Kamis, 13 Februari 2014

Baik

Dia menangis. Ibu-ibu yang dikenal galak itu menangis juga ketika disambar serangkaian pertanyaan dari Najwa Shihab. Dalam tangisnya ia merendah, menilai dirinya "tak punya apa-apa". Tapi dunia berkata lain. 51 penghargaan telah diberikan kepadanya sebagai tanda prestasi sebagai walikota, dan lembaga survey menilai bahwa ialah orang yang mampu menyaingi Sang Gubernur "Media Darling" Joko Widodo dalam bursa pencalonan calon presiden. Walau ternyata ia tak menaruh minat dalam mengejar kursi nomor satu di indonesia.

Tri Rismaharini, dialah yang menangis itu, pemegang jabatan Walikota Surabaya. Blusukan, turun lapangan, gila taman, tegas, dan selalu memihak pada kepentingan rakyat surabaya menjadi ciri khas kepemimpinannya yang berumur tiga tahun itu. Apresiasi, prestasi, sudah ia raih. Bahkan bisa dibilang ia mampu mengambil hati masyarakat Surabaya, mengingat banyaknya reaksi yang menolak isu habgat akhir-akhir ini; Bu Risma berniat mengundurkan diri dari jabatan Wali Kota Surabaya.

Bu Risma tidak bisa memberikan jawaban yang tegas kala Najwa Shihab mencoba mengklarifikasi isu tersebut. Namun kita bisa membayangkan beban apa yang ia tanggung sebagai Walikota Surabaya ketika melihat ekspresi Bu Walkot dalam siaran di TV Nasional tersebut.

Tentu tak mudah menjadi pemimpin. Tanggungjawabnya adalah semua insan yang berada dibawah kuasanya. Belum lagi hantaman kiri-kanan. Ya, dalam upayanya memberikan yang terbaik bagi warganya, tentu akan banyak hambatan yang mengujinya. Pertarungan kepentingan, kekuasaan, dan lainnya. Politik. Singkatnya, dalam panggung drama kehidupan ini ada saja sebuah perseteruan, antara ia yang baik dan yang jahat. Penilaian baik dan jahat sendiri relatif. Namun marilah sejenak kita menyederhanakan definisi. Cukuplah kini apa yang baik itu mengupayakan hilangnya ketakutan akan tiadanya sesuap nasi untuk kebutuhan di hari esok, dan apa yang jahat adalah kebalikannya. Dan juga perlu diingat, setiap orang pasti beruaaha menolak segala hal yang bersifat jahat untuk dirinya.

Kejahatan senantiasa hadir, bahkan perlu kata Durkheim, karena ialah yang membuat moral dan hukum berkembang secara normal. Namun saya kira apa yang terjadi disekitar kita kini lebih dari kejahatan, kita menghadapi sebuah kegilaan. Karena kejahatan yang ada kini sudah begitu kuatnya, sehingga berkembangnya moral dan hukum memiliki masa depan yang absurd. Sehingga dalam pergulatannya dengan kebaikan, kegilaan kini selalu tampak menang.

Berbahaya menjadi orang baik, kata Michael Corleone ketika mengomentari keadaan Paus John Paul I yang terancam. Memang sebuah ironi, semenjak kecil tentu kita diajari untuk berperilaku baik dan wajar menurut pada lingkungan sekitar, hal-hal sederhana seperti jangan berbohong, berlaku adil pada sesama, dan tidak boleh menyakiti orang lain tentu sudah pernah jadi bahan makanan kita. Namun seiring tumbuh kembangnya diri kita juga menemukan bahwa ternyata hal hal tersebut tak mudah untuk ditegakkan, karena kekuatan biasa lebih memihak pada hal yang seharusnya kita tahu bukanlah yang benar. Dan tak jarang kita memihak pada kegilaan itu, agar tidak disebut gila oleh si gila.

Lalu dimana tempat bagi orang-orang yang hendak berlaku baik jika kegilaan memang sudah merajalela? yang perlu dipahami adalah, kegilaan itu bukanlah alasan untuk menjadi yang tidak baik. Memang perlu pengorbanan besar untuk melakukannya. Sebuah perlawanan berkelanjutan terhadap kondisi yang absurd, tak tentu menang kalahnya, seperti yang Albert Camus gambarkan dalam novelnya La Peste lewat karakter dr. Rieux :

"Ya," kata Tarrou menyetujui "saya bisa mengerti. Tapi kemenangan Anda akan selalu bersifat sementara, begitu saja."
Rieux tampak muram
"Selalu bersifat sementara, saya tahu itu. Namun bukan alasan untuk menghentikan perjuangan."
"Ya, benar. Tapi sekarang saya bisa membayangkan, apa sampar ini bagi Anda."
"Ya," kata Rieux, "satu kegagalan yang terus menerus."
Sebentar Tarrou menatap dokter, kemudian. bangkit dan berjalan dengan langkah berat ke pintu. Rieux mengikuti tamunya. Ketika sampai di sampingnya, Tarrou berkata sambil memandangi kakinya.
"Siapa yang mengajarkan itu semua kepada Anda, dokter?"
"Kesengsaraan."

Entah manusia macam apa dr. Rieux yang belajar dari kesengsaraan itu. Ia sadar betul, ia tak tahu pasti akankah kemenangan memihak kepadanya dan sampar telah menjadi musuh yang begitu menakutkan. Tapi baginya itu bukan alasan untuk menyerah, ia berusaha menjalankan tugasnya sebagai dokter, dengan cara yang sederhana : sebaik-baiknya.

Bu Risma pahlawan kita kini mulai terlihat goyah, dan hidup tidak semudah novel, walaupun itu novel yang berisi tragedi. Ia (Bu Risma) menanggung beban yang begitu berat dan menghadapi musuh yang begitu mengerikan. Tentu kita ingin dia terus berjuang, layaknya dr. Rieux, tapi kita juga tak tahu sampai mana batas kekuatannya. Cukuplah untuk kini kita mencoba mendukungnya terus secara moril, baik itu lewat ucapan, petisi, apapun lah itu. Keputusan akhir ada ditangan Bu Risma sendiri. Tapi cobalah dulu, sebaik-baiknya, untuk hal yang kita kira baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar