Nduk,
Seperti biasanya, selepas ngampus aku memilih untuk menghabiskan
waktuku di taman lingkar depan perpustakaan, dibawah tiga batang pohon yang
rindang. Ya, di kota yang untukku tidak nyaman ini ―karena panas, debu, dan
orang-orangnya yang kurasai asing― bernaung dibawah teduhnya pohon kiranya bisa
menjadi pilihan untuk merasa tenang. Setidaknya sampai waktu senja datang.
Menunggu senja dibawah rimbunan pohon sebenarnya sudah jadi
kebiasaanku sedari dulu nduk. Tepatnya itu dimulai ketika waktu aku masih jadi
siswa sekolah menengah atas, di taman yang terletak tepat disebelah sekolah. Bedanya,
dulu ku tunggu senja itu sambil bercengkrama, bercanda, dan tertawa dengan kawan-kawanku
sepulang sekolah. Namun kini, aku tinggal sendirian; bersama pikiranku dan
bersamamu nduk, yang ada di dalam pikiranku.
Oh iya, nduk, ada satu pengalaman yang bisa kita saksikan ketika
kita sengaja mencari teduh pada pepohonan. Pengalaman yang biasa saja
sebenarnya, tapi entah kenapa, itu selalu jadi bahan perhatianku. Coba
perhatikan olehmu nduk, alihkan pandangmu sedikit keatas. Selembar demi
selembar dedaunan itu berjatuhan lepas dari tangkainya, sejenak melayang-layang,
lalu kemudian jatuh; diterpa sepoinya angin.
Kurasa seperti itulah memang kebiasaan sebuah pohon, nduk:
menciptakan kuncup, membiarkannya tumbuh menjadi daun, lalu membiarkannya lepas
diterpa angin ketika sudah pada waktunya. Seperti kita juga bukan, yang sering menumbuhkan
harapan, namun pada akhirnya pada suatu ketika kenyataan berbicara, memaksa
kita rela untuk melepasnya.
Ya, memang, pengalaman yang biasa saja dan jarang
diperhatikan kadang dapat dimaknai lebih oleh orang kurang kerjaan seperti
kita. Orang-orang yang menyempatkan waktu untuk memperhatikan hal remeh-temeh.
Memang, katanya kegiatan kurang kerjaan itu banyak dilakukan oleh para filsuf
dan seniman. Tak jarang darisana lahir karya-karya besar. Tapi apalah kita kan
nduk? Bukan seniman hebat juga kan kita. Seniman juga malah bukan.
Tapi kamu pernah tau tentang lagu berjudul “Les Feuilles Mortes” nduk? Katanya
karangan penyair perancis. Lagu itu menjadi populer ketika digubah oleh penulis lagu
amerika, Johnny Mercer, yang menjadikannya sebuah lagu yang mungkin bapak dan ibu kita kenal dengan
baik, dinyanyikan oleh penyanyi kulit hitam bernama Nat King Cole. Iya,
judulnya yang itu: Autumn Leaves.
Iya, nduk, lagu itu mengambil metafora dari dedaunan dan
dari angin sepoi itu. Berkisah tentang seorang yang memandangi musim gugur dari
balik jendela, sambil merindukan pasangannya yang tidak dijelaskan kemana
perginya.
Momen kerinduan disana disandingkan dengan pengalaman
menyaksikan gugurnya daun-daun menjelang musim dingin. Lebih tragis lagi jika
dilihat dari judul bahasa perancisnya: ketika daun-daun itu mati. Terkesan
darinya ada suatu keharuan akan hilangnya sesuatu yang pernah menyatu dengan
diri, yang digambarkan dengan hubungan antara keseluruhan pohon dan dedaunan
yang sebelumnya merupakan kesatuan.
Oleh karena itu, dengan lepasnya hubungan tersebut, ada semacam
rasa keterpisahan, yang ada ―atau mestinya ada― kini telah tiada. Kemudian,
dari dalam diri yang menyaksikan, memaknai momen tersebut, dan mengaitkannya
kepada pengalaman pribadinya, terdapat semacam tuntutan agar yang hilang itu
untuk kembali pulang. Tapi memang terkadang kita tak bisa berbuat banyak,
seperti tokoh pada lagu itu; hanya bisa meratap dari balik jendela.
Seperti itukah memang rasa
rindu itu, nduk? Mungkin. Aku sendiri tidak mau membuang waktu untuk mencari
pengertian atau definisi yang jelas dari
rasa rindu itu. Aku lebih senang bersikap seperti filsuf ganteng kesukaanmu nduk,
Si Albert Camus, yang berpendapat bahwa sejauh manapun ilmu pengetahuan
menjelaskan, kita tak akan pernah dapat memahami dunia secara keseluruhan.
Ya, seperti Camus yang lebih memilih menikmati menikmati
garis-garis bukit dan mentari senja yang menyentuh hati yang gelisah daripada
memahaminya, aku pun lebih memilih untuk menikmati dedaunan yang berjatuhan
itu. Sambil sesekali mengulang bagian lirik dari lagu Autumn Leaves yang paling
ku suka:
“But I miss you most
of all, my darling, when autumn leaves.. start to fall..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar