Sabtu, 15 Februari 2014

Inovasi : Part #1

Inovasi adalah kata yang memuakkan bagi saya pribadi. Bukan saya tidak suka pada pengaruh teknologi baru kepada kehidupan, tidak sejauh itu kata inovasi mengganggu saya, inovasi disini yang ruang lingkupnya kecil saja, ialah ketika kata inovasi dibahas pada rapat-rapat organisasi, kepanitiaan, dan rapat sejenis yang bermaksud untuk membahas pembuatan suatu karya yang biasa menghadirkan rasa tak nyaman kepada saya. Pengalaman itu banyak saya alami ketika saya masih SMA.

Saya sering menghadiri rapat. Diantaranya rapat organisasi internal dimana saya menjadi anggotanya, dan rapat dalam skala yang lebih besar berupa kepanitiaan sekolah. Keduanya punya persamaan, membahas konsep dari suatu karya, dan sering pula menyinggung kata inovasi. Tapi bisa dilihat perbedaannya dari bagaimana cara konsep itu didapat. Dan bisa saya bilang, biasanya benar benar berbeda. Sehingga ketika anggota dari organisasi kami hadir ke lingkungan sekolah yang lebih luas sering terjadi perbedaan pendapat. Bahkan kadang bisa begitu emosional. Saya ingat betul ketua saya waktu itu, Alvin Noviansyah, membuat berang jajaran kepanitiaan di rapat besar. Memang anggota Alvin yang lain pun dinilai "bebal". Tapi sialnya,Alvin adalah ketuanya.

Seperti yang dibilang diatas, antara kami dan panitia memang punya cara yang beda dalam merancang konsep bagi sebuah karya. Dari sanalah dasar dari perselisihan tersebut, konsep yang diberikan oleh satu pihak tidak dapat dimengerti oleh yang lain. Sehingga sulit terjadi kesepakatan tentang bentukan karya seperti apa sebenarnya yang akan kita buat. Kalau berbicara inovasi, tentu akan lebih pelik lagi. Pada dasarnya inovasi adalah karya juga, namun memiliki sifat kebaruan, spesifiknya ia punya manfaat baru untuk mencapai tujuan. Baik itu yang sifatnya alternatif, atau yang memiliki nilai efektifitas dan efisiensi yang lebih mampu membawa kita pada tujuan. Namun apa yang disebut dengan inovasi yang lahir dari konsep yang di bahas pada rapat-rapat tersebut, baik tingkat organisasi maupun tingkat sekolah, biasanya tidaklah memenuhi syarat untuk disebut inovasi. Mengapa? karena ia biasa lahir dengan cara dan alasan yang salah. Ia lahir karena tuntutan pembaruan.

Pertama kita akan berbicara "Inovasi" yang lahir dari konsep yang dibuat di kepanitiaan sekolah dan rapat rapatnya. Karena bagi dengan membahas tingkat ini lebih dahulu, kita bisa melihat hal yang mendasar, bagaimana konsep itu sendiri lahir juga inti permasalahan pada rapat ini sebenarnya tak cukup pelik.
Gejala yang bisa kita lihat adalah tidak adanya korelasi antara bentukan acara (yang didalamnya termasuk inovasi) dengan tujuan hadirnya acara itu sendiri. Sebagai contoh, pada acara besar FL Battlefield ada satu hal yang membedakannya dari acara bazar sebelumnya. Hal itu adalah Flashmob, lengkap dengan musik musik barat yang meriah. Flashmob ini saya akui, yang saya lihat dari rekamannya di youtube, mengundang ketertarikan pengunjung dan menambah kemeriahan acara. Namun ketika mengingat pada tujuan dasar acara, yang bertujuan "membangkitkan moral dan mental kebangsaan", yang walaupun moral mental bangsa itu sendiri belum jelas maksudnya, tidak bisa dilihat hubungan antara "inovasi" tersebut dengan konsep dasarnya. Flashmob itu tak membantu untuk mencapai tujuan konsep. Saya mengakui betul, dengan adanya "inovasi" tersebut acara jadi lebih meriah. Namun saya kira kita juga perlu jujur pada diri sendiri bahwa ketika merencanakan acara tersebut, kita punya tujuan, acara bukan semata untuk hiburan tapi membawa pesan. Kalau memang pada awalnya acara murni menghibur, maka silahkan. Karena tak akan ada sesuatu yang sia-sia kalau memang begitu.

Lalu bagaimana bisa "Inovasi" itu hadir dan dipertunjukkan jika memang tidak ada hubungannya dengan tujuan acara sendiri? sederhana saja jawabnya, "Inovasi" tersebut tidak lahir dari proses berfikir yang mendasar pada konsep. Ia sekedar hadir dari sebuah hasrat akan kebaruan, namun melupakan konsep dasar yang didalamnya terdapat alasan kenapa acara tersebut dibuat. Runtutannya adalah : "Saya perlu inovasi - Inovasi apa yang perlu dibuat? - Saya menemukan hal ini baru - Saya akan jadikan ini inovasi." Konsep tidak begitu disinggung disini.

Lalu, bagaimana seharusnya Inovasi lahir agar mampu punya manfaat terhadap konsep? kita mesti merubah runtutan berfikirnya menjadi : "Saya memiliki konsep A - Bagaimana cara saya mencapainya? - Saya menemukan caranya." Kenapa pada pola pikir ini inovasi malah tidak disebut? bukan tidak disebut, tapi belum sampai, pada tahap ketiga kita perlu menanyakan hal lain : "Apakah ada cara lain daripada cara yang sudah sering dilakukan? - Apakah cara lain itu dapat lebih memberikan manfaat? - Apakah cara ini baru?" Nah, jika memang ada cara lain, dan itu adalah cara baru, saat itulah kita menemukan inovasi untuk menyikapi masalah yang ada dalam konsep kita.

Kebaruan memang sengaja disimpan terakhir, karena jika kebaruan yang di awal ia akan menghasilkan bentukan yang sifatnya dipaksakan. Bahkan kepada kebuntuan, yang dalam hal ini berarti, bagaimana kita akan mencari sebuah solusi baru jika masalahnya sendiri tidak di pikirkan dan kita hanya terpaku untuk mencari hal yang baru?

Alasan lain adalah karena memang kebaruan itu hanyalah "bonus". Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa mencapai suatu tujuan dengan suatu teknis/bentukan untuk menjawab masalah dalam jalan menuju tujuan. Jika kebaruan itu yang diutamakan maka proses berpikir akan berakhir pada model berpikir yang pertama, yang disebut inovasi disana tak mendukung konsep, sehingga akan berujung pada kesia-siaan usaha dalam konteks mencapai tujuan konsep.

Selain itu yang penting untuk diingat adalah kita juga perlu memiliki pemahaman yang baik atas konsep tersebut. Karena untuk mencari alternatif cara, diperlukan wawasan yang luas.
Selanjutnya, untuk persoalan inovasi di organisasi saya sendiri, harus dicermati secara lebih khusus. Karena ruang lingkupnya lebih sempit sekaligus lebih luas. Saya akan coba jawab di tulisan berikutnya. Saya mau rehat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar