang pertama yang berani masuk begitu dalam ke hutan Gunung Patuha lalu menemukan tempat yang kini disebut Kawah Putih. Kita bisa mengetahui beberapa gunung yang pernah disambanginya lewat peninggalan lukisan yang ia buat, seperti Gunung Gede, Merapi, Sumbing, dan Guntur.

Dari perjalanan-perjalanan itu, timbul suatu kecintaan dari Junghuhn terhadap tanah jawa dan gunungnya. Kecintaannya pada gunung diabadikan kedalam puisi yang berjudul “Salamku Untuk Gunung-Gunung”. Dan tahukah kamu nduk, apa permintaan terakhir Junghuhn sebelum ia meninggal? Sederhana saja nduk, ia meminta untuk dibukakan jendela dan kemudian berkata: “Aku ingin berpamitan dengan gunung-gunung dan hutan-hutanku tercinta” setidaknya itu yang diingat dr. Groneman, sahabat Junghuhn yang menemani saat terakhirnya.

Jika ditanya, sebenarnya apa sih yang gunung berikan kepada mereka yang mencintainya? Aku sendiri mungkin tidak bisa memberikan penjelasan yang memuaskan nduk. Mungkin aku hanya akan berpendapat sebatas bahwa ia memberikan suasana yang tepat bagi para pencari kesunyian sepertiku. Tapi bagi yang lain mungkin ada alasan-alasan lain.

Seperti Soe Hok Gie, yang menganggap bahwa gunung adalah tempat yang baik untuk membentuk karakter seseorang. Dalam buku hariannya yang diterbitkan itu ia pernah mengutip larik dari sajak “Song Of The Open Road” karya penyair Amerika, Walt Whitman, yang berbunyi: 

“Now I see the secret of the making of the best persons, It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth.”

Ya, menarik bukan nduk, katanya orang-orang hebat dapat diciptakan di alam terbuka. Gunung adalah salah satu bentuknya. Selain itu, Gie juga pernah menuliskan pendapatnya sendiri mengenai “alasan” kenapa ia naik gunung:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami … Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

Menurut Gie, gunung juga merupakan tempat bersemainya rasa nasionalisme dalam diri seseorang. Mengenali gunung, adalah mengenali bumi Indonesia. Dengan mengenal bumi tersebut lebih dalam melalui kegiatan naik gunung, diharapkan cinta terhadap bumi yang dipijaknya itu tumbuh. Begitulah singkatnya nduk.

Tapi nduk, apakah kamu percaya bahwa kegiatan naik gunung memang dapat melahirkan pribadi-pribadi unggul dan memiliki jiwa kebangsaan yang kuat? Aku sih, percaya ―sedikit. 

Kamu lihat tidak nduk, di media-media sosial sekarang makin banyak orang update tentang perjalanan mereka berpetualang dari gunung ke gunung? Iya, keren ya mereka. Mungkin itu pertanda bahwa di negeri kita akan semakin banyak muncul pribadi-pribadi unggul dan cinta terhadap negara nduk; sebuah harapan cerah di negeri yang kian hari makin banyak masalahnya.

Eh tapi ngomong-ngomong nduk, katanya di Ranu Kumbolo sampahnya menggunung sampai 1,5 ton ya?

Rabu, 10 Juni 2015

Kabar Buat Si Nduk : Dari Bawah Pohon


Nduk,

Seperti biasanya, selepas ngampus aku memilih untuk menghabiskan waktuku di taman lingkar depan perpustakaan, dibawah tiga batang pohon yang rindang. Ya, di kota yang untukku tidak nyaman ini ―karena panas, debu, dan orang-orangnya yang kurasai asing― bernaung dibawah teduhnya pohon kiranya bisa menjadi pilihan untuk merasa tenang. Setidaknya sampai waktu senja datang.

Menunggu senja dibawah rimbunan pohon sebenarnya sudah jadi kebiasaanku sedari dulu nduk. Tepatnya itu dimulai ketika waktu aku masih jadi siswa sekolah menengah atas, di taman yang terletak tepat disebelah sekolah. Bedanya, dulu ku tunggu senja itu sambil bercengkrama, bercanda, dan tertawa dengan kawan-kawanku sepulang sekolah. Namun kini, aku tinggal sendirian; bersama pikiranku dan bersamamu nduk, yang ada di dalam pikiranku.

Oh iya, nduk, ada satu pengalaman yang bisa kita saksikan ketika kita sengaja mencari teduh pada pepohonan. Pengalaman yang biasa saja sebenarnya, tapi entah kenapa, itu selalu jadi bahan perhatianku. Coba perhatikan olehmu nduk, alihkan pandangmu sedikit keatas. Selembar demi selembar dedaunan itu berjatuhan lepas dari tangkainya, sejenak melayang-layang, lalu kemudian jatuh; diterpa sepoinya angin. 

Kurasa seperti itulah memang kebiasaan sebuah pohon, nduk: menciptakan kuncup, membiarkannya tumbuh menjadi daun, lalu membiarkannya lepas diterpa angin ketika sudah pada waktunya. Seperti kita juga bukan, yang sering menumbuhkan harapan, namun pada akhirnya pada suatu ketika kenyataan berbicara, memaksa kita rela untuk melepasnya.

Ya, memang, pengalaman yang biasa saja dan jarang diperhatikan kadang dapat dimaknai lebih oleh orang kurang kerjaan seperti kita. Orang-orang yang menyempatkan waktu untuk memperhatikan hal remeh-temeh. Memang, katanya kegiatan kurang kerjaan itu banyak dilakukan oleh para filsuf dan seniman. Tak jarang darisana lahir karya-karya besar. Tapi apalah kita kan nduk? Bukan seniman hebat juga kan kita. Seniman juga malah bukan. 

Tapi kamu pernah tau tentang lagu berjudul “Les Feuilles Mortes” nduk? Katanya karangan penyair perancis. Lagu itu menjadi populer ketika digubah oleh penulis lagu amerika, Johnny Mercer, yang menjadikannya sebuah lagu yang mungkin bapak dan ibu kita kenal dengan baik, dinyanyikan oleh penyanyi kulit hitam bernama Nat King Cole. Iya, judulnya yang itu: Autumn Leaves.

Iya, nduk, lagu itu mengambil metafora dari dedaunan dan dari angin sepoi itu. Berkisah tentang seorang yang memandangi musim gugur dari balik jendela, sambil merindukan pasangannya yang tidak dijelaskan kemana perginya.

Momen kerinduan disana disandingkan dengan pengalaman menyaksikan gugurnya daun-daun menjelang musim dingin. Lebih tragis lagi jika dilihat dari judul bahasa perancisnya: ketika daun-daun itu mati. Terkesan darinya ada suatu keharuan akan hilangnya sesuatu yang pernah menyatu dengan diri, yang digambarkan dengan hubungan antara keseluruhan pohon dan dedaunan yang sebelumnya merupakan kesatuan. 

Oleh karena itu, dengan lepasnya hubungan tersebut, ada semacam rasa keterpisahan, yang ada ―atau mestinya ada― kini telah tiada. Kemudian, dari dalam diri yang menyaksikan, memaknai momen tersebut, dan mengaitkannya kepada pengalaman pribadinya, terdapat semacam tuntutan agar yang hilang itu untuk kembali pulang. Tapi memang terkadang kita tak bisa berbuat banyak, seperti tokoh pada lagu itu; hanya bisa meratap dari balik jendela.

Seperti itukah memang rasa rindu itu, nduk? Mungkin. Aku sendiri tidak mau membuang waktu untuk mencari pengertian atau definisi yang jelas  dari rasa rindu itu. Aku lebih senang bersikap seperti filsuf ganteng kesukaanmu nduk, Si Albert Camus, yang berpendapat bahwa sejauh manapun ilmu pengetahuan menjelaskan, kita tak akan pernah dapat memahami dunia secara keseluruhan. 

Ya, seperti Camus yang lebih memilih menikmati menikmati garis-garis bukit dan mentari senja yang menyentuh hati yang gelisah daripada memahaminya, aku pun lebih memilih untuk menikmati dedaunan yang berjatuhan itu. Sambil sesekali mengulang bagian lirik dari lagu Autumn Leaves yang paling ku suka:

“But I miss you most of all, my darling, when autumn leaves.. start to fall..”

Kamis, 21 Mei 2015

Let It Be Forgotten

Sorrowing Old Man ('At Eternity's Gate'), Vincent Van Gogh.



 *) Untuk sahabatku yang baik dan sedang galau, tapi juga sedang senang karena punya mainan baru pabrikan Jepang.. 

"Let it be forgotten, as a flower is forgotten,
Forgotten as a fire that once was singing gold.."

Sewaktu-waktu kenangan bisa datang seperti tamu yang tak diundang, lalu bersikap kurangajar; membawa kita kembali kepada waktu-waktu yang sesungguhnya kita sendiri enggan untuk jumpai kembali. Seperti yang terjadi pada teman sekaligus sahabatku malam ini. Yang menemukan kembali sebuah buku catatan pemberian dari seorang gadis, mantan gebetan yang ia kenal pada ketika masih menjadi mahasiswa baru. Yah, kalau dilihat fisiknya saja mungkin kita berpikir itu sekadar buku catatan biasa. Tapi toh, buku kecil itu ternyata mampu membuat temanku itu berkata bahwa ia sedang galau..

Kalau Dewi Lestari pernah bilang bahwa kenangan adalah hantu di sudut pikir, mungkin pada kasus yang terjadi pada temanku itu sang hantu terselip pada sela-sela kertas buku catatan itu. Yang sewaktu-waktu dapat menyergap, menghantui, dan mengobrak-abrik perasaan dari mereka yang kenal betul akan benda yang dirasuki itu; benda yang dianggap memiliki makna diluar kata penanda atau fungsinya. Buku catatan itu bukan sekadar kumpulan dari kertas-kertas bergaris yang dijilid, lebih dari itu padanya melekat suatu yang hidup.

Sesuatu yang hidup itu biasanya tidak datang dari dalam objek itu sendiri, tetapi ia merupakan yang tertinggal dari suatu subjek yang dianggap memiliki kaitan dengan si objek. Walaupun memang ada kemungkinan bahwa seorang dapat memiliki semacam ikatan batin" terhadap suatu benda yang tidak terkait dengan subjek selain orang itu sendiri; seperti halnya pada kaos band kesayangan, mobil yang kita kendarai sehari-hari atau benda printilan seperti tazos yang sewaktu kecil dulu sering kita mainkan. Ya, celakanya buku catatan yang ditemukan oleh sahabatku itu merupakan pemberian dari mantan gebetannya. Dan ketika ia menemukan buku itu kembali, ia sekaligus menemukan bekas-bekas dari cinta yang manis, namun sayangnya tidak sampai.

Agar tidak berlarut-larut dalam kenangan, kita harus menentukan sikap. Temanku bilang bahwa dikepalanya sedikit terlintas untuk membuang saja artefak dari cinta tak sampai itu, tapi tidak sampai hati katanya. Ketika dipikir-pikir kembali juga ternyata itu bukanlah tindakkan yang bijak untuk dilakukan dan terkesan terlalu berputus asa; sikap yang berpaling dari kenyataan. Rolly Anwari, kawanku juga, yang mirip dengan seniman Andy Warhol itu, dulu pernah menulis singkat di suatu post Line mengenai cara menyikapi masa lalu, ia menulis:  "Hormati masa lalu. Mau seberapa manis atau paitnya masa lalu, dia udah berjasa ngebentuk diri kita jadi kaya sekarang ... Masa lalu adalah bagian dari perjalanan hidup ... Hormatilah masa lalu." gitu katanya, Rolly memang anak yang baik dan suka pakai baju warna-warni.

Aku sendiri setuju dengan pendapat Rolly: hormati masa lalu. Tapi aku juga tidak mengingkari bahwa berdamai dengan masa lalu itu merupakan hal yang mudah. Karena, untuk berdamai dengan masa lalu yang kian terkenang itu berarti kita sama saja mesti berbesar hati untuk memaafkan luka yang terlanjur tertoreh begitu dalam dan mengikhlaskan kerinduan untuk tidak menemukan balasnya. Apalagi untuk kita yang masih muda, yang masih sulit berbijak hati dan belum tau banyak mengenai hidup tapi banyak mengoceh dan berandai-andai. Seperti diriku, temanku dan mungkin temanku yang satu lagi: Rolly.

Mungkin pada akhirnya kita mesti serahkan semuanya kepada sang waktu; yang seiring perjalanannya dapat membuat kita yang masih muda ini menjadi semakin tua dan benar-benar lupa, atau lebih baiknya, membuat kita lebih bijak dalam memahami setiap persoalan.

"Let it be forgotten for ever and ever,
Time is a kind friend, he will make us old.."

*) Puisi yang tercantum dalam tulisan ini merupakan bagian dari karya Sara Teasdale yang berjudul "Let It Be Forgotten", yang juga sekaligus menjadi judul tulisan ini.

Rabu, 15 April 2015

Dan Bandung



Dan Bandung bagiku bukan cuma, 
urusan wilayah belaka, 
lebih jauh dari itu melibatkan Perasaan, 
yang bersamaku ketika sunyi.

Saya memang punya hubungan yang sentimental dengan kota kelahiran saya, Bandung. Hal-hal kecil di dalamnya selalu saya maknai dengan perasaan. Ya, mungkin untuk beberapa orang berlebihan. Seperti halnya ketika saya rindu terhadap panorama itu, Tangkubanparahu dan Burangrang yang manis berdampingan di batas cakrawala Bandung Utara atau pada angin dinginnya yang sejuk membelai pipi ketika sepeda saya meluncur di jalanan Bandung sehabis hujan. Selalu ada saja hal-hal tak penting yang dapat dimaknai sebagai keindahan di Kota Bandung.

Dan tentu, bukan hanya soal kondisi geografisnya saja yang membuat saya merasa punya ikatan dengan Kota Bandung. Sebagai yang pernah menjalani hidup disana tentu ada hal yang lebih dari itu, yakni pengalaman. Potongan-potongan memori dari hari kemarin, baik yang manis maupun pahit. Semua kenangan itu memberikan warna dan rasa kepada saya pribadi ketika kembali pulang ke Kota Bandung; ketika melewati Jalan Braga yang dulu disusuri berdua, ketika kembali ke sekolah menengah atas tempat saya besar dan berulah bersama kawan, dan ketika tak sengaja melewati rumah teman-teman yang pernah menjadi tempat menginap sembari berbagi kesunyian bersama. Ya, kenakalan itu, romantisme itu, dan kesunyian itu.. semuanya membaur jadi kerinduan ketika sepi datang untuk saya yang kini tidak lagi setiap hari di Bandung.

Mungkin, Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum. Mungkin
(“Tuhan menciptakan tanah Priangan tatkala sedang tersenyum” - MAW Brouwer)


Saya kira saya tidak sendirian. Bandung sepertinya memang Kota yang memberikan kesan tersendiri kepada orang-orang yang pernah tinggal disana. ― maaf buat Bang Mimar, dosen saya di Jurnalisme, saya telah melakukan "dosa" dengan menggunakan frase "kesan tersendiri" tapi saya tidak tau lagi harus memilih kata apa untuk menunjukkan relasi Bandung dan orang yang tinggal disana. Ada orang bilang, Bandung adalah kota yang paling pas untuk jatuh cinta. Ya, saya sendiri setuju kepada orang yang berkata seperti itu dengan mengingat betapa banyaknya tempat "sederhana tapi indah" yang pas untuk dikunjungi untuk sekedar menghabiskan waktu berdua; warung pinggir jalan, kafe-kafe, perpustakaan, belum lagi sekarang dengan banyaknya taman kota sekarang. Juga dengan udara dinginnya yang menjadi perimbangan yang pas untuk kehangatan yang diciptakan pasangan romantis.

Bahkan, tak luput juga presiden pertama kita Ir. Soekarno terkena sihir oleh kota yang terletak di cekungan gunung sunda purba ini. Sang proklamator pernah berkata, ketika ia mendatangi kembali Kota Bandung yang dulu menjadi tempatnya menimba ilmu, bertemu istri pertamanya dan merintis pergerakan: "Aku kembali ke Bandung, kepada cintaku yang sesungguhnya.." begitu katanya. Mungkin benar apa yang Romo Brouwer bilang, bahwa Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum.

Mungkin saja ada tempat yang lainnya, 
ketika kuberada di sana, 
akan tetapi perasaanku sepenuhnya ada di Bandung, 
yang bersamaku ketika rindu, 
yang bersamaku ketika rindu..

Sekarang disinilah saya, di kota satelit ibukota. Meninggalkan Bandung dengan alasan menuntut ilmu, yang pada prakteknya lebih banyak bermalas-malasan. Beda kota, beda lingkungannya pula, dan saya mesti bisa menerima apa-apa yang ada disini tanpa banyak berdumel mengenai betapa aneh dan asingnya tempat yang saya tinggali kini. Sungguh berbeda dengan apa yang saya rasakan di Bandung. Tapi ya begitulah, pada akhirnya orang mesti bisa menerima, jalani saja. Toh kali-kali bisa pulang, toh nanti juga ada libur panjang, dan semua kerinduan itu akan terbayar tuntas. Ya, semoga.

Maka, biarkanlah perasaan itu tertinggal di Bandung, biarkan saja rindu itu selalu datang. Biar nanti ketika kita pulang, kerinduan itu bisa disambut dengan mesra dan kepulangan menjadi lebih bermakna.

*) Terimakasih buat surayah, lagunya bikin kangen sama Bandung.

Senin, 13 April 2015

Sakadang Kuya Dan Sakadang Monyet Curhat

Pada suatu hari yang tidak terik-terik amat dan sedikit berawan, Sakadang Kuya sedang duduk di bawah pohon jambu. Matanya terpaku kepada dedaunan yang gemerisik tertiup angin nun diatas ranting-ranting pohon. Ternyata dia lagi melamun. Pikirannya melayang-layang jauh ke atas, menembusi dedaunan itu dan awan-awan yang sedang berarakan. Di pikirannya yang sedang tinggi itu ada Sakadang Peucang, betina cantik yang tinggal di kampung sebelah. Konon katanya, kali ini Sakadang Kuya benar-benar jatuh hati kepada Sakadang Peucang..

"Heh Goblog..!!" Tiba tiba suara keras dari semak belukar memecah lamunan Sakadang Kuya.

"Heh, Si Anjing..!!" timpal Sakadang Kuya sambil sedikit kesal karena merasa terganggu.

"Har, ai kamu, aku mah da Monyet bukan Anjing." sahut Sakadang Monyet yang perlahan muncul dari lebatnya semak belukar.

"Euh da atuh kamunya ngeganggu aku. Udahlah, ada apa Nyet tiba-tiba kemari sambil ngegoblogin aku?" tanya Sakadang Kuya.

"Hayu atuh, kita main PS, di rumahnya si Alpin." ajak Sakadang Monyet

"Ah, ga mau akumah." kata Sakadang Kuya.

"Kenapa ai kamu malah gamau diajak main PS?" Sakadang Monyet heran terhadap jawaban Sakadang Kuya.

"Kamu mah bohong, si Alpin mah ga punya PS. Dia mah anak ITB, kerjaannya juga siang hari belajar, terus sore sampe ka malem dia rapat himpunan!" tegas Sakadang Kuya.

"He he he, kamu tau aja dee.." kata Sakadang Monyet sambil nyengir, di giginya terlihat begitu mencolok ada sepotong kulit cabe yang nyangkut.

"Malah ketawa.. Itu ai kamu, di gigi ada cabe" Sakadang Kuya mencoba memberitahu Sakadang Monyet

"Hehe, iyah aku tau. Tadi abis makan nasi padang." kata Sakadang Monyet

"Oooh, gitu.." kata Sakadang Kuya

Akhirnya, di bawah pohon jambu itu kini ada dua ekor makhluk yang berleha-leha: Sakadang Kuya dan Sakadang Monyet. Mereka berdua saja ngobrol ngalor ngidul, mulai dari obrolan tentang teori relativitas Einstein, buku-buku eksistensialis, ajaran majusi, sampai ke obrolan mengenai gambar porno yang kemarin disebar sama Sakadang Maung di tongkrongan anak-anak geng motor. Lalu, tiba-tiba angin sore hari dan matahari senja yang mulai turun di ufuk barat membawa suasana melankolis diantara mereka. Pada kesempatan yang syahdu seperti itu, langsung saja Sakadang Kuya membuka kartu..

"Nyet-Nyet.." kata Sakadang Kuya malu-malu.

"Apah?" timpal Sakadang Monyet.

"Kamu pernah jatuh cinta ga?" lanjut Sakadang Kuya

"Eh, ko nanya gitu sih? kamu suka yah sama aku?" kata Sakadang Monyet sambil sedikit tidak nyaman.

"Ih kamu mah suka kegeeran gitu. Bukan ai kamuu." Sakadang Kuya mencoba menjelaskan.

"Kenapa atuh? tumben kamu nanyain cinta-cintaan kaya gitu" Sakadang Monyet mulai penasaran..

"Aku teh kayanya lagi jatuh cinta siah. Percaya gak kamu?" kata Sakadang Kuya

"Ah, yang bener. Kamu mah terakhir pacaran juga iseng." Sakadang Monyet sedikit meragukan..

"Ya gak tau atuh, da aku juga gak tau jatuh cinta teh kaya gimana. Emang, sebenernya kaya gimana sih Nyet?" tanya Sakadang Kuya

"Ya... gimana yah. Susah atuh da dijelasin juga.." Sakadang Monyet kebingungan, seketika ia teringat sama mantannya: Sakadang Bajing yang sekarang sudah jadi model kotak sabun.

"Ko muka kamu jadi murung gitu sih, ga sukaa.." ujar Sakadang Kuya

"Engga, gapapah.. pulang yu ah udah mau malem." Sakadang Monyet pun berdiri dari tempat duduknya, ia terlihat hendak pergi dari bawah pohon jambu itu.

"Aku nginep atuh di rumah kamu?" Sakadang Kuya ternyata masih belum puas dengan curhatannya

"Tapi kamu nanti tidurnya di lantai atuh yah, aku kasih bantal deh." Sakadang Monyet memberi tawaran.

"Iyah atuh sok,," Sakadang Kuya menerima tawaran itu.

Akhirnya dua sekawan itu berjalan pulang berbarengan. Sakadang Monyet yang seharusnya bisa berlari cepat harus rela berjalan lambat-lambat karena langkah Sakadang Kuya yang pelan-pelan. "Gapapalah.." ujar Sakadang Monyet dalam hatinya "Jalan pelan-pelan bisa sambil nikmatin bintang..". Akhirnya, mereka sampai ke rumah Sakadang Monyet. Di ruang tamu ada Pak Monyet dan Bu Monyet, mereka berdua sun tangan. Sama Bu Monyet ditawarin makan bronis, tapi katanya Sakadang Kuya gak suka bronis. Yaudah, mereka berdua lalu bergegas masuk ke kamar Sakadang Monyet.

Kamar Sakadang Monyet ga begitu besar, tapi keitungnya pas buat ukuran kamar tidur. Di tembok belah kanan ada poster pemimpin revolsi kuba, Che Guevarra. Di tembok belah kirinya terbentang bendera yang warnanya dominan merah-biru, bukan bendera klub bola Barcelona, tapi bendera Korea Utara. Kasurnya cuma satu, tapi empuk, waktu masuk Sakadang Monyet langsung rebahan disana. Sakadang Kuya juga pengen rebahan, tapi sayang kasurnya terlalu kecil, yaudah akhirnya Sakadang Kuya mesti rela duduk bersila di lantai.

"Sok atuh, gimana?" kata Sakadang monyet

"Jadi, Nyet, aku teh lagi suka sama Sakadang Peucang. Itu loh, betina dari kampung sebelah yang sekolahnya di SD Inpres." Sakadang Kuya mulai bercerita..

"Serius? kamu teh yang bener ah. Masa orang kaya kamu ngeceng jelita kaya dia??" Sakadang Monyet mencoba memperingatkan.

"Ai kamu, emang kenapa gitu kalo aku ngeceng Sakadang Peucang?" Sakadang Kuya pun heran..

"Ya kamu teh nyadar atuh, yang deketin dia teh banyaak.. itu coba, siapah itu teh, anaknya Mang Kosim juragan peyeum juga ngedeketin dia ai kamu!" kata Sakadang Monyet

"Ooh, si Laleur? iyah sih, dia juga suka ngegodain dia aku liat teh. Tapi gimana atuh Nyet da aku teh udah terlanjur cinta sama dia.." ujar Sakadang Kuya sambil memasang muka memelas..

"Kamu teh atuh, jangan kehatean dulu kaya gitu.. nanti nyesel siah kalo ga jadi. Terus emang, kamu emang udah kenalan gitu sama si eta?" tanya Sakadang Monyet.

"Udah." jawab Sakadang Kuya.

"Terus?" Sakadang Monyet bertanya lagi.

"Ya gitu aja, kemarin ketemu di warung Bi Icih akunya ga di waro sih.." Sakadang Kuya pun menjadi sedih..

"Tuh kan.." kata Sakadang Monyet ketus

"Gimana atuh?" tanya Sakadang Kuya muskil..

"Nyerah aja atuh" Sakadang Monyet mencoba membujuk temannya.

"Masa nyerah, kata Si Oray cinta teh perjuangan?" Sakadang Kuya ternyata masih enggan menyerah.

"Gimana lagi atuh sok?" tanya Sakadang Monyet

"Iya sih, bener juga.." kata Sakadang Kuya dengan nada lesu, seperti orang kehilangan harapan.

"Iya udah, udahan aja.." timpal Sakadang Monyet dengan nada merendah

"Hmm masih bingung aku teh. Terus, ai kamu tadi kenapa mukanya tiba-tiba murung Nyet?" tanya Sakadang Kuya sambil mencoba mengganti topik

"Inget mantan.." kini gantian Sakadang Monyet yang menjadi lesu

"Har, mantan kamu? Sakadang Bajing yang sekarang jadi model kotak sabun??" tanya Sakadang Kuya penasaran

"Iyah, sieta, kaduhung* dulu aku putusin.." lanjut Sakadang Monyet lesu. (Kaduhung : Nyesel)

"Kenapa malah kaduhung gitu ai kamu?" tanya Sakadang Kuya

"Sebenernya masih sayang.." jawab Sakadang Monyet

"Yah.. kenapa atuh malah putus?" Sakadang Kuya mencoba bertanya lebih dalam

"Ya gitulah" jawab Sakadang Monyet enggan.

"Kenapa ih?" Sakadang Kuya mendesak

"Gitu deh, selingkuh.." kata Sakadang Monyet

"Kamunya apa dianya?" tanya Sakadang Kuya lagi

"Dianya, sama Sakadang Entog reman Pasar Andir.." jawab Sakadang Monyet, yang sebenarnya enggan mengenang.

"Oh gitu.." ucap Sakadang Kuya

"Iya, gitu." timpal Sakadang Monyet

"Nasib yah Nyet kita teh?" tanya Sakadang Kuya

"Udah ah gausah dibahas, tidur aja.." kata Sakadang Monyet beranjak dari kasur menuju saklar, mematikan lampu kamarnya.

"Euh kamu mah.." Sakadang Kuya kecewa

"Dah, aku mau tidur. Besok ada tanding futsal sama gengnya Si Landak.." Sakadang Monyet kembali ke kasurnya, tidurnya menyamping memunggungi muka Sakadang Kuya..

Malam itu kemudian sepi, Sakadang Kuya tidak bisa tidur. Dia pandangi langit-langit kosong yang kini bergambar wajah Sakadang Peucang, pujaan hatinya. Diam-diam dia masih sedikit berharap, walau harapannya itu sangatlah kecil. Sakadang Kuya tidak tahu betul apa yang mesti dia lakukan, semalaman ia terpaku saja pada langit-langit sambil membayangkan hal-hal indah yang mungkin bisa ia lakukan kalau Sakadang Peucang bisa menjadi kekasihnya, dadanya menjadi terasa hangat, entah oleh apa.

Namun di sela-sela lamunan yang memabukkan itu, Sakadang Kuya mendengar sebersit suara. Suara yang terisak-isak, namun pelan. Suara itu berasal dari atas kasur tempat temannya berbaring. Oh, itu suara Sakadang Monyet kata Sakadang Kuya dalam hati menyimpulan. Sakadang Kuya jadi terbayang, apa dulu Sakadang Monyet merasakan rasa hangat yang ada di dalam dadanya kini? Ya, mungkin. Kemudian ia bertanya lagi, akankah Sakadang Kuya sendiri nanti akan berakhir seperti Sakadang Monyet yang terisak pelan di malam yang sunyi karena kegagalan cinta? Ya, mungkin.

"Semuanya mungkin, semuanya mungkin.." pikir Sakadang Kuya.

Dan akhirnya, malam itu jadi malam yang sentimentil bagi Sakadang Kuya. Sampai akhirnya pagi datang, Si Landak nyampeur ke rumah Sakadang Monyet untuk mengajak mereka futsal. Tapi Sakadang Kuya tidak ikut, ia ngantuk karena semalaman terjaga..