Nduk,
Siang ini aku melihat sekumpulan mahasiswa membawa tas
carrier ke kampus. Paling kecil dari tas mereka mungkin volumenya 50 Liter. Tasnya
berwarna-warni, macam-macam nduk; ada yang merah, ungu, hitam, abu-abu, biru juga
ada. Semuanya diisi penuh. Ketika dikenakan dibahu, bahkan ada yang tinggi
tasnya melebihi tinggi kepala orang berdiri. Sepertinya mereka mau bepergian
jauh nduk.
Ternyata memang benar: mereka mau naik Gunung. Mau mendaki
Merbabu katanya. Iya nduk, tak asing kiranya buatmu nama itu. Merbabu memang
terletak tidak jauh dari tempatmu tinggal, berdiri bersampingan dengan Merapi
yang kerap aktif. menghias batas cakrawala di kotamu.
Suka kamu nduk, memandangi panorama Merbabu dan Merapi dari
jendela rumah? atau bagaimana dengan dari atas genting? Aku sendiri suka memandangi
panorama Burangrang dan Tangkubanperahu di kota kesayanganku Bandung. Bahkan,
aku suka menjadikan mereka sebagai semacam pertanda cuaca.
Jikalau suatu pagi Burangrang dan Tangkubanperahu terlihat
jelas di ufuk bagian utara, maka aku anggap hari itu Bandung akan cerah.
Sedangkan, kalau yang terjadi sebaliknya, maka siap-siaplah terkurung mendung
dan hujan di Bandung. Ya, mungkin itu semacam caraku bermain dengan mereka;
memberikan mereka peran sebagai “alat ramal”. Tapi dari kesenanganku bermain dan menikmati panorama kedua gunung itu, entah
kenapa terasa semacam ikatan. Aku kerap rindu pada pemandangan itu.
Aneh ya nduk, kangen kok sama gunung tho? Mending juga sama
kamu. Mungkin itu disebabkan juga oleh kesenanganku beraktifitas di gunung.
Apalagi ketika SMA dulu, ketika aku sedang senang-senangnya naik gunung. Tempat
dengan derajat meter diatas permukaan laut yang tinggi memang dulu jadi pilihan
favorit untukku berlibur dan juga bolos sekolah, hehe.
Ya, mungkin secara bodo-bodoan ―dan tidak orisinil juga
sebenarnya― aku mau bilang: semakin sering kita berinteraksi dengan satu hal,
maka dapat terjalin suatu ikatan yang erat antara kita dengan hal itu. Kamu
kemarin baru ikut tes tulis masuk perguruan tinggi negeri bukan nduk, coba
lihat buku geografimu pada bagian klasifikasi iklim. Disana ada yang namanya klasifikasi
iklim menurut Junghuhn kan ya? Setahuku, si Junghuhn ini salah satu orang yang
punya ikatan erat dengan gunung.
Franz Wilhellm Junghuhn itu wong Jerman nduk, sekarang sudah
meninggal dan dimakamkan di sekitar Jayagiri, kaki gunung Tangkubanperahu. Dia
itu seorang botanis, yang datang ke Indonesia (Hindia-Belanda waktu itu) pada
musim panas 1835 karena direkomendasikan untuk mengambil pekerjaan dokter
medis.
Namun entah bagaimana, pada akhirnya si Junghuhn ini malah
mempelajari tanah Jawa dan berpetualang mendaki dari gunung ke gunung. Bahkan katanya dialah orang pertama yang
berani masuk begitu dalam ke hutan Gunung Patuha lalu menemukan tempat yang
kini disebut Kawah Putih. Kita bisa mengetahui beberapa gunung yang pernah
disambanginya lewat peninggalan lukisan yang ia buat, seperti Gunung Gede,
Merapi, Sumbing, dan Guntur.
Dari perjalanan-perjalanan itu, timbul suatu kecintaan dari
Junghuhn terhadap tanah jawa dan gunungnya. Kecintaannya pada gunung diabadikan
kedalam puisi yang berjudul “Salamku Untuk Gunung-Gunung”. Dan tahukah kamu
nduk, apa permintaan terakhir Junghuhn sebelum ia meninggal? Sederhana saja
nduk, ia meminta untuk dibukakan jendela dan kemudian berkata: “Aku ingin
berpamitan dengan gunung-gunung dan hutan-hutanku tercinta” setidaknya itu yang
diingat dr. Groneman, sahabat Junghuhn yang menemani saat terakhirnya.
Jika ditanya, sebenarnya apa sih yang gunung berikan kepada
mereka yang mencintainya? Aku sendiri mungkin tidak bisa memberikan penjelasan
yang memuaskan nduk. Mungkin aku hanya akan berpendapat sebatas bahwa ia
memberikan suasana yang tepat bagi para pencari kesunyian sepertiku. Tapi bagi
yang lain mungkin ada alasan-alasan lain.
Seperti Soe Hok Gie, yang menganggap bahwa gunung adalah
tempat yang baik untuk membentuk karakter seseorang. Dalam buku hariannya yang
diterbitkan itu ia pernah mengutip larik dari sajak “Song Of The Open Road”
karya penyair Amerika, Walt Whitman, yang berbunyi:
“Now I see the secret of the making of the best persons, It
is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth.”
Ya, menarik bukan nduk, katanya orang-orang hebat dapat
diciptakan di alam terbuka. Gunung adalah salah satu bentuknya. Selain itu, Gie
juga pernah menuliskan pendapatnya sendiri mengenai “alasan” kenapa ia naik
gunung:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami … Seseorang hanya
dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai
tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama
rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti
pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Menurut Gie, gunung juga merupakan tempat bersemainya rasa
nasionalisme dalam diri seseorang. Mengenali gunung, adalah mengenali bumi
Indonesia. Dengan mengenal bumi tersebut lebih dalam melalui kegiatan naik
gunung, diharapkan cinta terhadap bumi yang dipijaknya itu tumbuh. Begitulah
singkatnya nduk.
Tapi nduk, apakah kamu percaya bahwa kegiatan naik gunung
memang dapat melahirkan pribadi-pribadi unggul dan memiliki jiwa kebangsaan
yang kuat? Aku sih, percaya ―sedikit.
Kamu lihat tidak nduk, di media-media sosial sekarang makin
banyak orang update tentang perjalanan mereka berpetualang dari gunung ke
gunung? Iya, keren ya mereka. Mungkin itu pertanda bahwa di negeri kita akan
semakin banyak muncul pribadi-pribadi unggul dan cinta terhadap negara nduk; sebuah
harapan cerah di negeri yang kian hari makin banyak masalahnya.
Eh tapi ngomong-ngomong nduk, katanya di Ranu Kumbolo sampahnya
menggunung sampai 1,5 ton ya?