Rabu, 19 Februari 2014

Zebra Cross

(Sumber Foto : KasKus)

Sewaktu kecil dulu saya adalah anak yang takut menyebrang jalan. Kendaraan yang lalu lalang itu yang jadi alasan. Mereka sering terlihat tancap gas begitu kencang, seperti yang terburu-buru, sehingga saya pikir saya tidak akan begitu saja dikasih jalan. Saya juga cuma tubuh berlapis daging, sementara mobil, motor, bus, truk di jalanan itu punya rangka besi. Kalah lah saya kalau di adu.

Waktu kelas 2 SD dulu saya biasa naik angkot, kelas 1 SD pakai jemputan, baik itu di Depok (SD Pemuda Bangsa) maupun di Bandung (SD Assalaam I). Jarak relatif dari rumah ke sekolah kira-kira bisa ditempuh setengah jam dengan angkot jurusan Kb. Kelapa - Dayeuh Kolot. Dan emang orang kita senangnya praktis, nama jurusan itu di singkat juga, jadi "Kalapa - Kolot" Bahasa Indonesianya, kelapa tua. Karena naik angkot inilah saya makin sering ditantang untuk menyebrang jalan raya. Sebelum benar-benar dilepas "ngangkot", saya diantar ibu saya juga ngangkot. Sebenarnya seterusnya sering juga sekalian juga kami barengan sampai Term. Kb. Kelapa, ibu saya ganti angkot ke arah SMPN 2 Bandung, saya lanjut jalan ke sekolah.

Awal-awal ngangkot itu, menyebrang jalan juga disebrangi ibu. Sekalian ngasih wejangan. Katanya, "Kalau kamu mau nyebrang, nyebrang di zebra cross. Biar mereka ga berani nabrak kamu." saya pun nanya "emang nape mak dengan zebra cross?" kira kira gitu lah. Jawaban ibu saya aneh juga sih, mungkin biar cepet dan saya nurut, dia bilang "soalnya kalo ada yang nabrak kamu di zebra cross, dia bakal langsung dihukum mati." Buset dah. Sampe sekarang saya gatau juga hukumnya gimana, tapi ya, itu cara ibu saya ngasih tau kalau nyebrang di zebra cross, setidaknya ada kekuatan yang lebih besar yang melindungi kita, ya itulah, hukum. Selain itu juga ibu saya suka ngebekelin sebungkus rokok di tas, bukan buat saya lah, maksudnya buat dikasih jadi imbalan ke tukang parkir kalo memang ragu buat nyebrang sendiri.

Nah akhirnya saya pun terbiasa untuk menyebrang. Tapi ya walaupun sudah terbiasa buat nyebrang, tetap ada rasa ketidaksenangan sendiri sama yang namanya nyebrang. Ya, si mobil, motor, bus, truk, sering juga buat kesal karena sering gak memberi prioritas buat yang nyebrang. Sementara kita memang perlu untuk motong jalan buat nempuh jarak ke tujuan. Hambatan, Jarak, Tujuan, itulah elemen dalam kegiatan nyebrang.

Makin tumbuh besar saya makin mikir. Yah, buat nyampe tujuan sederhana kaya nyampe di sebrang aja ada hal yang bikin kita kesal. Apalagi buat tujuan-tujuan.yang lebih besar lagi. Cita-cita lah.Kalau diibaratkan ke proses penyebrangan, ya, lebih absurd lagi jadinya. Hambatan, Tujuan, Jarak, gak pernah punya tempat yang jelas.

Pada awalnya kita berandai akan suatu hal. Seperti, "Saya harus kuliah di Sorbonne." dan kita coba tempatkan Sorbonne itu jadi tujuan. Sederhana saja awalnya. Setelah tujuan itu kita tatap di depan kita, mulai datanglah si kendaraan-kendaraan sialan yang lalu lalang dalam penyebrangan tadi. Mereka hadir dalam bentuk lain; rasa takut. Sampai sini kita mulai mempertanyakan dan meragukan "Bisa atau tidak?", "Realistis?", "Punya apa saya buat sampai kesana?". Wajar kalau takut, tapi jangan sampai ketakutan kata Norman Edwin. Tinggal bagaimana kita menyikapi ketakutan itu. Mungkin kalau dalam kasus saya waktu kecil, adanya zebra cross dan sebungkus rokok itu yang memberi sedikit rasa aman. Lah, kalau mau ke Sorbonne? Saya kira kepintaran kita untuk mensiasati ketakutan diperlukan disini. Ya, taruhlah misalnya, harapan. Ketakutan biasanya tertipu, dan kemauan mulai terpantik.

Setelah kemauan muncul, kita ambil langkah pertama. Dan bertemulah kita dengan jarak. Antara kita dan tujuan hanyalah ada jarak, kata Pram, dan batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh.. ufuk menjauh. Ya, jarak juga hal yang menjemukan. Untuk menempuh jarak ada juga elemen waktu yang menentukan, juga kecepatan, tapi dalam pengejaran tujuan dalam konteks ini, saya kira kecepatan tak begitu saja menentukan. Kita tak tahu berapa jarak yang harus di tempuh. Ufuk selalu terlihat menjauh.

Kejemuan ini biasanya akan membawa kita pada pada sebuah pertanyaan terhadap elemen terakhir, tujuan, benarkah ia ada di ujung sana? Yang pasti dari hidup ini adalah bahwa hidup itu tidak pasti. Kata-kata itu pertama kali sayab dengar dari Ibo. Waktu masih pinter. Ya, kita tidak pernah tau apakah tujuan yang kita andaikan akan benar-benar kita capai. Kita cuma bisa usaha, melawan jemunya jarak, gangguan dari rasa takut, dan ketidakpastian.

Tapi di sisi lain juga kita perlu berfikir ulang. Apa memang menuju tujuan itu sesederhana menyebrang? dalam artian, ada elemen penting yang saya lupakan, arah. Kemanapun kita menghadap, penyebrangan jalan itu setidaknya jelas. Dari ujung satu, memotong ke ujung yang akan kita tuju. Begitu pun zeba cross dibuat, dan tukang parkir yang saya beri rokok mengantarkan saya. Tapi bagaimana kalau sebenarnya dalam hidup ini kita terdampar di sebuah gurun pasir yang kering. Tanpa marka atau tanda-tanda alam yang kadang tak begitu berguna, kita tak berbekal peta, hanya berbukit-bukit pasir disana. Juga tak ada zebra cross yang melindungi sekaligus mengarahkan, juga tak ada tukang parkir yang bisa saya beri imbalan untuk mengantarkan ke tujuan. Dan kita terus berjalan mengikuti naluri ditengah kejemuan, ketakutan, dan ketidakpastian. Sekaligus tak kenal arah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar