Rabu, 10 Juni 2015

Kabar Buat Si Nduk : Dari Bawah Pohon


Nduk,

Seperti biasanya, selepas ngampus aku memilih untuk menghabiskan waktuku di taman lingkar depan perpustakaan, dibawah tiga batang pohon yang rindang. Ya, di kota yang untukku tidak nyaman ini ―karena panas, debu, dan orang-orangnya yang kurasai asing― bernaung dibawah teduhnya pohon kiranya bisa menjadi pilihan untuk merasa tenang. Setidaknya sampai waktu senja datang.

Menunggu senja dibawah rimbunan pohon sebenarnya sudah jadi kebiasaanku sedari dulu nduk. Tepatnya itu dimulai ketika waktu aku masih jadi siswa sekolah menengah atas, di taman yang terletak tepat disebelah sekolah. Bedanya, dulu ku tunggu senja itu sambil bercengkrama, bercanda, dan tertawa dengan kawan-kawanku sepulang sekolah. Namun kini, aku tinggal sendirian; bersama pikiranku dan bersamamu nduk, yang ada di dalam pikiranku.

Oh iya, nduk, ada satu pengalaman yang bisa kita saksikan ketika kita sengaja mencari teduh pada pepohonan. Pengalaman yang biasa saja sebenarnya, tapi entah kenapa, itu selalu jadi bahan perhatianku. Coba perhatikan olehmu nduk, alihkan pandangmu sedikit keatas. Selembar demi selembar dedaunan itu berjatuhan lepas dari tangkainya, sejenak melayang-layang, lalu kemudian jatuh; diterpa sepoinya angin. 

Kurasa seperti itulah memang kebiasaan sebuah pohon, nduk: menciptakan kuncup, membiarkannya tumbuh menjadi daun, lalu membiarkannya lepas diterpa angin ketika sudah pada waktunya. Seperti kita juga bukan, yang sering menumbuhkan harapan, namun pada akhirnya pada suatu ketika kenyataan berbicara, memaksa kita rela untuk melepasnya.

Ya, memang, pengalaman yang biasa saja dan jarang diperhatikan kadang dapat dimaknai lebih oleh orang kurang kerjaan seperti kita. Orang-orang yang menyempatkan waktu untuk memperhatikan hal remeh-temeh. Memang, katanya kegiatan kurang kerjaan itu banyak dilakukan oleh para filsuf dan seniman. Tak jarang darisana lahir karya-karya besar. Tapi apalah kita kan nduk? Bukan seniman hebat juga kan kita. Seniman juga malah bukan. 

Tapi kamu pernah tau tentang lagu berjudul “Les Feuilles Mortes” nduk? Katanya karangan penyair perancis. Lagu itu menjadi populer ketika digubah oleh penulis lagu amerika, Johnny Mercer, yang menjadikannya sebuah lagu yang mungkin bapak dan ibu kita kenal dengan baik, dinyanyikan oleh penyanyi kulit hitam bernama Nat King Cole. Iya, judulnya yang itu: Autumn Leaves.

Iya, nduk, lagu itu mengambil metafora dari dedaunan dan dari angin sepoi itu. Berkisah tentang seorang yang memandangi musim gugur dari balik jendela, sambil merindukan pasangannya yang tidak dijelaskan kemana perginya.

Momen kerinduan disana disandingkan dengan pengalaman menyaksikan gugurnya daun-daun menjelang musim dingin. Lebih tragis lagi jika dilihat dari judul bahasa perancisnya: ketika daun-daun itu mati. Terkesan darinya ada suatu keharuan akan hilangnya sesuatu yang pernah menyatu dengan diri, yang digambarkan dengan hubungan antara keseluruhan pohon dan dedaunan yang sebelumnya merupakan kesatuan. 

Oleh karena itu, dengan lepasnya hubungan tersebut, ada semacam rasa keterpisahan, yang ada ―atau mestinya ada― kini telah tiada. Kemudian, dari dalam diri yang menyaksikan, memaknai momen tersebut, dan mengaitkannya kepada pengalaman pribadinya, terdapat semacam tuntutan agar yang hilang itu untuk kembali pulang. Tapi memang terkadang kita tak bisa berbuat banyak, seperti tokoh pada lagu itu; hanya bisa meratap dari balik jendela.

Seperti itukah memang rasa rindu itu, nduk? Mungkin. Aku sendiri tidak mau membuang waktu untuk mencari pengertian atau definisi yang jelas  dari rasa rindu itu. Aku lebih senang bersikap seperti filsuf ganteng kesukaanmu nduk, Si Albert Camus, yang berpendapat bahwa sejauh manapun ilmu pengetahuan menjelaskan, kita tak akan pernah dapat memahami dunia secara keseluruhan. 

Ya, seperti Camus yang lebih memilih menikmati menikmati garis-garis bukit dan mentari senja yang menyentuh hati yang gelisah daripada memahaminya, aku pun lebih memilih untuk menikmati dedaunan yang berjatuhan itu. Sambil sesekali mengulang bagian lirik dari lagu Autumn Leaves yang paling ku suka:

“But I miss you most of all, my darling, when autumn leaves.. start to fall..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar