Jumat, 12 Juni 2015

Kabar Buat Si Nduk : Tentang Gunung




Nduk,

Siang ini aku melihat sekumpulan mahasiswa membawa tas carrier ke kampus. Paling kecil dari tas mereka mungkin volumenya 50 Liter. Tasnya berwarna-warni, macam-macam nduk; ada yang merah, ungu, hitam, abu-abu, biru juga ada. Semuanya diisi penuh. Ketika dikenakan dibahu, bahkan ada yang tinggi tasnya melebihi tinggi kepala orang berdiri. Sepertinya mereka mau bepergian jauh nduk.

Ternyata memang benar: mereka mau naik Gunung. Mau mendaki Merbabu katanya. Iya nduk, tak asing kiranya buatmu nama itu. Merbabu memang terletak tidak jauh dari tempatmu tinggal, berdiri bersampingan dengan Merapi yang kerap aktif. menghias batas cakrawala di kotamu.

Suka kamu nduk, memandangi panorama Merbabu dan Merapi dari jendela rumah? atau bagaimana dengan dari atas genting? Aku sendiri suka memandangi panorama Burangrang dan Tangkubanperahu di kota kesayanganku Bandung. Bahkan, aku suka menjadikan mereka sebagai semacam pertanda cuaca. 

Jikalau suatu pagi Burangrang dan Tangkubanperahu terlihat jelas di ufuk bagian utara, maka aku anggap hari itu Bandung akan cerah. Sedangkan, kalau yang terjadi sebaliknya, maka siap-siaplah terkurung mendung dan hujan di Bandung. Ya, mungkin itu semacam caraku bermain dengan mereka; memberikan mereka peran sebagai “alat ramal”. Tapi dari kesenanganku bermain  dan menikmati panorama kedua gunung itu, entah kenapa terasa semacam ikatan. Aku kerap rindu pada pemandangan itu.

Aneh ya nduk, kangen kok sama gunung tho? Mending juga sama kamu. Mungkin itu disebabkan juga oleh kesenanganku beraktifitas di gunung. Apalagi ketika SMA dulu, ketika aku sedang senang-senangnya naik gunung. Tempat dengan derajat meter diatas permukaan laut yang tinggi memang dulu jadi pilihan favorit untukku berlibur dan juga bolos sekolah, hehe.

Ya, mungkin secara bodo-bodoan ―dan tidak orisinil juga sebenarnya― aku mau bilang: semakin sering kita berinteraksi dengan satu hal, maka dapat terjalin suatu ikatan yang erat antara kita dengan hal itu. Kamu kemarin baru ikut tes tulis masuk perguruan tinggi negeri bukan nduk, coba lihat buku geografimu pada bagian klasifikasi iklim. Disana ada yang namanya klasifikasi iklim menurut Junghuhn kan ya? Setahuku, si Junghuhn ini salah satu orang yang punya ikatan erat dengan gunung.

Franz Wilhellm Junghuhn itu wong Jerman nduk, sekarang sudah meninggal dan dimakamkan di sekitar Jayagiri, kaki gunung Tangkubanperahu. Dia itu seorang botanis, yang datang ke Indonesia (Hindia-Belanda waktu itu) pada musim panas 1835 karena direkomendasikan untuk mengambil pekerjaan dokter medis. 

Namun entah bagaimana, pada akhirnya si Junghuhn ini malah mempelajari tanah Jawa dan berpetualang mendaki dari gunung ke gunung.  Bahkan katanya dialah orang pertama yang berani masuk begitu dalam ke hutan Gunung Patuha lalu menemukan tempat yang kini disebut Kawah Putih. Kita bisa mengetahui beberapa gunung yang pernah disambanginya lewat peninggalan lukisan yang ia buat, seperti Gunung Gede, Merapi, Sumbing, dan Guntur.

Dari perjalanan-perjalanan itu, timbul suatu kecintaan dari Junghuhn terhadap tanah jawa dan gunungnya. Kecintaannya pada gunung diabadikan kedalam puisi yang berjudul “Salamku Untuk Gunung-Gunung”. Dan tahukah kamu nduk, apa permintaan terakhir Junghuhn sebelum ia meninggal? Sederhana saja nduk, ia meminta untuk dibukakan jendela dan kemudian berkata: “Aku ingin berpamitan dengan gunung-gunung dan hutan-hutanku tercinta” setidaknya itu yang diingat dr. Groneman, sahabat Junghuhn yang menemani saat terakhirnya.

Jika ditanya, sebenarnya apa sih yang gunung berikan kepada mereka yang mencintainya? Aku sendiri mungkin tidak bisa memberikan penjelasan yang memuaskan nduk. Mungkin aku hanya akan berpendapat sebatas bahwa ia memberikan suasana yang tepat bagi para pencari kesunyian sepertiku. Tapi bagi yang lain mungkin ada alasan-alasan lain.

Seperti Soe Hok Gie, yang menganggap bahwa gunung adalah tempat yang baik untuk membentuk karakter seseorang. Dalam buku hariannya yang diterbitkan itu ia pernah mengutip larik dari sajak “Song Of The Open Road” karya penyair Amerika, Walt Whitman, yang berbunyi: 

“Now I see the secret of the making of the best persons, It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth.”

Ya, menarik bukan nduk, katanya orang-orang hebat dapat diciptakan di alam terbuka. Gunung adalah salah satu bentuknya. Selain itu, Gie juga pernah menuliskan pendapatnya sendiri mengenai “alasan” kenapa ia naik gunung:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami … Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

Menurut Gie, gunung juga merupakan tempat bersemainya rasa nasionalisme dalam diri seseorang. Mengenali gunung, adalah mengenali bumi Indonesia. Dengan mengenal bumi tersebut lebih dalam melalui kegiatan naik gunung, diharapkan cinta terhadap bumi yang dipijaknya itu tumbuh. Begitulah singkatnya nduk.

Tapi nduk, apakah kamu percaya bahwa kegiatan naik gunung memang dapat melahirkan pribadi-pribadi unggul dan memiliki jiwa kebangsaan yang kuat? Aku sih, percaya ―sedikit. 

Kamu lihat tidak nduk, di media-media sosial sekarang makin banyak orang update tentang perjalanan mereka berpetualang dari gunung ke gunung? Iya, keren ya mereka. Mungkin itu pertanda bahwa di negeri kita akan semakin banyak muncul pribadi-pribadi unggul dan cinta terhadap negara nduk; sebuah harapan cerah di negeri yang kian hari makin banyak masalahnya.

Eh tapi ngomong-ngomong nduk, katanya di Ranu Kumbolo sampahnya menggunung sampai 1,5 ton ya?

Rabu, 10 Juni 2015

Kabar Buat Si Nduk : Dari Bawah Pohon


Nduk,

Seperti biasanya, selepas ngampus aku memilih untuk menghabiskan waktuku di taman lingkar depan perpustakaan, dibawah tiga batang pohon yang rindang. Ya, di kota yang untukku tidak nyaman ini ―karena panas, debu, dan orang-orangnya yang kurasai asing― bernaung dibawah teduhnya pohon kiranya bisa menjadi pilihan untuk merasa tenang. Setidaknya sampai waktu senja datang.

Menunggu senja dibawah rimbunan pohon sebenarnya sudah jadi kebiasaanku sedari dulu nduk. Tepatnya itu dimulai ketika waktu aku masih jadi siswa sekolah menengah atas, di taman yang terletak tepat disebelah sekolah. Bedanya, dulu ku tunggu senja itu sambil bercengkrama, bercanda, dan tertawa dengan kawan-kawanku sepulang sekolah. Namun kini, aku tinggal sendirian; bersama pikiranku dan bersamamu nduk, yang ada di dalam pikiranku.

Oh iya, nduk, ada satu pengalaman yang bisa kita saksikan ketika kita sengaja mencari teduh pada pepohonan. Pengalaman yang biasa saja sebenarnya, tapi entah kenapa, itu selalu jadi bahan perhatianku. Coba perhatikan olehmu nduk, alihkan pandangmu sedikit keatas. Selembar demi selembar dedaunan itu berjatuhan lepas dari tangkainya, sejenak melayang-layang, lalu kemudian jatuh; diterpa sepoinya angin. 

Kurasa seperti itulah memang kebiasaan sebuah pohon, nduk: menciptakan kuncup, membiarkannya tumbuh menjadi daun, lalu membiarkannya lepas diterpa angin ketika sudah pada waktunya. Seperti kita juga bukan, yang sering menumbuhkan harapan, namun pada akhirnya pada suatu ketika kenyataan berbicara, memaksa kita rela untuk melepasnya.

Ya, memang, pengalaman yang biasa saja dan jarang diperhatikan kadang dapat dimaknai lebih oleh orang kurang kerjaan seperti kita. Orang-orang yang menyempatkan waktu untuk memperhatikan hal remeh-temeh. Memang, katanya kegiatan kurang kerjaan itu banyak dilakukan oleh para filsuf dan seniman. Tak jarang darisana lahir karya-karya besar. Tapi apalah kita kan nduk? Bukan seniman hebat juga kan kita. Seniman juga malah bukan. 

Tapi kamu pernah tau tentang lagu berjudul “Les Feuilles Mortes” nduk? Katanya karangan penyair perancis. Lagu itu menjadi populer ketika digubah oleh penulis lagu amerika, Johnny Mercer, yang menjadikannya sebuah lagu yang mungkin bapak dan ibu kita kenal dengan baik, dinyanyikan oleh penyanyi kulit hitam bernama Nat King Cole. Iya, judulnya yang itu: Autumn Leaves.

Iya, nduk, lagu itu mengambil metafora dari dedaunan dan dari angin sepoi itu. Berkisah tentang seorang yang memandangi musim gugur dari balik jendela, sambil merindukan pasangannya yang tidak dijelaskan kemana perginya.

Momen kerinduan disana disandingkan dengan pengalaman menyaksikan gugurnya daun-daun menjelang musim dingin. Lebih tragis lagi jika dilihat dari judul bahasa perancisnya: ketika daun-daun itu mati. Terkesan darinya ada suatu keharuan akan hilangnya sesuatu yang pernah menyatu dengan diri, yang digambarkan dengan hubungan antara keseluruhan pohon dan dedaunan yang sebelumnya merupakan kesatuan. 

Oleh karena itu, dengan lepasnya hubungan tersebut, ada semacam rasa keterpisahan, yang ada ―atau mestinya ada― kini telah tiada. Kemudian, dari dalam diri yang menyaksikan, memaknai momen tersebut, dan mengaitkannya kepada pengalaman pribadinya, terdapat semacam tuntutan agar yang hilang itu untuk kembali pulang. Tapi memang terkadang kita tak bisa berbuat banyak, seperti tokoh pada lagu itu; hanya bisa meratap dari balik jendela.

Seperti itukah memang rasa rindu itu, nduk? Mungkin. Aku sendiri tidak mau membuang waktu untuk mencari pengertian atau definisi yang jelas  dari rasa rindu itu. Aku lebih senang bersikap seperti filsuf ganteng kesukaanmu nduk, Si Albert Camus, yang berpendapat bahwa sejauh manapun ilmu pengetahuan menjelaskan, kita tak akan pernah dapat memahami dunia secara keseluruhan. 

Ya, seperti Camus yang lebih memilih menikmati menikmati garis-garis bukit dan mentari senja yang menyentuh hati yang gelisah daripada memahaminya, aku pun lebih memilih untuk menikmati dedaunan yang berjatuhan itu. Sambil sesekali mengulang bagian lirik dari lagu Autumn Leaves yang paling ku suka:

“But I miss you most of all, my darling, when autumn leaves.. start to fall..”

Kamis, 21 Mei 2015

Let It Be Forgotten

Sorrowing Old Man ('At Eternity's Gate'), Vincent Van Gogh.



 *) Untuk sahabatku yang baik dan sedang galau, tapi juga sedang senang karena punya mainan baru pabrikan Jepang.. 

"Let it be forgotten, as a flower is forgotten,
Forgotten as a fire that once was singing gold.."

Sewaktu-waktu kenangan bisa datang seperti tamu yang tak diundang, lalu bersikap kurangajar; membawa kita kembali kepada waktu-waktu yang sesungguhnya kita sendiri enggan untuk jumpai kembali. Seperti yang terjadi pada teman sekaligus sahabatku malam ini. Yang menemukan kembali sebuah buku catatan pemberian dari seorang gadis, mantan gebetan yang ia kenal pada ketika masih menjadi mahasiswa baru. Yah, kalau dilihat fisiknya saja mungkin kita berpikir itu sekadar buku catatan biasa. Tapi toh, buku kecil itu ternyata mampu membuat temanku itu berkata bahwa ia sedang galau..

Kalau Dewi Lestari pernah bilang bahwa kenangan adalah hantu di sudut pikir, mungkin pada kasus yang terjadi pada temanku itu sang hantu terselip pada sela-sela kertas buku catatan itu. Yang sewaktu-waktu dapat menyergap, menghantui, dan mengobrak-abrik perasaan dari mereka yang kenal betul akan benda yang dirasuki itu; benda yang dianggap memiliki makna diluar kata penanda atau fungsinya. Buku catatan itu bukan sekadar kumpulan dari kertas-kertas bergaris yang dijilid, lebih dari itu padanya melekat suatu yang hidup.

Sesuatu yang hidup itu biasanya tidak datang dari dalam objek itu sendiri, tetapi ia merupakan yang tertinggal dari suatu subjek yang dianggap memiliki kaitan dengan si objek. Walaupun memang ada kemungkinan bahwa seorang dapat memiliki semacam ikatan batin" terhadap suatu benda yang tidak terkait dengan subjek selain orang itu sendiri; seperti halnya pada kaos band kesayangan, mobil yang kita kendarai sehari-hari atau benda printilan seperti tazos yang sewaktu kecil dulu sering kita mainkan. Ya, celakanya buku catatan yang ditemukan oleh sahabatku itu merupakan pemberian dari mantan gebetannya. Dan ketika ia menemukan buku itu kembali, ia sekaligus menemukan bekas-bekas dari cinta yang manis, namun sayangnya tidak sampai.

Agar tidak berlarut-larut dalam kenangan, kita harus menentukan sikap. Temanku bilang bahwa dikepalanya sedikit terlintas untuk membuang saja artefak dari cinta tak sampai itu, tapi tidak sampai hati katanya. Ketika dipikir-pikir kembali juga ternyata itu bukanlah tindakkan yang bijak untuk dilakukan dan terkesan terlalu berputus asa; sikap yang berpaling dari kenyataan. Rolly Anwari, kawanku juga, yang mirip dengan seniman Andy Warhol itu, dulu pernah menulis singkat di suatu post Line mengenai cara menyikapi masa lalu, ia menulis:  "Hormati masa lalu. Mau seberapa manis atau paitnya masa lalu, dia udah berjasa ngebentuk diri kita jadi kaya sekarang ... Masa lalu adalah bagian dari perjalanan hidup ... Hormatilah masa lalu." gitu katanya, Rolly memang anak yang baik dan suka pakai baju warna-warni.

Aku sendiri setuju dengan pendapat Rolly: hormati masa lalu. Tapi aku juga tidak mengingkari bahwa berdamai dengan masa lalu itu merupakan hal yang mudah. Karena, untuk berdamai dengan masa lalu yang kian terkenang itu berarti kita sama saja mesti berbesar hati untuk memaafkan luka yang terlanjur tertoreh begitu dalam dan mengikhlaskan kerinduan untuk tidak menemukan balasnya. Apalagi untuk kita yang masih muda, yang masih sulit berbijak hati dan belum tau banyak mengenai hidup tapi banyak mengoceh dan berandai-andai. Seperti diriku, temanku dan mungkin temanku yang satu lagi: Rolly.

Mungkin pada akhirnya kita mesti serahkan semuanya kepada sang waktu; yang seiring perjalanannya dapat membuat kita yang masih muda ini menjadi semakin tua dan benar-benar lupa, atau lebih baiknya, membuat kita lebih bijak dalam memahami setiap persoalan.

"Let it be forgotten for ever and ever,
Time is a kind friend, he will make us old.."

*) Puisi yang tercantum dalam tulisan ini merupakan bagian dari karya Sara Teasdale yang berjudul "Let It Be Forgotten", yang juga sekaligus menjadi judul tulisan ini.

Rabu, 15 April 2015

Dan Bandung



Dan Bandung bagiku bukan cuma, 
urusan wilayah belaka, 
lebih jauh dari itu melibatkan Perasaan, 
yang bersamaku ketika sunyi.

Saya memang punya hubungan yang sentimental dengan kota kelahiran saya, Bandung. Hal-hal kecil di dalamnya selalu saya maknai dengan perasaan. Ya, mungkin untuk beberapa orang berlebihan. Seperti halnya ketika saya rindu terhadap panorama itu, Tangkubanparahu dan Burangrang yang manis berdampingan di batas cakrawala Bandung Utara atau pada angin dinginnya yang sejuk membelai pipi ketika sepeda saya meluncur di jalanan Bandung sehabis hujan. Selalu ada saja hal-hal tak penting yang dapat dimaknai sebagai keindahan di Kota Bandung.

Dan tentu, bukan hanya soal kondisi geografisnya saja yang membuat saya merasa punya ikatan dengan Kota Bandung. Sebagai yang pernah menjalani hidup disana tentu ada hal yang lebih dari itu, yakni pengalaman. Potongan-potongan memori dari hari kemarin, baik yang manis maupun pahit. Semua kenangan itu memberikan warna dan rasa kepada saya pribadi ketika kembali pulang ke Kota Bandung; ketika melewati Jalan Braga yang dulu disusuri berdua, ketika kembali ke sekolah menengah atas tempat saya besar dan berulah bersama kawan, dan ketika tak sengaja melewati rumah teman-teman yang pernah menjadi tempat menginap sembari berbagi kesunyian bersama. Ya, kenakalan itu, romantisme itu, dan kesunyian itu.. semuanya membaur jadi kerinduan ketika sepi datang untuk saya yang kini tidak lagi setiap hari di Bandung.

Mungkin, Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum. Mungkin
(“Tuhan menciptakan tanah Priangan tatkala sedang tersenyum” - MAW Brouwer)


Saya kira saya tidak sendirian. Bandung sepertinya memang Kota yang memberikan kesan tersendiri kepada orang-orang yang pernah tinggal disana. ― maaf buat Bang Mimar, dosen saya di Jurnalisme, saya telah melakukan "dosa" dengan menggunakan frase "kesan tersendiri" tapi saya tidak tau lagi harus memilih kata apa untuk menunjukkan relasi Bandung dan orang yang tinggal disana. Ada orang bilang, Bandung adalah kota yang paling pas untuk jatuh cinta. Ya, saya sendiri setuju kepada orang yang berkata seperti itu dengan mengingat betapa banyaknya tempat "sederhana tapi indah" yang pas untuk dikunjungi untuk sekedar menghabiskan waktu berdua; warung pinggir jalan, kafe-kafe, perpustakaan, belum lagi sekarang dengan banyaknya taman kota sekarang. Juga dengan udara dinginnya yang menjadi perimbangan yang pas untuk kehangatan yang diciptakan pasangan romantis.

Bahkan, tak luput juga presiden pertama kita Ir. Soekarno terkena sihir oleh kota yang terletak di cekungan gunung sunda purba ini. Sang proklamator pernah berkata, ketika ia mendatangi kembali Kota Bandung yang dulu menjadi tempatnya menimba ilmu, bertemu istri pertamanya dan merintis pergerakan: "Aku kembali ke Bandung, kepada cintaku yang sesungguhnya.." begitu katanya. Mungkin benar apa yang Romo Brouwer bilang, bahwa Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum.

Mungkin saja ada tempat yang lainnya, 
ketika kuberada di sana, 
akan tetapi perasaanku sepenuhnya ada di Bandung, 
yang bersamaku ketika rindu, 
yang bersamaku ketika rindu..

Sekarang disinilah saya, di kota satelit ibukota. Meninggalkan Bandung dengan alasan menuntut ilmu, yang pada prakteknya lebih banyak bermalas-malasan. Beda kota, beda lingkungannya pula, dan saya mesti bisa menerima apa-apa yang ada disini tanpa banyak berdumel mengenai betapa aneh dan asingnya tempat yang saya tinggali kini. Sungguh berbeda dengan apa yang saya rasakan di Bandung. Tapi ya begitulah, pada akhirnya orang mesti bisa menerima, jalani saja. Toh kali-kali bisa pulang, toh nanti juga ada libur panjang, dan semua kerinduan itu akan terbayar tuntas. Ya, semoga.

Maka, biarkanlah perasaan itu tertinggal di Bandung, biarkan saja rindu itu selalu datang. Biar nanti ketika kita pulang, kerinduan itu bisa disambut dengan mesra dan kepulangan menjadi lebih bermakna.

*) Terimakasih buat surayah, lagunya bikin kangen sama Bandung.

Senin, 13 April 2015

Sakadang Kuya Dan Sakadang Monyet Curhat

Pada suatu hari yang tidak terik-terik amat dan sedikit berawan, Sakadang Kuya sedang duduk di bawah pohon jambu. Matanya terpaku kepada dedaunan yang gemerisik tertiup angin nun diatas ranting-ranting pohon. Ternyata dia lagi melamun. Pikirannya melayang-layang jauh ke atas, menembusi dedaunan itu dan awan-awan yang sedang berarakan. Di pikirannya yang sedang tinggi itu ada Sakadang Peucang, betina cantik yang tinggal di kampung sebelah. Konon katanya, kali ini Sakadang Kuya benar-benar jatuh hati kepada Sakadang Peucang..

"Heh Goblog..!!" Tiba tiba suara keras dari semak belukar memecah lamunan Sakadang Kuya.

"Heh, Si Anjing..!!" timpal Sakadang Kuya sambil sedikit kesal karena merasa terganggu.

"Har, ai kamu, aku mah da Monyet bukan Anjing." sahut Sakadang Monyet yang perlahan muncul dari lebatnya semak belukar.

"Euh da atuh kamunya ngeganggu aku. Udahlah, ada apa Nyet tiba-tiba kemari sambil ngegoblogin aku?" tanya Sakadang Kuya.

"Hayu atuh, kita main PS, di rumahnya si Alpin." ajak Sakadang Monyet

"Ah, ga mau akumah." kata Sakadang Kuya.

"Kenapa ai kamu malah gamau diajak main PS?" Sakadang Monyet heran terhadap jawaban Sakadang Kuya.

"Kamu mah bohong, si Alpin mah ga punya PS. Dia mah anak ITB, kerjaannya juga siang hari belajar, terus sore sampe ka malem dia rapat himpunan!" tegas Sakadang Kuya.

"He he he, kamu tau aja dee.." kata Sakadang Monyet sambil nyengir, di giginya terlihat begitu mencolok ada sepotong kulit cabe yang nyangkut.

"Malah ketawa.. Itu ai kamu, di gigi ada cabe" Sakadang Kuya mencoba memberitahu Sakadang Monyet

"Hehe, iyah aku tau. Tadi abis makan nasi padang." kata Sakadang Monyet

"Oooh, gitu.." kata Sakadang Kuya

Akhirnya, di bawah pohon jambu itu kini ada dua ekor makhluk yang berleha-leha: Sakadang Kuya dan Sakadang Monyet. Mereka berdua saja ngobrol ngalor ngidul, mulai dari obrolan tentang teori relativitas Einstein, buku-buku eksistensialis, ajaran majusi, sampai ke obrolan mengenai gambar porno yang kemarin disebar sama Sakadang Maung di tongkrongan anak-anak geng motor. Lalu, tiba-tiba angin sore hari dan matahari senja yang mulai turun di ufuk barat membawa suasana melankolis diantara mereka. Pada kesempatan yang syahdu seperti itu, langsung saja Sakadang Kuya membuka kartu..

"Nyet-Nyet.." kata Sakadang Kuya malu-malu.

"Apah?" timpal Sakadang Monyet.

"Kamu pernah jatuh cinta ga?" lanjut Sakadang Kuya

"Eh, ko nanya gitu sih? kamu suka yah sama aku?" kata Sakadang Monyet sambil sedikit tidak nyaman.

"Ih kamu mah suka kegeeran gitu. Bukan ai kamuu." Sakadang Kuya mencoba menjelaskan.

"Kenapa atuh? tumben kamu nanyain cinta-cintaan kaya gitu" Sakadang Monyet mulai penasaran..

"Aku teh kayanya lagi jatuh cinta siah. Percaya gak kamu?" kata Sakadang Kuya

"Ah, yang bener. Kamu mah terakhir pacaran juga iseng." Sakadang Monyet sedikit meragukan..

"Ya gak tau atuh, da aku juga gak tau jatuh cinta teh kaya gimana. Emang, sebenernya kaya gimana sih Nyet?" tanya Sakadang Kuya

"Ya... gimana yah. Susah atuh da dijelasin juga.." Sakadang Monyet kebingungan, seketika ia teringat sama mantannya: Sakadang Bajing yang sekarang sudah jadi model kotak sabun.

"Ko muka kamu jadi murung gitu sih, ga sukaa.." ujar Sakadang Kuya

"Engga, gapapah.. pulang yu ah udah mau malem." Sakadang Monyet pun berdiri dari tempat duduknya, ia terlihat hendak pergi dari bawah pohon jambu itu.

"Aku nginep atuh di rumah kamu?" Sakadang Kuya ternyata masih belum puas dengan curhatannya

"Tapi kamu nanti tidurnya di lantai atuh yah, aku kasih bantal deh." Sakadang Monyet memberi tawaran.

"Iyah atuh sok,," Sakadang Kuya menerima tawaran itu.

Akhirnya dua sekawan itu berjalan pulang berbarengan. Sakadang Monyet yang seharusnya bisa berlari cepat harus rela berjalan lambat-lambat karena langkah Sakadang Kuya yang pelan-pelan. "Gapapalah.." ujar Sakadang Monyet dalam hatinya "Jalan pelan-pelan bisa sambil nikmatin bintang..". Akhirnya, mereka sampai ke rumah Sakadang Monyet. Di ruang tamu ada Pak Monyet dan Bu Monyet, mereka berdua sun tangan. Sama Bu Monyet ditawarin makan bronis, tapi katanya Sakadang Kuya gak suka bronis. Yaudah, mereka berdua lalu bergegas masuk ke kamar Sakadang Monyet.

Kamar Sakadang Monyet ga begitu besar, tapi keitungnya pas buat ukuran kamar tidur. Di tembok belah kanan ada poster pemimpin revolsi kuba, Che Guevarra. Di tembok belah kirinya terbentang bendera yang warnanya dominan merah-biru, bukan bendera klub bola Barcelona, tapi bendera Korea Utara. Kasurnya cuma satu, tapi empuk, waktu masuk Sakadang Monyet langsung rebahan disana. Sakadang Kuya juga pengen rebahan, tapi sayang kasurnya terlalu kecil, yaudah akhirnya Sakadang Kuya mesti rela duduk bersila di lantai.

"Sok atuh, gimana?" kata Sakadang monyet

"Jadi, Nyet, aku teh lagi suka sama Sakadang Peucang. Itu loh, betina dari kampung sebelah yang sekolahnya di SD Inpres." Sakadang Kuya mulai bercerita..

"Serius? kamu teh yang bener ah. Masa orang kaya kamu ngeceng jelita kaya dia??" Sakadang Monyet mencoba memperingatkan.

"Ai kamu, emang kenapa gitu kalo aku ngeceng Sakadang Peucang?" Sakadang Kuya pun heran..

"Ya kamu teh nyadar atuh, yang deketin dia teh banyaak.. itu coba, siapah itu teh, anaknya Mang Kosim juragan peyeum juga ngedeketin dia ai kamu!" kata Sakadang Monyet

"Ooh, si Laleur? iyah sih, dia juga suka ngegodain dia aku liat teh. Tapi gimana atuh Nyet da aku teh udah terlanjur cinta sama dia.." ujar Sakadang Kuya sambil memasang muka memelas..

"Kamu teh atuh, jangan kehatean dulu kaya gitu.. nanti nyesel siah kalo ga jadi. Terus emang, kamu emang udah kenalan gitu sama si eta?" tanya Sakadang Monyet.

"Udah." jawab Sakadang Kuya.

"Terus?" Sakadang Monyet bertanya lagi.

"Ya gitu aja, kemarin ketemu di warung Bi Icih akunya ga di waro sih.." Sakadang Kuya pun menjadi sedih..

"Tuh kan.." kata Sakadang Monyet ketus

"Gimana atuh?" tanya Sakadang Kuya muskil..

"Nyerah aja atuh" Sakadang Monyet mencoba membujuk temannya.

"Masa nyerah, kata Si Oray cinta teh perjuangan?" Sakadang Kuya ternyata masih enggan menyerah.

"Gimana lagi atuh sok?" tanya Sakadang Monyet

"Iya sih, bener juga.." kata Sakadang Kuya dengan nada lesu, seperti orang kehilangan harapan.

"Iya udah, udahan aja.." timpal Sakadang Monyet dengan nada merendah

"Hmm masih bingung aku teh. Terus, ai kamu tadi kenapa mukanya tiba-tiba murung Nyet?" tanya Sakadang Kuya sambil mencoba mengganti topik

"Inget mantan.." kini gantian Sakadang Monyet yang menjadi lesu

"Har, mantan kamu? Sakadang Bajing yang sekarang jadi model kotak sabun??" tanya Sakadang Kuya penasaran

"Iyah, sieta, kaduhung* dulu aku putusin.." lanjut Sakadang Monyet lesu. (Kaduhung : Nyesel)

"Kenapa malah kaduhung gitu ai kamu?" tanya Sakadang Kuya

"Sebenernya masih sayang.." jawab Sakadang Monyet

"Yah.. kenapa atuh malah putus?" Sakadang Kuya mencoba bertanya lebih dalam

"Ya gitulah" jawab Sakadang Monyet enggan.

"Kenapa ih?" Sakadang Kuya mendesak

"Gitu deh, selingkuh.." kata Sakadang Monyet

"Kamunya apa dianya?" tanya Sakadang Kuya lagi

"Dianya, sama Sakadang Entog reman Pasar Andir.." jawab Sakadang Monyet, yang sebenarnya enggan mengenang.

"Oh gitu.." ucap Sakadang Kuya

"Iya, gitu." timpal Sakadang Monyet

"Nasib yah Nyet kita teh?" tanya Sakadang Kuya

"Udah ah gausah dibahas, tidur aja.." kata Sakadang Monyet beranjak dari kasur menuju saklar, mematikan lampu kamarnya.

"Euh kamu mah.." Sakadang Kuya kecewa

"Dah, aku mau tidur. Besok ada tanding futsal sama gengnya Si Landak.." Sakadang Monyet kembali ke kasurnya, tidurnya menyamping memunggungi muka Sakadang Kuya..

Malam itu kemudian sepi, Sakadang Kuya tidak bisa tidur. Dia pandangi langit-langit kosong yang kini bergambar wajah Sakadang Peucang, pujaan hatinya. Diam-diam dia masih sedikit berharap, walau harapannya itu sangatlah kecil. Sakadang Kuya tidak tahu betul apa yang mesti dia lakukan, semalaman ia terpaku saja pada langit-langit sambil membayangkan hal-hal indah yang mungkin bisa ia lakukan kalau Sakadang Peucang bisa menjadi kekasihnya, dadanya menjadi terasa hangat, entah oleh apa.

Namun di sela-sela lamunan yang memabukkan itu, Sakadang Kuya mendengar sebersit suara. Suara yang terisak-isak, namun pelan. Suara itu berasal dari atas kasur tempat temannya berbaring. Oh, itu suara Sakadang Monyet kata Sakadang Kuya dalam hati menyimpulan. Sakadang Kuya jadi terbayang, apa dulu Sakadang Monyet merasakan rasa hangat yang ada di dalam dadanya kini? Ya, mungkin. Kemudian ia bertanya lagi, akankah Sakadang Kuya sendiri nanti akan berakhir seperti Sakadang Monyet yang terisak pelan di malam yang sunyi karena kegagalan cinta? Ya, mungkin.

"Semuanya mungkin, semuanya mungkin.." pikir Sakadang Kuya.

Dan akhirnya, malam itu jadi malam yang sentimentil bagi Sakadang Kuya. Sampai akhirnya pagi datang, Si Landak nyampeur ke rumah Sakadang Monyet untuk mengajak mereka futsal. Tapi Sakadang Kuya tidak ikut, ia ngantuk karena semalaman terjaga..

Minggu, 14 Desember 2014

Yellow Submarine: Warna Warni dan Melayangnya Iskandar Agung

Suatu pagi ―saya lupa tepatnya pada tanggal berapa― sebangun tidur seperti biasanya saya langsung memeriksa layanan chat Line. Ternyata ada pesan masuk dari kawan satu divisi saya dulu di PKSR Rancang Bangun (PKSR RB), Iskandar Agung. Isi pesannya menarik, tapi membingungkan. Begini kira-kira yang Iskandar bilang di jendela chat waktu itu:

"Jul, aing akhirnya ngerti maksud film Yellow Submarine. Jadi itu teh maksudnya tentang sebenernya ga ada warna yang salah..."  (Sebenarnya masih lebih panjang, tapi karena saya sendiri ga paham lanjutannya. Mari kita fokus ke pesan yang satu ini)

Membaca chat dari si Iskandar itu saya cuma nyengir, dan berpikir bahwa malam ketika Iskandar kirim pesan itu ia sedang "melayang" sambil nonton film Yellow Submarine. Firasat saya ternyata benar, tak lama setelah saya balas pesan tersebut dengan tawa dan bertanya kenapa tiba-tiba bicara Yellow Submarine, Iskandar minta maaf karena pesan tersebut dia kirim waktu "melayang".

Pertama kali saya nonton film Yellow Submarine adalah waktu SMA kira-kira waktu kelas XI awal, tahun 2011 akhir. Waktu itu saya nonton lewat Youtube, dan tidak mencermati sampai kepada makna film tersebut. Ketika itu saya hanya coba memahami alurnya, menikmati musiknya, dan mencoba mencari inspirasi dari aspek visual film tersebut yang mungkin dapat di adaptasi kedalam bentuk dekorasi yang biasa saya kerjakan di ekskul biru donker.

Yellow Submarine, sumber: http://thekey.xpn.org



Kini, 3 tahun lewat, saya coba kembali tonton film karya The Beatles dan George Dunning tersebut. Tidak ada maksud khusus sebenarnya, hanya mencoba melepas penat setelah buat paper untuk ujian akhir semester matakuliah Pengantar Jurnalisme. Sekalian juga, mencoba memahami pesan yang dikirim si Iskandar Agung ketika melayang beberapa hari ke belakang.

Film yang di rilis pada tahun 1968 ini bercerita tentang suatu tempat yang bertempat 80.000 liga dibawah laut, Pepperland. Narator di awal film mendeskripsikan Pepperland sebagai sebuah "unearthly-paradise" yang digambarkan secara visual sebagai tempat yang warna-warni, bergapura pelangi, dan menggunakan kata LOVE sebagai pesan selamat datangnya. Ya, kehidupan di Pepperland memang berwarna dan penuh cinta. Musik juga merupakan hal yang sangat penting di surga bawah laut itu, penduduk Pepperland mendapatkan energinya dari musik yang dimainkan oleh sebuah kelompok band bernama "Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band."

Namun, canda-ria riang-tawa di Pepperland ternyata tidak berlangsung lama. Seperti kisah klasik The Legend of Aang, semuanya berubah ketika sekelompok makhluk biru bernama "Blue Meanies" menyerang. Kehidupan Pepperland dibuat porak-poranda oleh senjata dan serangan-serangan dari Blue Meanies. Pepperland yang asalnya warna-warni, berubah menjadi kelabu. Warna yang tersisa hanyalah warna biru sebagai atribut para Blue Meanies. Tapi ternyata, tidak semua penduduk Pepperland dibuat menjadi kelabu dan seolah mematung. Seorang tua, bernama Fred (kadang disebut Young Fred/Old Fred) melarikan diri dari Pepperland menggunakan sebuah kapal selam berwarna kuning. Itulah Yellow Submarine. Bersama Yellow Submarine Fred pergi ke Liverpool untuk meminta bantuan dari The Beatles, dengan maksud agar menghidupkan kembali kehidupan di Pepperland lewat musik yang mereka bawakan.

Dengan mencermati kembali hubungan antara Pepperland dan serangan dari para Blue Meanies, akhirnya saya bisa menangkap apa yang sebenarnya Iskandar Agung coba katakan kepada saya. Pesan yang ia kirim dalam keadaan "melayang" itu ternyata tidak ngawang ketika di crosscheck ulang.

Saya kira benar, di film Yellow Submarine unsur warna sebagai simbol merupakan hal yang penting. Di pelatihan dasar PKSR RB dulu, senior saya dan si Iskandar mengajari kepada kami bahwa divisi tempat kami bernaung, Divisi Warna, memiliki tugas untuk memberikan identitas kepada sebuah dekoran. Tiap warna memiliki kesannya sendiri, seperti merah untuk berani, kuning untuk ceria, dan putih untuk suci. Melalui warna kita bisa mencoba untuk paham apa yang pembuat film coba untuk sampaikan kepada audiens. Melalui warna, kita bisa memahami "Identitas" apa yang dilekatkan kepada suatu teks.

Walikota Pepperland Bermain Musik, sumber: photobucket

 Pepperland, beserta seluruh isinya digambarkan dengan sangat berwarna. Secara kasar, kita bisa bilang warnanya nabrak-nabrak. Warna merah tiba-tiba ketemu biru muda, warna hijau dihajar warna pink. Namun ada kesamaan diantara semua warna yang nabrak tersebut. Warna-warna yang di pilih adalah warna cerah. Dari pemilihan warna untuk Pepperland saya melihat sebuah kesan, bahwa Pepperland merupakan tempat yang diisi oleh berbagai macam orang, berbagai macam ide, berbagai macam sifat dan mereka sadar, mereka tidak dapat melebur menjadi susunan warna yang analogous (analogous dalam harmonisasi warna berarti bersandingnya warna senada, contoh: oranye-kuning kemerahan-kuning.) tetapi dari keberagaman tersebut mereka dapat hidup bersama membangun sebuah dunia yang penuh "cinta". Pada intinya, dengan penggunaan warna secara beragam pembuat film ingin menunjukkan adanya keanekaragaman dalam kehidupan di Pepperland.

Blue Meanies, sumber: fartoonsblog.blogspot.com

 Blue Meanies sendiri dari segi pewarnaannya secara relatif lebih menggunakan warna biru secara analogous. Mereka adalah sebuah kaum yang memiliki persamaan secara identitas, disimbolkan oleh identitas warna biru pada tiap-tiap anggota kelompoknya. Warna biru sendiri sering dikaitkan dengan ekspresi kesedihan. Sebutlah lagu "Pretend" karya Nat King Cole, liriknya yang berbunyi "Pretend you're happy when you're blue.." mengajak kita berpura-pura senang untuk membuang kesedihan atau tentang bagaimana sejarah doraemon, kucing robot yang seharusnya berwarna kuning berubah warnanya menjadi biru, kuningnya luntur setalah ia menangis karena kupingnya rusak digigit oleh seekor tikus. Dari sana, kita bisa menyimpulkan bahwa Blue Meanies bersama warna birunya menyimbolkan sebuah kaum yang mencoba menyebarkan kesedihan kepada seantero Pepperland.

Lewat adegan penyerangan Blue Meanies terhadap Pepperland, saya menangkap bahwa sang produser ingin menyampaikan kepada kita bahwa ditengah kehidupan, yang berisi berbagai macam manusia dan kebudayaan, sering terdapat upaya-upaya penyatuan. Penyatuan di tengah keberagaman mungkin punya maksud baik, yaitu solidaritas. Namun sejarah pun banyak bercerita pada akhirnya penyatuan sering menjadi keuntungan yang hanya untuk pihak-pihak dominan, baik secara kekuatan fisik maupun ide. Kebenaran yang ada pun seringkali disandarkan kepada ide-ide kaum yang mendominasi. Ide yang tidak sejalan dengan golongan, akan di nilai salah. Mungkin, itulah mengapa dalam film Yellow Submarine ketika Blue Meanies berkuasa ia membuat warna-warna lain menjadi kelabu. Disana Blue Meanies membuat sebuah dominasi, membiarkan warna yang "hidup" tinggal warna biru. Warna identitas miliknya.

Mungkin itulah, apa yang Iskandar maksud dengan "Tidak ada warna yang salah", saya mengartikannya menjadi "Keberagaman bukan suatu hal yang mesti disalahkan". Ya, memang jika berkaca di Indonesia sendiri keberagaman sering menjadi awal dari sebuah konflik dan bahkan, di tingkat para terpelajar pun perbedaan pemahaman dan ideologi yang dipegang seringkali jadi bahan pertengkaran. Keberagaman dalam suatu kelompok akan memberikan potensi perpecahan, ikatan di dalam kelompok-kelompok kecil bisa jadi lebih kuat dan saling bergesekan satu sama lainnya.

Tapi konflik, pertengkaran, perpecahan, sebenarnya bisa di hindari. Di tengah pertikaian, kita sering lupa bahwa diluar identitas yang di buat (bahasa anak UI: dikonstruksi) toh kita adalah manusia biasa. Tak bisakah kita menaruh perhatian sejenak untuk belajar memahami sesama?

Mari kita mulai dengan mencoba tetlebih dahulu memahami nyanyian John Lennon ketika menyelamatkan Pepperland di film Yellow Submarine, John bilang:

"All you need is Love, Love, Love is all you need.."

Dinihari, 15 Desember 2014, ditengah kejaran deadline UAS Takehome Pengantar Kajian Media.

Rabu, 29 Oktober 2014

Pasar Malam

Sabtu kemarin, tanggal 25 Oktober 2014, saya bertemu dengan Alvin dan dua kawan lain dari Planologi ITB (Plano) di Kota Jakarta. Pertemuan di hari itu sebenarnya tak ada maksud dan tujuan formal apapun, hanya sekedar main, terutama bagi mereka anak-anak Planologi ITB yang sedang dapat kesempatan libur bebas dari kegiatan Ospek Jurusan (OSJUR).

Hari itu yang kami banyak lakukan hanya berbincang dan berputar-putar saja di pusat kota; mengamati Jakarta yang selalu memberikan kesan sebagai kota yang sarat dengan optimisme pemikiran modern. Mengamati hutan-hutan beton yang dibangun untuk mencakar rahang-rahang langit; tempat dimana orang mencoba menggapai kaki-kaki mimpinya yang tergantung pada langit-langit harapan. Sebelum mungkin, pada akhirnya dikecewakan. Ya, selalu ada perasaan-perasaan asing yang terkadang menimbulkan kesan kagum sekaligus ngeri ketika saya memandangi pemandangan Kota Jakarta.

Sampai akhirnya senja datang dan mentari tenggelam, kami harus kembali ke Stasiun Gambir. Alvin dan Nisa mesti mengejar kereta ke Bandung pada pukul 19:50. Mobil pun di gas menuju stasiun besar tersebut. Ketika itu kami sampai di Gambir pada pukul 19:00, dan seperti biasa tabiat Alvin sebagai turis kumat, ia ingin membawa sesuatu dari Jakarta untuk dibawa pulang ke Bandung, ia ingin gantungan kunci monas katanya. Akhirnya, dari parkiran mobil Gambir pun kami putuskan untuk masuk ke area Monumen Nasional untuk mencari gantungan kunci yang Alvin inginkan.

Bertepatan dengan waktu malam minggu, ternyata di sekitar monas sedang digelar semacam pasar malam, lengkap dengan tukang jualan dan badut-badut kostumnya. Perasaan yang berbeda muncul ketika saya memasuki dan berjalan melewati pasar malam tersebut. Tidak seperti sebelumnya, kini saya merasakan suatu suasana yang lebih akrab. Suatu pertemuan dengan kawan lama yang berapa kurun tak jumpa. Kaki-kaki lima itu, tawar menawar itu, dan cahaya-cahaya neon yang tidak tertata itu. Hiruk-pikuk pasar malam itu benar-benar menenggelamkan saya kepada ingatan-ingatan yang telah lama tersimpan dan jarang saya buka. Bahkan, ia mengembalikan saya kepada memori-memori termuda saya.

Sebagai seorang bocah yang tinggal di pinggiran Kota Bandung, saya sering di hibur oleh yang namanya pasar malam. Agak berbeda mungkin dengan yang di monas, pasar malam yang dulu menghibur saya selain penuh dengan pedagang, disana juga banyak berbagai wahana bermain. Seperti karosel, rumah hantu, kincir putar, tong setan, dan entah apalagi. Pasar malam dulu sering diadakan di lapangan parkir depan Pasar Induk Caringin, yang letaknya mungkin hanya beberapa ratus meter dari rumah nenek saya dan 1 km dari rumah buyut saya, tempat waktu itu saya tinggal. Saya ingat ketika itu, pasar malam di pasar induk selalu menjadi hal yang diiming-imingkan oleh orangtua dan kakek-nenek saya agar saya berperilaku baik. Kalau saya berbuat hal-hal jelek, mereka tidak akan mengajak saya kesana dan saya akan ditinggal di rumah sendirian. Tentu sebagai anak kecil berumur 2-3 tahun dulu saya menurut saja dan membayangkan betapa asyiknya jika saya dibawa ke pasar malam. Dari potongan-potongan kenangan mengenai pasar malam itu, yang paling bisa saya ingat hanyalah ketika saya menaiki wahana kincir, bersama ayah saya.

Semakin saya bertumbuh, pun kehidupan saya ternyata tidak jauh-jauh amat dari pasar malam. Ayah saya bekerja pada suatu Event Organizer, biasa menyediakan jasa di sektor pemerintahan untuk membuat sebuah pameran yang membantu promosi usaha-usaha kecil dan menengah. Karena itu, tak jarang pameran-pameran tersebut diadakan di daerah-daerah dan kota kecil seperti Tasikmalaya, Garut, Ciamis, dan Subang, tempat dimana usaha-usaha kecil dan menengah itu tumbuh. Namun, permasalahannya jika hanya dengan pameran dan mungkin panggung hiburan, akan sangat sedikit pengunjung yang datang. Mengingat minat bisnis mungkin di kawasan-kawasan seperti itu tidak memiliki animo yang tinggi. Oleh karena itu, ayah saya membuat sebuah pemecahan masalah untuk menarik pengunjung. Pemecahan masalah itu adalah memberikan ruang hiburan yang menarik banyak orang: Pasar Malam.

Jadi, bagi saya ikut ke tempat ayah saya bekerja sama saja dengan pergi ke pasar malam. Bertemu kembali dengan pancaran lampu petromaks tukang kacang, tukang gulali, wahana-wahana permainan, dan kadang copet yang ketahuan lalu di pukuli. Karena itulah, saya lebih menganggap ayah saya sebagai seorang pembuat pasar malam, bukan sebagai kepala dari event organizer. Karena ketika dulu saya sering ikut ke lapangan tempat ayah saya bekerja pun, saya lebih banyak menghabiskan waktu di pasar malam dibandingkan di tempat utama pamerannya. Darisanalah kedekatan dengan pasar malam terjalin. Bukan hanya soal tempat dan wahana, tapi juga dengan kehidupan sosial yang ada di dalamnya.

Pasar malam memang cenderung menjadi tempat hiburan bagi orang-orang kelas menengah sampai ke kelas menengah ke bawah. Dan memang, wahana permainan, produk-produk yang dijual, bila dibandingkan kualitasnya dengan apa yang ada di tempat-tempat seperti mall tentu akan sangat berbeda. Disana para pedagang baju mengobral barang jualannya di sekitar harga 10-30 ribu rupiah, itu pun masih sering terjadi proses tawar-menawar harga yang biasanya terjadi jika pembeli melakukan borongan. Kincir putar, karosel, tong setan, dibuat dengan sederhana dari besi-besi dan seng yang di cat dengan warna yang sebenarnya bisa dibilang norak dan tidak harmonis. Mungkin bagi beberapa kelompok orang, pasar malam bukanlah tempat yang layak untuk menghibur dirinya.Ya, pasar malam memang tidak banyak bicara tentang kualitas dan standar yang tinggi. Ia hanya ingin menjawab secara praktis kebutuhan-kebutuhan yang mesti dipenuhi oleh orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Memberikan jawaban bagi kerinduan-kerinduan untuk tersenyum sejenak bersama orang-orang yang di cintai. Dengan cara menampilkan hiburan yang sederhana.

Pada hiruk-pikuk pasar malam yang sangat sederhana itu pun, toh saya bisa melihat senyum-senyum melengkung diantara mereka yang mengunjunginya. Seperti tawa dari anak-anak kecil yang menunggangi kuda-kuda mainan pada putaran karosel, wajah-wajah kesenangan dari mereka yang diberikan permen kapas oleh orangtuanya, dan juga wajah-wajah bahagia dari para bapak dan ibu yang melihat anak-anaknya kegirangan. Mungkin wajah-wajah itu juga pernah ada pada ketika saya kecil dulu dan pada orangtua yang mengantar saya ke pasar malam. Wajah-wajah yang datang dari kebahagiaan pasar malam. Kebahagiaan yang sederhana; yang tak dapat diukur dari nilai materinya.

Malam itu saya benar-benar dibawa kembali pada kenangan lama oleh pasar malam yang tak sengaja saya datangi. Pasar malam yang juga sudah lama tidak saya kunjungi karena kesibukan dan konsep-konsep kebahagiaan yang kian terseret dan bergeser oleh kehidupan modern atau meminjam istilah Alvin, "Kekinian". Ya, bagi saya kehidupan kekinian yang di maksud Alvin itu sesungguhnya adalah kehidupan yang banyak menuntut. Secara ekonomi, sosial, dan kultural. Kebahagiaan yang dikonstruksi kepentingan ekonomi, pergaulan yang banyak timbang-menimbang modal simbolik sebagai instrumen pembeda kelas, dan budaya yang dipenuhi nilai-nilai klise dan kosong. Sementara di pasar malam yang tak begitu teratur ini saya bisa bernapas lebih lega; dengan udara Jakarta yang lembab dan mencekik.