Jumat, 14 Februari 2014

L'hôpital

Pada waktu itu saya masih di Kota Bandung. Malam 25 Januari, Tarso teman saya buat acara yang bersinggungan dengan Pelantikan Dewan Pengurus PKSR Rancang Bangun periode yang teranyar. Saya hadiri keduanya. Sebentar saja di acara Tarso, mungkin paling lama 1,5 jam. Pukul 9 malam saya sudah keluar acara, bersama beberapa teman menjemput Rijal, lalu ke daerah awiligar tempat Pelantikan berlangsung.

Terletak di Bandung Utara, jalannya menanjak, mungkin dulu awiligar dan perumahannya adalah bekas perbukitan. Di atas perumahan ada tempat lapang. Karena letaknya yang cukup tinggi dari lapangan itu kita bisa lihat perbukitan lain di seberang lembahan, gelap memang, yang kelihatan malam itu cuma bayang dengan kerlip lampu rumah yang temaram. Dengan kondisi geografis yang sedikit lebih tinggi dari pusat kota, suhu udara di "medan perang" ini memang dimungkinkan lebih rendah daripada suhu sehari-hari Kota Bandung. Belum lagi mempertimbangkan usia malam yang sudah cukup larut, dan kondisi cuaca yang kala itu sedang dingin-dinginnya. Tapi nyatanya saya tak merasa kedinginan, dan langit malam itu cukup jernih dari awan.

Namun memang kita tidak bisa meremehkan keadaan. Hidup itu sunyi, tapi penuh kejutan. Sekitar jam 3 dinihari saya duduk di perapian, semacam basecamp seadanya, bersama 2013 dan alumni yang lain. Disana ternyata banyak Calon Dewan Pengurus (DP) yang tertidur sakit, bahkan ada yang menggigil. Entah benar atau bohongnya. Mereka tidur begitu saja di tanah, paling banter diselimuti jaket. Mengingat kaidah kegiatan di alam, tidur di tanah secara langsung itu tidak baik, karena suhu tanah yang dingin akan membuat suhu tubuh kita turun. Salah salah bisa bahaya saya pikir.

Tak lama setelah pikiran "salah salah" itu lewat, benar saja jatuh korban. Awalnya ia mengaku keram, terbujur kaku agak jauh dari perapian. Lalu ia digotong ke dekat perapian. Yang mengerti pertolongan pertama mulai mendiagnosa dan membuat si korban merasa nyaman. Ikatan pada tubuh seperti sabuk, jam tangan, dan sepatu tak lupa dilepas.

Tubuhnya benar-benar kaku terbaring, tidak bisa dibuat duduk. Pergelangan tangan dan kakinya terasa begitu dingin, matanya juga selalu terkatup, mulutnya cuma bicara seadanya ketika ditanya.  Entah kenapa bocah ini saya pikir, yang pasti ia tak akan bisa kembali normal dalam sekejap apalagi di tempat yang tidak punya fasilitas yang cukup seperti lapangan ini. Akhirnya kami sepakat untuk membawa si korban ke Rumah Sakit. Saya, Rijal, Alvin dan Redinal yang diberi tugas untuk membawa korban ke Rumah Sakit malam itu.

Setelah beberapa tahun akhirnya saya kembali ke UGD. Terakhir saya masuk ke UGD adalah sebagai pasien, disekitar 2002 - 2003 karena penyakit demam berdarah. Tubuh si korban dibaringkan di atas kasur Rumah Sakit. Kami yang mengantarkan menunggui disekitarnya. Kondisi korban waktu itu jika dilihat dari suhu tubuhnya memang sudah membaik, tapi kini ia sulit diajak bicara, panggilan kami padanya tak terbalas. Di UGD ini yang saya lihat hanya ada satu dokter. Terlihat sibuk sehingga terkesan adik kelas kami terabaikan. Dan kami terus menunggu. Sambil menunggu tindakan dokter, saya coba untuk memperhatikan keadaan sekitar.

Ada perasaan ngeri menghampiri. Inilah UGD dari sebuah Rumah Sakit. Ya, "Rumah" untuk orang yang "Sakit". Dari rasa ngeri itu saya mengartikan lebih lanjut tempat ini sebagai tempat bagi penderitaan untuk sedikit berharap. Ya, sedikit saja.

Ruangan itu sunyi sepi, ada memang pasien lain dan keluarganya dirawat disana. Tapi memang pada dasarnya Rumah Sakit adalah tempat yang tenang dan sunyi. Jadi berapapun pasien yang dirawat, tak bisa saya mengharap keramaian. Dan malam ini kasur pasien terisi jarang-jarang, ada beberapa kasur yang kosong.

Pada kasur lain yang kosong itu saya menangkap gambaran tubuh yang terbaring, dengan keadaan dalam ruang inap. Menatap langit-langit yang kosong dengan tatapan yang kosong pula. Menggantungkan diri pada selang infus, dan karena kondisi tubuh yang lemah, hanya berbaring dan menatap langit-langit lah aktifitas kesehariannya. Untuk makan pun perlu disuapi, dan itupun tak ada rasa nikmat pada yang ia makan.

Dalam keadaan serba terbatas seperti itu, saya rasa akan timbul rasa kerinduan terhadap kenikmatan. Langit-langit itu bagi si sakit mungkin saja tidak begitu kosong. Tapi berisi bayangan-bayangan hari lalu kala ia masih bugar dan sehat. Katakanlah dulu ia sering menghabiskan waktu bersama orang yang ia kasihi, menonton film, makan malam, atau sekadar berbagi senyuman kala dua wajah tak sengaja saling menatap. Selain itu juga mungkin ia meninggalkan hobi-hobi yang biasa ia kerjakan, bermain bola, bermusik, fotografi, dan banyak hal sederhana lain yang bermakna bagi dirinya yang kini terpisah dari dirinya.

Kekasih itu kini hanya bisa menemani disamping kasur, paling banyak mungkin mencoba menghibur, juga mendoakan, dan kegiatan hobi yang menyenangkan itu pun kini berganti menjadi sekedar berpasrah.

Timbul ketakutan, ya, bagaimana kalau suatu hari salah satu dari kitalah yang mengisi kasur itu dan menjadi pasien yang malang hasil daya khayal saya tadi? Dalam keadaan sehat, kita memang sering lupa bahwa keadaan bisa berbalik begitu saja. Tanpa perhitungan, dan tanpa permisi. Saya pun yakin, apa yang ada dipikiran adik kelas saya sebelum sakit mungkin sederhana saja; saya datang, saya menunjukan kapabilitas saya, dan saya dilantik jadi komandan. Tapi nyatanya lain bukan, kini pada akhirnya dia terbaring di Rumah Sakit.

Betapa dunia yang tampak indah bisa berbalik menjadi penderitaan yang mengerikan begitu saja. Dan penyakit adalah salah satu hal yang bisa mengantarkan kita padanya. Tanpa kita tahu kapan ia akan datang, mirisnya kita tidak bisa menolak kebenaran tersebut, dan harus senantiasa ingat kepadanya. Kita memang makhluk yang sering lupa dan terlarut pada hal-hal yang memberikan kesenangan pada kita. Mungkin untuk itu kita harus lebih sering memperhatikan Rumah Sakit?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar