Kamis, 03 April 2014

Socrates #1

The Death of Socrates, karya Jacques-Louis David

Sekarang minggu UTS, dan masih ada seminggu lagi. Hal yang menyebalkan dari UTS adalah sempitnya waktu buat cari pengetahuan diluar bahan UTS. Kaya si Arish sama Bayu, yang kesulitan buat nyelesain Dunia Sophie sama Sherlock Holmes karena ada take home MMI sama sit-in MPKT B di hari Jum'at. Waktu sekian banyak itu bakal kemakan sama bahan-bahan dari Pak Koen, Amartya Sen, dan LSPB-LSPB dari Scele sehingga minim kesempatan untuk lari ke bacaan yang lain, yang lebih menyenangkan mungkin. Tapi kesempatan ga cuma datang karena kebetulan atau pemberian deng, bisa juga dibuat. Lagian saya kan alumni belitung timur, yang punya filosofi akademik kalau UTS adalah Ujian Teu Serius (teu=tidak), jadi rilek ajalah dulu kita cari-cari info tentang Socrates yang tadi sempat diomongin di depan fotokopian penjara.

Siapa Socrates? Seumur hidup saya, saya tau dua orang yang punya nama Socrates. Yang satu dari Yunani, dan satu lagi dari negeri tuan rumah Piala Dunia 2014: Brazil. Socrates yang dari Yunani itu kerjaannya nggembel di jalanan Kota Athena berfilsafat sama orang-orang yang dia temuin, sementara yang dari Brazil itu kapten tim nasional sepakbola Brazil di World Cup 1982, sebuah tim yang dipecaya sebagai salah satu tim terbaik yang pernah terbentuk di muka bumi. Jadi kedua orang yang bernama Socrates ini memang jelas beda, tapi duaduanya punya kesamaan: sama-sama keren. Dan pada kesempatan ini saya mau ngomongin Socrates yang dari Yunani dulu setelah tadi entah kenapa di depan fotokopian penjara banyak ngobrol tentang filsafat sama Bayu dan Arish.

Wikipedia bilang :  
 "Socrates (Yunani: Σωκράτης, Sǒcratēs) (469 SM - 399 SM) adalah filsuf dari Athena, lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Semasa hidupnya, Socrates tidak pernah meninggalkan karya tulisan apapun sehingga sumber utama mengenai pemikiran Socrates berasal dari tulisan muridnya, Plato." 
Salah satu dari tulisan Plato tentang Socrates adalah The Apology, yang katanya juga ditulis oleh Xenophon. Tulisan ini berisi tentang dialog Socrates sewaktu dia digugat oleh sekelompok orang dan dihakimi di Athena, yang pada akhirnya berujung dengan hukuman mati buat Socrates dengan cara meminum racun hemlock. Di pengadilan ini, Socrates dituduh sebagai orang yang "pembuka pintu menuju kejahatan, meracuni kaum muda, dan tidak percaya kepada dewa-dewa.", diantaranya orang-orang yang menuduh Socrates adalah Meletus, Anytus dan Lycon.

Sebenarnya tuduhan itu datang dari kebiasaan Socrates yang mungkin bisa dibilang unik buat waktu itu, mungkin juga buat sekarang. Kalau mengutip ke buku lucunya Osborne, Socrates itu suka berpakaian lusuh, kaki telanjang, dan senang menghabiskan dirinya berdebat di pasar. Ia sangat menaruh perhatian terhadap moralitas, terhadap upaya menemukan yang adil, benar, dan baik. Bisa dibilang, dia salah satu filsuf pertama yang bicara tentang etika. Dan upaya untuk menemukan yang adil, benar, dan baik itu dia lakukan dengan metode dialektik, yang sering juga disebut metode bidan kebenaran, sebuah metode tanya-jawab dalam pembicaraan untuk menemukan jawaban yang paling benar atau mendasar. Jadi Socrates yang satu ini masuk dalam kategori manusia kepo, senangnya ngobrol dan nanya-nanya, bahkan menganggap dirinya sebagai "lalat pengganggu" bagi manusia-manusia yang malas.

Kegiatan kepo ini sebenarnya ada sebab-musababnya. Kita kayanya udah ga jarang denger ungkapan Socrates kalau yang dirinya tahu adalah bahwa dirinya tidak tahu apapun, dan itulah bentuk dari kebijaksanaan. Socrates memiliki sebuah pandangan kalau kebijaksanaan adalah sikap rendah hati yang selalu berproses untuk terus mencari suatu yang baik dan benar. Pandangan ini gak begitu aja dateng ke Socrates, ada ceritanya.

Jadi ceritanya Socrates punya teman, namanya Chaerephon, yang pergi bertanya ke Oracle Delphi:
"...You must have known Chaerephon; he was early a friend of mine, and also a friend of yours...Well, Chaerephon, as you know, was very impetuous in all his doings, and he went to Delphi and boldly asked the oracle to tell him whether he asked the oracle to tell him whether there was anyone wiser than I was, and the Pythian prophetess answered that there was no man wiser..." ―Socrates, dalam Plato, The Apology.
Jadi Socrates mendengar kalau dialah manusia yang paling bijak, dia juga sebenarnya bingung denger berita dari Delphi tersebut:
"I know that I have no wisdom, small or great. What can he mean when he says that I am the wisest of men?"―ibid.
Nah, dari kebingungannya itu dia jadi kepo, dia datangi orang-orang yang dia anggap lebih bijaksana dari dirinya dan menggunakan metode pembidanan tadi untuk mengetahui apakah sebenarnya yang diketahui dari orang-orang yang terlihat bijaksana tersebut. Hasilnya adalah, dia hanya menemukan kalau orang-orang tersebut hanya sok bijak dan sok tahu, karena ketika Socrates memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menguji pengetahuan orang-orang bijak tersebut, mereka tidak bisa menjawabnya. Dan akhirnya kegiatan Socrates tersebut jadi buah simalakama tersendiri, orang-orang yang menganggap dirinya bijak itu sakit hati dan membenci Socrates.
"When I began to talk with him, I could not help thinking that he was not really wise, although he was thought wise by many, and wiser still by himself; and I went and tried to explain to him that he thought himself wise, but was not really wise; and the consequence was that he hated me...So I left him, saying to myself, as I went away: Well, although I do not suppose that either of us knows anything really beautiful and good, I am better off than he is - for he knows nothing, and thinks that he knows. I neither know nor think that I know."―ibid.
Begitulah Socrates menyimpulkan kebijaksanaannya yang berarti merendah hati kalau ia tidak mengetahui apapun, dan tidak sok tahu tentang suatu pun. Sehingga muncul keinginan untuk selalu mencari pengetahuan lewat dialog-dialog bersama orang-orang yang ditemui. Ia berusaha mencari jawaban terbaik dari dialog-dialog dengan cara menanggapi suatu pernyataan dengan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap pernyataan tersebut. Yang akhirnya jawaban terbaik itu dapat ditarik secara logis.

Dari dialog-dialog yang dilakukan Socrates muncul pengetahuan-pengetahuan baru di masyarakat Athena, yang tak jarang bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah lama ada di Kota tersebut. Selain itu sikap kritis Socrates seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya banyak menimbulkan rasa sakit hati terhadap orang-orang yang awalnya dipandang bijak namun dijungkirbalikkan oleh sikap Socrates. Karena itulah pada suatu hari gugatan dilayangkan kepada Socrates, dan Socrates pun di hakimi di pengadilan Athena.

Di pengadilan itu Socrates tidak merasa ada kesalahan akan apa yang ia laluinya. Ia bilang, ia hanya melakukan tugas yang diberikan oleh para Dewa, lewat pesan yang ia terima dari Oracle Delphi, bahwa ia adalah manusia yang paling bijaksana dan berusaha membawa warga Athena kepada kebijaksanaan tersebut lewat metode pembidanannya. Dimana lawan dialog mendapatkan kebenaran dari jawaban yang diformulasikannya sendiri dari pertanyaan Socrates, bukan lewat pengajaran dalam artian pengetahuan itu diberikan secara langsung dari Socrates. Dan sebenarnya warga Athena pun toh senang terhadap dialog-dialog yang dilakukan Socrates, dan ada juga orang-orang yang pernah berdialog dengannya tapi tidak merasa dirugikan karena dialog tersebut, ya si Plato contohnya.
"But I shall be asked, "Why do people delight in continually conversing with you?" I have told you already, Athenians, the whole truth about this: they like to hear the cross-examination of the pretenders to wisdom; there is amusement in this. And this is a duty which the God has imposed upon me, as I am assured by oracles, visions, and in every sort of way in which the will of divine power was ever signified to anyone."―ibid.
Namun, akhirnya Socrates tetap dinyatakan bersalah lewat voting yang diadakan dalam pengadilan tersebut. Tidak jelas berapa lawan berapa, namun dicatat dalam The Apology kalau Socrates kalah 30 suara, yang bisa dihitung kalah sedikit dari pemenang voting. Dan muncullah usulan kalau Socrates harus dihukum mati,

"And so he proposes death as the penalty. And what shall I propose on my part, O men of Athens?...I believe that I should have convinced you; but now the time is too short. I cannot in a moment refute great slanders; and, as I am convinced that I never wronged another, I will assuredly not wrong myself. I will not say of myself that I deserve any evil, or propose any penalty."―ibid.
Socrates merasa bahwa dia bisa saja meyakinkan kembali para juri disana, tapi waktu yang tak tersedia tidak cukup untuk menghilangkan fitnah besar terhadap dirinya. Tapi ia masih tetap pada pendiriannya kalau dirinya tak bersalah, maka ia tidak mau mengajukan usulan banding terhadap hukuman matinya tersebut. Memang dia membicarakan juga tentang hukuman seperti penjara plus dendanya, atau hukuman pengasingan. Tapi ia berpendapat bahwa dipenjara sama saja menjadi budak hakim, dan jika ia diasingkan tetap saja ia akan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan di Athena ketika ia sampai di tempat pengasingannya. Seain itu ia juga berpendapat bahwa mengajukan banding sama saja dengan mengakui bahwa dirinya bersalah dan ia lebih takut terhadap kematian daripada berpaling dari kebenaran. Sehingga dengan tegas ia menerima hukuman mati..

"The difficulty, my friends, is not in avoiding death, but in avoiding unrighteousness.."―ibid.
Dan palu pun diketuk, Socrates dihukum mati dengan meminum racun hemlock. Menurut Wikipedia, Kematian Socrates dalam ketidakadilan peradilan menjadi salah satu peristiwa peradilan paling bersejarah dalam masyarakat Barat di samping peradilan Yesus Kristus. Kematian Socrates memang dramatis, mati demi sesuatu yang ia yakini benar, seolah kebenaran lebih berharga daripada hidup sendiri. Selain itu, saya juga bisa melihat kalau kematian Socrates pun menjadi tamparan tersendiri dalam sistem voting pada peradilan Athena yang menganut demokrasi tersebut. Seolah tidak ada kebijaksanaan disana, dan Socrates memilih untuk mati demi menunjukkan adanya ketidakbijaksanaan tersebut. Mungkin ia memang sengaja bertindak sebagai martir untuk memancing kita untuk lebih dalam bertanya.. Seberapa besar nilai suatu kebenaran?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar