Minggu, 09 Maret 2014

Biru Donker

"Semalam sama maraneh lebih berarti daripada seminggu di ITB." - Alvin Noviansyah

"Semalam sama maraneh lebih berarti daripada satu semester di UI" - Aing

"Aing malah ngerasa aing bukan bagian dari UNPAD!" - M. Arnaldo "Tarso" Budyawan

Sebenarnya apa yang saya kutip diatas tak benar benar terucap. Cuma kata-kata Alvin yang nyata pernah diutarakan. Tapi bila pernyataan Alvin itu mau diberi perbandingan, mungkin itulah yang saya dan tarso akan nyatakan.

Jum'at sore ada laporan awal (LA) program kerja angkatan yang baru menjabat. Selepas dari sana malam masih sayang untuk disiasiakan dengan pulang ke rumah masing-masing. Sayang betul, karena jarang kami berkumpul kembali selepas masa SMA. Saya di Depok, tenggelam ditengah lingkungan politik tai kucing. Alvin di ITB, sibuk oleh rumus dan muak oleh lingkungan yang penuh tekanan IP tinggi. Ali di Bandung juga, calon mahasiswa USA yang belum juga dapet Visa. Farid pernah di Polban, tapi memutuskan untuk ngulang ke UNPAD. Kalau Tarso di UNPAD, dia jadi mahasiswa KUPUKUPU MATI, Kuliah Pulang - Kuliah Pulang.. Malam Party. Selain mereka ada juga Iskandar dan Dio, anak Telkom dan Ars Unpar, yang sehabis LA pisah rombongan gatau kemana. Dan selain kami bertujuh juga, sebenarnya ada 22 orang lagi dari "kami" yang ga ada di LA. Kumpul Fullteam udah susah makin susah. Maka selepas LA itulah, mumpung ada momen kumpul kecil, rombongan 5 orang tanpa si Iskandar dan si Dio ngopi cantik di Jalan Sumatera.

Bisa di bilang kami-kami yang ngumpul malam itu pria-pria gagal  move on. Baik itu move on dari lingkungan SMA, maupun dari... ah tai. Ya singkatnya gitu lah, kami udah lulus dari SMA dan dari Ekskul kami. Tapi, kenyamanan nyatanya masih ada di tempat yang seharusnya kami telah jauh tinggalkan. Kami bukan semacam orang-orang yang punya style sama, selera musik sama, ataupun pandangan hidup yang sama. Bukan. Tiap dari kami punya perbedaan yang bahkan sangat jauh jaraknya. Katakanlah saya, yang selalu menilai musik-musik olahan DJ tidak lebih baik daripada suara kentut, juga gaya hidupnya. Tapi diseberang meja sana saya berhadapan juga dengan Tarso dan Ali, duaduanya DJ. Tapi entahlah, kami bisa menerima kehadiran masing-masing di meja kopi malam itu.

Semuanya berawal ketika saya masuk SMA, di Belitung Timur. Sekolah yang punya ciri khasnya sendiri, yaitu ekskul dan kebebasan. Berbeda dengan sodaranya, Belitung Barat yang lebih ke arah murni akademis, kami biasa sindir mereka dengan umpatan "bau rumus". Dalam memilih ekskul di Belitung Timur saya merasa ga terlalu susah, teman SMP saya pernah ngasih saran untuk pilih ekskul senirupa dan dekorasi; Rancang Bangun. Ya, bocah ingusan itu dulu memang inginnya jadi seniman.

Saya masih ingat yang nempel poster RB di kelas MPLS saya waktu itu my brader LZ, Luthfi Zulkifli, yang kelak jadi koordinator saya di Divisi Warna. Setelah MPLS beres dan masa pendaftaran ekskul dimulai, daftarlah saya ke "spot" dan mulai ikut rangkaian seleksi.

Seleksi pertama adalah menggambar dan ekspresi. Seingat saya waktu itu ada sekitar 86-88 calon. Banyak juga yang daftar, tapi dari desas desusnya saya dengar ga akan lebih dari 5 orang dari tiap divisinya yang bakal di terima. Yang daftar juga bermacam orang, dari anak culun, anak preman, yang kaya brontosaurus (si ali), gadis manis berkemeja putih, anak viking persib adiknya ekomaung, segala ada. Dari awal ini kami memang sudah bisa melihat perbedaan diantara kami semua sebagai calon anggota. Tapi kalau saya beralih pandang ke kursi dewan pengurus, coy, satu warna biru donker deh.

Sebelum tes gambar serius kami para calon disuruh gambar bebas. Dan karena si aing dari dulu memang manusia yang seperti ini yah, bingung juga disuruh gambar bebas, akhirnya saya coba aja gambar semaunya, dan jadilah di kertas itu anak tuyul lagi kencing lengkap dengan alat kopulasinya. Dan jadilah gambar itu bahan eme eme senior. Kampret. Saya buat kesan buruk di hari pertama saya pikir. Sehabis itu seleksi yang serius dimulai, gambar dan ekspresi, cukup lama sampai hari mulai sore buat begituan doang. Selesai seleksi ternyata ada pembagian kelompok untuk seleksi selanjutnya : hasta karya.

Hasta karya itu semacam dekoran kecil. Dikerjain sama 9-10 orang, walaupun ada grup super yang isinya 5 orang karena telat ikut, itu kelompoknya si Tomi dan Bundo. Saya sendiri masuk ke kelompok 3, isinya 10 orang. Di kelompok inilah saya ketemu anak keturunan cina yang sampe sekarang jadi salah satu partner in crime saya : Alvin. Selain Alvin di kelompok 3 saya ketemu juga sama Putsop, bule garut yang kerjanya keliling dunia. Juga si Dio yang Arsi Unpar tadi, anak cowo yang selalu punya probabilitas tinggi buat dapet angket terganteng di syukuran RB.

Di kelompok 3 itu kami bikin "Mesi", Meja Inspirasi, meja laptop lengkap dengan kipas pendingin lengkap dengan rak buku. Bentuknya monster gelondongan kayu yang lagi mangap. Pokonya keren. Saya nilai Mesi saya ini paling bagus daripada yang lain. Ya kalau pun ada yang bilang ga bagus, saya yakin bukan yang paling buruk. Karena yang paling buruk itu rak sepatunya kelompok Ibo, hahaha.

Ibo, Luthfi Arief pria berambut kribo, orang selain Alvin yang saya percaya cocok untuk jadi kepala di angkatan kami ketika masa pra-dewan pengurus, hobinya dagang, dan kini kuliah dan aktif di SBM ITB. Ali sering sebut Ibo sebagai "The Special One". Karena dialah orang satu-satunya yang lulus jadi anggota RB dari kelompok yang bikin rak sepatu bentuk sepatu yang absurd itu. Tapi maklum, pada dasarnya produk hasta karya itu memang gajelas semua. Kebanggaannya ya kesunyian masing-masing lah.

Sampai pada akhirnya hari penerimaan yang konyol. Iya, konyol kan waktu itu. Saya ga mau ceritain. Yang waktu itu pernah disana inget aja sendiri konyolnya dimana. Di hari itulah pengumumannya, siapa saja yang punya hak untuk jadi anggota resmi RB. Yang waktu di awal penentuannya pakai dekoran yang bisa ngomong gitu deh. Cuma sekitar 5 orang yang naik ke dekoran itu. Diantaranya ada Baim, atau Ibrahim Paranggupito, darah biru dari persib kental mengalir di darahnya, sangat lihai dalam mencuri lampu taman di perkotaan. Ada juga Aput, cewe yang tanggal lahirnya sama kaya saya, kalau ngambek kayanya galak. Si Ali juga termasuk yang naik, si brontosaurus wikipedia berjalan, tertarik ke hal-hal yang bau baunya amerika kaya glee, navy seal, nasa, dll.

Nah, habis orang-orang yang naik ke dekoran itu pada selesai, barulah dibentangin spanduk. Isinya ada 30 nama yang dibagi ke 4 Divisi; Rangka 9 orang, Warna 7, Listrik 5, Pernak-Pernik 9. Dan ada juga nama saya, dibawah namanya si Adit Titit, jago gambar yang sekarang kuliah di Malaysia. Itu berarti saya keterima. Dan ternyata selain saya, ada juga yang keterima, brengsek yang saya kenal dari jaman SMP, orang yang baru pertama kenal pasti nilai ini anak paling songong yang diciptakan Tuhan; Arnaldo, kelak dapet  panggilan Tarso.

Selain Tarso, kenalan SMP lain yang ternyata diterima jadi anggota RB juga banyak. Ada Farid, bocah yang sering saya temuin di gerbang SMP, karena kita sering dateng ke sekolah bareng, dalam artian telat. Nantinya Farid jadi Koordinator Divisi Rangka. Ada juga Ipat alias Dendito, manusia nekat yang akhirnya diasingkan. Yang nantinya juga sempat jadi Koordinator Divisi Listrik. Ada juga Karin, cewe super yang bisa menularkan enerjinya ke seantero angkatan, motivator sejati dari naknik. Ada Rijal The Speed Demon, doyan balap dan partner utama buat naik gunung dan travelling. Ada juga Fira atau Bundo, mother of all mother. Heaa.

Sehabis penerimaan, kami belum resmi jadi anggota. Ada Pelantikan atau Pengukuhan. Ya gitu deh pengukuhan. Pra-pengukuhan kita-kita latihan push-up coy di pinggir kolam rumah Tarso kaya orang sarap. Ga banyak juga yang bisa diceritain di malam pengukuhannya. Saya masuk ke kelompok 2. Bareng Ibo, Dio, Putsop, Ali, Fira. Selain itu ada Aldi, manusia dari pedalaman katapang, lihai main gitar dan selalu ketangkep kamera kalo lagi tidur pas gawe/pemasangan. Sekelompok juga sama Sisil, Silmina Adzhani, cewe yg pake kemeja putih di seleksi pertama itu. Juga sama si Cacun, Rapsa, temen sebangku dari kelas XI-XII, pemegang jabatan Koordinator Umum nantinya.

Oh, ada juga yang ga ikut pengukuhan. Ditengah jalan ke jayagiri dia dibawa ke RS, sakit demam berdarah. Rian Karya. Siapa Rian Karya? jawabannya singkat aja : The Godfather.

Setelah resmi jadi anggota dan dapet syal, mulai lah kami ikut gawe di proker-proker, dari awalnya syukuran di rumah Ummi Tetha, RB Gathering, dan terus berlanjut ke proker di kepengurusan 2012 seperti bazaar, malam syukuran kelulusan, rangkaian seleksi, pengukuhan, RB Cafe, sampe ke Pra DP dan DP. Lewat semua proker itulah 30 anak ingusan belajar, berkarya, dan yang paling penting dipaksa bersama.

Kami memang selalu dipaksa untuk bersama. Saking dipaksanya ada diantara kami yang muak juga. Termasuk saya, di akhir kepengurusan waktu jadi Koordiv Warna. Males rasanya liat rancangan, cat, acian yang belum diplamir dan muka-muka kaya si Iskandar, Aldi, Cacun, dan Doni. Tapi ga bisa dipungkiri juga, ada indahnya perjalanan dari Kelas X sampai Kelas XII itu. Manis rasanya ketika buka arsip laptop yang isinya foto-foto gawe dan karya-karya yang kami buat. Jujur, saya berani ngadu dekoran sama siapapun kalo kerja bareng lagi sama Biru Donker 2013. Kami punya komposisi yang lengkap. Sebagai sekelompok "seniman" kami mumpuni, Konseptor - Worker - Motivator kami punya.

Konseptornya pun macem-macem, dari yang tipe pemikir liar kaya Rolly, Tomi, dan Adit sampai ke yang tipe lebih mempertimbangkan aspek realistis atau tidaknya kaya Wirestu, Doni, Megan, Ali, Dio dan mungkin si aing, dan mungkin banyak lagi.

Worker, kami punya otot-otot baja semacam Samson dan Redinal. Terlebih Samson, si ringan tangan yang kalau ga ada gawepun dia nyari kerjaan sendiri, motongin bambu/kayu tanpa alasan. Selain itu ada juga Worker-worker yang tipenya "Work Smart" yang taktis; diantaranya Ketua kami si Alvin, Ibo, Rian, Duo ahli listrik Rijal - Ading, dan Baim "The Lightning Thief".

Motivator, yang paling saya catat seumur hidup saya ada dua motivator sejati di dalam tim, yang bisa membangun suasana gawe kembali penuh tawa : cowonya si Iskandar, dan cewenya ya si Karin.

Tapi memang sebagai "pengurus" kami kelabakan. Karena kami ga suka diatur, dan mengatur. Kaidah merancang lalu membangun pun kadang ga sepenuhnya kami taati. Kami ngedekor jarang dituntun sama rancangan yang rapi. Entah kenapa, rasanya PD aja. Orientasi kami memang lebih ke seni dan segala hal yang bikin senang, hedonist mungkin. Ini bisa diliat nantinya ketika kami udah jadi Alumni. Pembawaan kami datang lagi ke RB ya buat santai dan senang-senang.

Di Belitung Timur segerombol Biru Donker ini stereotipnya adalah kumpulan yang eksklusif. Mungkin ya, mungkin ngga. Kalau di liat dari anak-anak cowonya, mungkin bisa dibilang iya ketika kami datang ke kumpul sekolah sebagai serombongan. Mungkin bisa diingat insiden "Dengan Membeli Aqua" di aula gedung lama yang konyol itu, yang berakhir dengan si Alvin hampir dilabrak sama salahsatu panitia karena kala itu cowo-cowo Biru Donker buat panitia jengkel. Dengan jalan pikiran khas Biru Donker; yang katanya didasari oleh didikan dari ruang dan waktu. Lebaynya gitu, tapi kalau dipikir ada benernya.

Tapi yang lebih indah lagi sebenarnya bukan karya-karya itu, bukan juga jalan pikiran yang sering membuat Biru Donker serasa pasukan dari Mount Olympus yang siap mengacak-acak musuh di medan intelektual. Bukan kedua hal itu. Keindahan lebih sering datang di waktu dan tempat yang sederhana. Pada waktu dimana bel sekolah baru berdering, dan kita langsung melangkahkan kaki ke sudut Taman PLN itu. Duduk di langkan kursi DP, dibawah pohon rindang sambil berwacana menunggu senja yang belum juga datang. Seringkali begitu lucunya saat-saat itu, seperti ketika Aldi dan Redinal yang saling membalas ejekan, antara "Si Bibir dan Si Item", atau ketika kita Bully si Tomi yang cintanya kandas oleh adik kelas; "Aing Tomi, maneh F*t* ah? Sori nya nu kamari." begitulah kira kira yang sering kita ungkit dan tertawakan.

Selain itu bisa kita ingat rumah kedua anak Biru Donker, Rumah Tarso. Lengkap dengan kamarnya dan naknik ke-10 kita ; Bi Ngkay. Kamar Tarso memang unik, mungkin yang namanya Pluralisme itu ya apa yang sering terjadi disana. Coba bayangkan sebuah kamar besar, sudutnya empat. Di satu sudut kita bisa lihat orang-orang religius seperti Rijal solat, di sudut lain ada yang nangkring sambil ngomongin sejarah dan sains, di dekat kasur bisa ditemukan anak-anak yang lagi mencampur Jack Daniel's dengan Coca-Cola atau Green Sands lengkap dengan rokoknya, dan disudut terakhir ada meja komputer, biasa dipakai main PES atau ngebokep. Kami gak perlu ditatar konsep toleransi, kami gak perlu filsafat postmodernisme yang kaya tai itu, kami ga perlu juga memandang darimana dia datang dan akan seperti apa. Di ruang kamar itu secara natural kami bisa berbagi bersama kegiatannya masing-masing, dalam kebahagiaannya masing-masing.

Memang sulit untuk kembali seperti dulu dan mencoba membangun kembali kenangan indah itu. Selepas SMA, sekarang disinilah kami, sekelompok kecil di meja kopi, berbicara tentang kenangan, hidup, dan cinta. Malam Sabtu yang basah di Kota Bandung. Malam Sabtu yang jarang kita dapatkan. Kini semuanya punya kesibukan dan masalahnya masing-masing, sehingga kesempatan untuk bertemu sapa menjadi berharga bagi yang ingin mengingat kembali hari-hari emas itu. Sekedar mengingat, tak bisa kembali lagi kesana. Seperti yang Tarso bilang :

"Hari Senin nanti kita akan kembali ke kampus masing-masing."

Dan ditambah lagi oleh nyanyian si Iskandar di Minggu Pagi :

"Ke Jakarta Aku kan' kembaliiii. Walaupun apa yang kan' terjadiiii.."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar