Jumat, 21 Februari 2014

Wots... Uh The Deal

Ini post sambil lagu-laguan, kalo mau denger lagunya, Pink Floyd - Wot's... Uh The Deal, bisa kesini atau download sendiri.

--------------------------------------------

*Intro Guitar

Masa SMA memang masa yang paling indah. Apalagi buat saya, yang jarang belajar di kelas selepas dari kelas X. Bagi saya yang benar-benar mendidik saya sama sekali bukan sekolah, tapi perpustakaan. Ruang kelas itu penjara dan guru itu sipirnya, kalo kata John Nash di film "A Beautiful Mind" sih, kelas menghambat kreatifitas, dan ini benar- benar terasa buat saya, apalagi waktu kelas XI.

Saya memang ga cocok di kelas. Di kelas saya bertemu guru matematika, fisika, kimia, bahasa dll. yang ngatur ba-bi-bu dan juga ngasih tugas-tugas. Yah, saya tau itu menurut pada silabus yang dirancang buat membentuk siswa. Tapi saya lebih setuju sama gagasannya Roger Waters : "We don't need no thoughts control." tapi bukan berarti kita biarkan diri kita kosong dari pemikiran apa pun, kita punya kebebasan untuk memilih apa yang ingin kita pelajari. Dan kebebasan itu saya temukan di perpustakaan. Disana ilmu tidak menuntut, tapi mengajak kita untuk senantiasa berpikir. Saya kira malah itulah arti penting pembelajaran; sebuah ajakan tulus ke pintu-pintu yang memang kita belum pernah masuki dalam relung pengetahuan.

"Heaven sent the promised land
Looks alright from where I stand
'Cause I'm the man on the outside looking in"

Saya paling sering ke perpustakaan pagi-pagi, karena.saya sering terlambat, dan yang terlambat disuruh diam di perpustakaan. Ya alhamdulillah, saya malah jadi nyaman buat terlambat kalo aturannya seperti itu. Dari perpustakaan dan minat membaca tumbuh banyak guru-guru baru yang saya temui, seperti Niccolo Machiavelli, Umar Kayam, Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, dan banyak lagi. Diantara mereka-mereka, yang paling berpengaruh buat saya di masa SMA ada dua, yang pertama Pram, dan yang kedua adalah Soe Hok Gie.

Seberapa pengaruh? besar. Mereka memberikan pandangan bahwa kebenaran, ilmu, dan pengetahuan adalah hal-hal yang indah. Perjuangan Minke di Tetralogi Buru dan Catatan harian Gie sebagai mahasiswa memberi pengaruh yang besar bagi saya. Bisa dibilang, saya mencoba mengikuti jejak langkah mereka. Ada memang yang terkorbankan dalam hal ini, mimpi saya untuk menjadi seniman terasa hambar. Saya lebih tertarik untuk memandang kedua orang itu, Minke dan Gie, dua duanya penulis. Minke adalah alter ego dari Tirto Adhisoerjo, pahlawan nasional di bidang pers. Gie, tulisannya yang tajam banyak dimuat di koran nasional masa itu. Dari mereka tumbuh mimpi baru, menjadi seorang Jurnalis. Tapi di mana? Minke pernah belajar di STOVIA sebentar, Gie di Universitas Indonesia. STOVIA dalam sejarahnya berubah jadi FKUI. Ya, saya harus kesana. Jurnalisme, di Universitas Indonesia.

"Waiting on the first step
Show where the key is kept
Point me down the right line because it's time"

Untuk itu pertama-tama saya harus lulus dari SMA. Dan saya lulus, dengan nilai UN MAFIKIBI yang buruk. Saya ga begitu peduli sebenarnya, yang penting langkah awal saya tempuh buat "the promised land."

Saya ga ikut undangan. Nilai senirupa di raport 69. Gara-gara saya ga ngumpulin tugas awal semester. Bisa memang buat dibenerin, ke gurunya waktu sebelum undangan. Tapi saya ga lakukan itu sebelum undangan, karena saya ga anggap tugas itu penting. Tapi pada akhirnya waktu hampir lulus dipaksa juga sama walikelas, daripada ribet lagi ya sudah lah.

Dari ga ikut undangan itu seengganya saya ga ada beban menunggu hasil. Saya fokus buat ngejar di ujian tulis. Setelah UN, saya naik Gunung Gede buat refreshing, sama Rijal, Farid, Cacun, Ading, dan Jadul. Nah, setelah refreshing itu saya punya waktu 2 bulan buat belajar IPS. Maka langkah selanjutnya saya ikut intensif di Inten. 2 bulan itu saya pakai buat nutup 3 taun yang dulu kering dan sia-sia.

"To let me in from the cold
Turn my lead into gold
'Cause there's chill wind blowing in my soul
And I think I'm growing old"

Les intensif juga kelas, dan kadang membosankan. Tapi apalah dua bulan buat empat tahun ke depan sederhananya. Pada pokoknya saya harus masuk Jurnalisme, dan itu di Universitas yang terbaik.Di baliknya memang ada ambisi tersendiri berdasar kejemuan dan harapan-harapan khusus. Jadi saya ikuti juga aturan mainnya, dan mencoba menjalaninya dengan kesenangan.

Waktu itu saya ke tempat les hampir selalu naik sepeda, kecuali kalau telat baru naik motor. Kesenangannya itulah, sambil main sepeda, kadang juga ga langsung pulang. Ambil jalan memutar ke Pengky atau tempat-tempat yang bisa membangunkan memori romantis. Bagi saya sendiri memang romantisme merupakan aspek penting perjuangan. Dia bisa memacu hasrat. Selain itu naik sepeda sekalian juga untun ngikutin perjuangan di film "Le Grand Voyage"; makin sulit jalan ditempuh, maknanya makin kerasa.

"Flash the readies
Wot's...uh the deal?
Got to make to the next meal
Try to keep up with the turning of the wheel.

Mile after mile
Stone after stone
Turn to speak but you're alone
Million mile from home you're on your own"

Kalau belajar itu mudah, maka apa artinya belajar? Gitu mungkin rasanya di dua bulan itu. Belajar itu tak mudah, banyak gangguannya. Belum lagi nilai-nilai Try Out yang masih jauh dari target. Kalau kata anak gaul Bandung sih, bikin merod.

Rasa bosan jangan ditanya. Selalu ada. Dan ia suka mengalihkan fokus kepada hal-hal lain. Saya bisa rasakan ketika dirumah harusnya waktu diisi dengan belajar materi yang belum dipahami, eh itu pemain saya di Football Manager manggil-manggil. Belum lagi Marlon Brando, Al Pacino, Robert De Niro, minta ditonton di tiga seri film The Godfather. Akhirnya apa boleh buat. Kalau dipaksa ga dipenuhi, ngebatin juga buat belajar.

"So let me in from the cold
Turn my lead into gold
'Cause there's chill wind blowing in my soul
And I think I'm growing old'"

Tapi pada akhirnya, setelah match-match menegangkan di FM, setelah drama drama ironis di The Godfather, saya ketemu juga dengan kesunyian di malam yang kosong. Dan kesunyian itu sebenarnya punya maksud baik. Ia mengajak diri kita untuk lebih reflektif. Ditengah kesunyian itu saya ngobrol sama diri sendiri, bahasa gaul anak komunikasinya "Komunikasi Intrapersonal", dan pada akhirnya saya kembali diingatkan pada tujuan saya untuk belajar.

"Fire bright by candlelight
And her by my side
And if she prefers we will never stir again"

Di lain pihak, saya juga selalu teringat. Di lain tempat ada juga yang sedang dalam perjuangan semacam. Ya, banyaklah memang anak baru lulus SMA ngejar ujian tulis. Tapi bukan beribu-ribu orang itu juga yang jadi bahan pikiran. Malah sebenarnya ini bukan soal pikiran, tapi perasaan, yang spesifik dan merujuk pada pribadi. Yang biasa jadi bahan semangat dan harapan, untuk menghibur diri dari kelelahan. Walaupun sebenarnya antara kita dan subjek perasaan itu terhampar jarak, pada lorong-lorong sunyi yang kala itu belum pernah saya masuki. Dan jarak itu seakan makin menjauh. Tapi saya tetap buat itu jadi bahan untuk kembali pada tujuan.

"Someone said the promised land
And I grabbed it with both hands
Now I'm the man on the inside looking out"

Pada akhirnya hari tes, ujian tulis SBMPTN dan Mandiri. Selain Universitas Indonesia, tak ada yang saya pilih. Dan Komunikasi jadi jurusan pilihan pertama di tiap tesnya, karena studi Jurnalisme ada di dalamnya. Jujur saya sangat ceroboh waktu ujian, pada soal-soal sejarah saya tak cermat, dan itu kembali membuat saya "merod".

Tapi akhirnya nasib berkata lain, di hari pengumuman saya diterima di pilihan pertama itu. Senang, ada, tapi ada juga hal lain yang membuat saya khawatir. Lalu setelah penerimaan itu proses administrasi di tuntaskan. Saya pindah ke Depok, dan bertemu juga dengan Universitas Indonesia yang kemarin-kemarin saya inginkan itu. Buku, Pesta, dan Cinta, jadi bayangan awalnya. Saya benar benar mengagumi slogan itu. Lebih dari Veritas, Probitas, Iustisia. Karena saya bisa melihat pada slogan itu mahasiswa sebagai intekektual dan kaum muda.

"Hear me shout "Come on in,
What's the news and where you been?"
'Cause there's no wind left in my soul
And I've grown old"

Dan kini, satu semester kemarin sudah saya lalui. Saya menemukan sedikit kesenangan untuk belajar di kelas bersama dosen. Tapi ada juga perasaan aneh hidup di tengah-tengah miniatur indonesia ini.

Sering saya buka kembali tulisan Gie di tahun pertamanya. Dan saya belum menemukan yang Gie temukan. Saya lebih sering melihat wujud-wujud yang menyerupai siswa baru di SMA saya. Ada memang diantaranya yang bisa saya terima, dan saya akui dia bisa jadi teman yang membangun, namun saya lebih sering merasa aneh disini.

Saya jadi teringat kata teman saya ketika berkomentar rencana saya pindah haluan ke Depok, "Yakin? Aku ga yakin lingkungan itu cocok buat kamu. Apalagi SosPol." dan dengan polosnya saya cuma menjawab "Aku kagum sama angkatan 66."

Istilah "The time's they are changin'" itu mungkin ada benarnya. Kata teman saya itu juga mungkin ada benarnya. Karena kadang, ketika saya sudah sampai disini setelah berjuang sebelumnya, malah saya dipertemukan kembali dengan kejemuan. Dan malah saya lebih sering kembali merindukan masa masa sekolah dulu, yang sebenarnya bukan diisi dengan sekolah. Juga pada teman-teman yang memang tumbuh besar bersama saya, yang juga melewati pergaulan dan proses yang sama. Ya, pada masa masa akhir itu saya memang terlalu melihat ke depan. Tanpa tahu sebenarnya apa yang menunggu disana. Melupakan apa yang akan saya tinggalkan di belakang. Karena itu sering juga saya pulang ke Bandung untuk mengisi kerinduan-kerinduan itu. Ada daripadanya momen pulang yang saya ingat. Salah satunya ucapan Tarso yang saya temui ketika pulang :

"Mungkin kita terlalu cepat tumbuh besar."

Entahlah So, mungkin kita saja yang tambah tua. Tapi tak kunjung dewasa untuk menerima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar